Penyataan Sikap

Menanggapi Pernyataan Sekretaris Badan Pelaksana BRR NAD - NIAS
KAUKUS PANTAI BARAT SELATAN

Pernyataan Sekretaris Badan BRR NAD – NIAS, T Kamaruzzaman, yang disampaikan melalui media (Serambi, 18/4) terkait persoalan tuntutan dana rehabilitasi oleh masyarakat korban gempa dan tsunami dari berbagai daerah sama sekali tidak mencerminkan cara pandang yang bisa dijadikan pegangan solusi bagi masyarakat korban. Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR NAD – NIAS itu, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.
Siapa pun tahu bahwa BRR NAD – NIAS diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi baik di Aceh maupun di Nias. Dan, untuk yang terakhir ini, BRR NAD –NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR NAD – NIAS membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan.
Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR NAD – NIAS menempatkan sebuah persoalan. Atas nama pembangunan kembali Aceh pasca gempa dan tsunami, yang kemudian diikuti oleh usaha untuk mendukung perdamaian maka posisi BRR NAD – NIAS bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran. Bahkan, demi kepentingan pembangunan Aceh dan Nias BRR juga kerap mendapat dukungan baik dukungan kebijakan maupun dukungan anggaran negara atau anggaran hibah.
Jadi, menjadi sangat tidak cerdas manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan Pemerintah melalui Menteri Keuangan kala BRR NAD –NIAS sendiri sudah melakukan sebuah tindakan, yang kemudian dipandang sudah menceredai amanah korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial akibat kentaranya perbedaan dalam alokasi anggaran rehab yang sudah di bayar 15 jt dan korban yang akan di bayar 2,5 jt..
Alasan penurunan nilai rehab rumah dari 15 jt menjadi 2,5 jt, karena keterbatasan anggaran sangat bertolak belakang dengan kenyataan dilapangan. Dimana peruntukan dana BRR NAD-NIAS untuk kegiatan dan program yang tidak secara langsung berdampak pada korban tsunami, justru mendapakatkan anggaran yang sangat besar dan jelas-jelas tidak ada didalam Blueprit. Seperti pembangunan beberapa kantaor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, pembangunan kantor pajak di Pekalongan hasil temuan BPK dan terakhir sempat kita baca di media membeli senjata.

Menyangkut dengan rawannya situasi maka menjadi penting untuk mengembalikan pertanyaan menyangkut siapakah yang sudah menabur benih kerawanan sosial dan keguncangan politik di Aceh? Secara kasat mata bisa ditegaskan bahwa kebijakan BRR NAD – NIAS yang timpang dalam hal anggaran bantuan dana rehabilitasi rumah lah yang sudah menjadi faktor pemicu dari munculnya situasi rawan dan rumor di tengah masyarakat.
Disatu sisi, tingkat kesabaran masyarakat dalam menunggu keberpihakan BRR NAD – NIAS terhadap mereka dan disisi lain tingkat agresifitas BRR NAD – NIAS terhadap kelompok pengusaha dan negara yang kemudian bertemu dengan jadwal kerja BRR NAD – NIAS yang tidak lama lagi jelas memicu adrenalin korban untuk bertindak lebih agresif dalam melakukan tuntutan. Dalam situasi begini, maka sangat tidak bijak manakala rakyat korban senantiasa ditempatkan sebagai pihak yang bersalah, termasuk dengan membangun tudingan adanya ketidak jujuran dalam masyarakat hanya dengan mengemukan alasan banyaknya nama-nama yang tidak berhak tercantum dalam daftar penerima manfaat bantuan rehabilitasi perumahan.
Padahal, semua orang tahu bahwa pendataan calon penerima bantuan perumahan sepenuhnya dilindungi oleh kebijakan, aturan dan mekanisme yang kemudian didukung pula oleh anggaran negara yang dikelola oleh BRR NAD – NIAS itu sendiri, yang kemudian secara sangat berani mengumumkan nama-nama penerima bantuan dilebih satu media massa. Bahkan, hampir semua korban gempa dan tsunami juga tahu bahwa proses pendataan juga melibatkan perusahaan yang secara administrasi bisa dikatakan sudah sangat profesional dalam hal pendataan.
Kondisi ini jelas mencerminkan betapa BRR NAD – NIAS sedang menegaskan tentang dirinya sendiri bahwa pekerjaan yang mereka lakukan selama ini sama sekali bertolak belakang dengan citra diri yang dibangun sejak awal yakni sebagai lembaga dengan sumberdaya dan mitra kerja profesional plus memiliki kemampuan untuk berkerja ekstra demi percepatan pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana gempa dan tsunami.
Padahal, siapa pun paham bahwa logika pendataan senantiasa menyediakan pada dirinya tingkat eror yang dengan mekanisme tertentu bisa diatasi, termasuk dalam mengatasi tingkat kesalahan atau kekeliruan pendataan penerima bantuan rehabilitasi perumahan. Dengan demikian, logika adanya kecurangan dalam pendataaan dikaitkan dengan kebijakan menurunkan jumlah alokasi anggaran untuk rehabilitasi perumahan sama sekali tidak ada benang merahnya dan karena itu bisa dikatakan betapa logika itu hanya dipakai sebagai alat untuk mengalihkan rasionalitas korban dari tuntutan perubahan atau konsistensi kebijakan ke masalah pendataan. Dengan demikian, masyarakat korban sedang digiring untuk tidak lagi mempersoalkan kebijakan melainkan lebih mempersoalkan adanya anggota masyarakat yang sedang melakukan kecurangan di lingkungan mereka.
Soal penindakan terhadap staf yang mungkin melakukan manipulasi data menjadi tidak menarik lagi mengingat sejak awal BRR NAD – NIAS sudah kerap mempromosikan tentang fakta integritas namun selama periode kerja yang sudah dijalankan fakta integritas ini sama sekali tidak bisa memicu disiplin, kerja keras, dan profesionalitas dalam hal pengelolaan kelembagaan, sumberdaya, program, dan anggaran. Hampir setiap tahun angka penyerapan anggaran BRR NAD – Nias tidak cukup menggembirakan dan pada saat yang sama ragam persoalan mewarnai dinamika pengelolaan lembaga dan pelaksanaan program BRR NAD – NIAS.
Untuk itu semua, tidak ada pilihan lain apalagi memutar cara pandang, selain mendesak BRR NAD – NIAS, Pemerintah Daerah, DPR Propinsi, dan Masyarakat Korban untuk duduk bersama guna membangun kesepakatan untuk kembali kepada amanah Blueprint dan kesadaran yang dalam untuk senantiasa konsisten membantu korban gempa dan tsunami Aceh keluar dari penantian panjang yang sudah dilakukan masyarakat korban selama ini.
Banda Aceh


TAF Haikal
Jubir KPBS

KPBS Nilai BRR Semakin Curang

Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menilai kebijakan yang diambil Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, akhir-akhir semakin curang, dan tidak berpihakan pada korban. Padahal badan yang dipimpin Kuntoro tersebut seharusnya lebih mementingkan kepentingan korban tsunami dan gempa sebagai mana diamanahkan Perpres, malah hal itu diabaikan begitu saja. Buktinya sampai saat ini tuntutan korban tsunami untuk dana rehab rumah Rp 15 juta belum juga dipenuhi. Malah sebaliknya badan tersebut memperhatikan hal-hal yang di luar kepentingan korban bencana dan tidak ada dalam Blueprit seperti, pembangunan beberapa kantor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, ungkap TAF Haikal kepada Serambi, Sabtu (19/4).

Bukan itu saja, beber Haikal, untuk kegiatan pekan kebudayaan yang diberinama Diwana Cakradonya malah BRR memberi dana mencapai Rp 3 miliar. Sebenarnya kita tidak mempersoalkan hal seperti itu, kalau hak-hak korban terlebih dahulu dipenuhi. Karena itu tugas utamanya, maka kita nilai kebijakan yang diambil BRR yang dituntut korban tidak dipenuhi itu tindakan curang, ujar Haikal.

Namun yang lebih menyedihkan, katanya, pernyataan T Kamaruzzaman (sekretaris BRR Aceh-Nias) melalui media beberapa hari lalu yang dinilai tidak mencermin sebuah solusi menyangkut tuntutan korban stunami soal dana rehab rumah Rp 15 juta.
Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR itu, katanya, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.

Siapa pun tahu, lanjutnya, bahwa badan ini diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehab/rekon baik di Aceh dan Nias. Untuk yang terakhir ini, BRR NAD -NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan, katanya. Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR menempatkan sebuah persoalan. Maka posisi lembaga ini bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran, tandas Haikal.

Menjadi sangat tidak cerdas, lanjutnya, manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan. Karena disaat bersamaan BRR sendiri sudah melakukan sebuah tindakan yang dipandang telah mencederai korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial. Karena sebagai korban telah dibayar dana rehab rumah Rp 15 juta, sementara korban lain hanya diberiakn Rp 2,5 juta. Ini kan namanya buat konflik baru ditengah masyarakat,

Kalau kemudian BRR mempersoalan jumlah rumah korban yang harus mendapat dana rehab sangatlah banyak sehingga alasannya tidak cukup dana. Ini saya nilai sangat aneh, sebab untuk kepentingan yang di luar korban ada dananya. Maka saya tegaskan sekali lagi bahwa BRR memang semakin curang dalam melakukan tugasnya di Aceh.

KPBS nilai BRR tidak Responsif

Kaukus Pantai barat selatan (KPBS) mnendesak pemerintah Aceh, baik eksekutif maupu legislatif guna menyelesaikan persoalan tuntutan korban tsunami dan gempa soal dana rehab rumah sebesar 15 juta. Langkah strategis berupa pertemuan tripartit antara BRR, Gubernur danDPRA, perlu segera dilakukan guna mengambil sebuah keputusan konkrit tuntutan korban tersebut.

Juru bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KPBS), Tafhaikal kepad Serambi, (14/4/08) mengatakan, pihaknya menilai BRR tidak Responsif terhadap tuntutan korban yang belakngan ini nyaring disuarakan melalui aksi Demo ke kantor BRR itu.

Bahkan, ia menilai badan yang dipimpin Kuntoro tersebut terkesan melakukan pembiaran terkait tuntutan korban tersebut ‘ kalau tindakan ini terus dibiarkan tidak ada penyelasaian, kita khawatirkan akan menimbulkan persoalan baru di Aceh yang sedang menapak perdamaian”, karena itu, Haikal meminta Gubernur dan DPRA untuk segera mencari sebuah solusi dengan mengambil peran yang lebih besar atau berada dibarisan terdepan dalam menyelaikan permasalahan ini. “ saya kira solusinya untuk langkah pertama Gubernur dan dewan segera esak BRR untuk melakukan pertemuan tripartit yang melibatkan ketiga pihak ini”

Bahkan tidak tertutup kemungkinan aksi-aksi yang dilkukan para korban Tsunami itu untuk menuntut keadilan soal dana rehab rumah itu akan bermunculan berbagai spekulasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Apalagi aksi demo ke BRR yang dilakukan korban akan terus berlanjut, malah kabarnya dalam pekan ini, ratusan masyarakat dari barat selatan akan kembali melakukan aksi yang sama ke kantor BRRpusat du Lueng bata. “ Masyarakat sudah sangat menderita, janga diambah lagi beban pada mereka . tolong segera selesaikan permaslahan ini”.

Dari rentetan aksi demo yang dilakukan para korban selam ini yang menolak pembayaran dana rehab rumah sebesar Rp 2,5 juta, sudah memperlihatkan bukti kuat bahwa kebijakan BRR itu harus dirubah. Lihat saja, 1.500. masyarakat Aceh Singkil melakukan aksi demoke kantor BRR regional V, selasa (11/3/08). Kemudian aksi yang sma berlanjut di aceh barat, puluhan ibu-iburumah tangga mendatangi kantor BRR setempat. Terakhir ratusan warga barat –selatan melakukan aksi ke kantor pusat BRR di lueng bata, banda aceh, berlangsung selama lima hari yang dimulai hari jum’at (4/408) lalu.

“Tetapi ternyata BRR tetap bersikeras dengan kebijakan itu, dan ini sanagt disayangkan. Pada hal dana di BRR masih sangat besar dan memungkinkan tuntutan yang disuarakan korban bisa dipenuhi.

Irwandi Kapan Ke Gampong Kami...

Yahya harus menerabas hutan dua sampai tiga jam perjalanan untuk menjejak Sinabang, ibukota Kab. Simeulue. Dia datang dari Ujung Harapan, Kec. Sibigo Barat sekira 90 kilometer dari ibu kota daerah itu. Kawasan yang kerap digelitik gempa ini memang lebih jauh dibanding Bireuen. "Sudah dua malam di sini, ada urusan sedikit," jawabnya ketika bincang di losmen di Sinabang, Selasa kemarin. "Begitu selesai, saya langsung pulang," Yahya menimpali. Tentu, Yahya kembali ke daerah yang jauh dari informasi dan minim pembangunan.
Bicara soal Sibigo, lulusan SMA Sinabang ini lebih bersemangat, meski bukan dengan spirit 1873. "Dari 14 desa baru lima yang sudah dialiri listrik," katanya. Listrik memang masalah klasik. Pasalnya bukan cuma Sibigo, Banda Aceh saja yang berada di ibukota provinsi juga tak pernah cukup arusnya. Selain soal listrik, soal rumah juga menarik. Banyak bantuan yang diberikan untuk warga di sana bermutu jelek. Tak heran, ketika gempa Rabu 20 Februari silam, semua bergoyang dan ambruk. "Sekarang tiang pancangnya saja yang tersisa," kata dia. Menilik dari cerita Yahya, kalau bicara Sibigo sama dengan mendengar cerita kemiskinan. Miskin acap diidentikkan dengan kekurangan, baik itu pembangunan, fasilitas kesehatan maupun pendidikan. "Jalan ke sana enggak bagus," kata Yahya lagi.
Gara-gara urusan transport itulah, yang kerap membuat Yahya dongkol bin jengkel. "Kalau jalan bagus, waktu tempuhnya bisa lebih singkat lagi," ujar dia. Jalan memang tidak berpihak kepada warga yang jauh tertinggal. Yahya dan ribuan warga Sibigo lainnya harus menempuh dua, tiga bahkan bisa sampai empat jam perjalanan untuk berjejak ke ibukota Ate Fulawan. Bagi warga Banda Aceh, jarak tempuh itu, bisa mencapai Ulim di Pidie Jaya dan Bireuen di bawah aspal hotmix. Tanpa maksud melecehkan, iseng-iseng saya bertanya pada Yahya yang lebih muda. "Kamu kenal dengan wajah Gubernur Aceh?" Dia diam. "Tahu namanya siapa?" Yahya juga diam. Lama dia berpikir. "Ya, kurasa dia," katanya dengan senyum pahit, setelah saya menyebutkan nama Irwandi Yusuf. Irwandi yang berduet dengan Nazar menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Keduanya pemenang Pilkada 11 Desember 2006. "Pernah datang waktu gempa," ucap dia kemudian. Irwandi, mantan propagandis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelahiran Bireuen 2 Agustus 1960. Dia ini ahli strategi organisasi itu. Sedang Muhammad Nazar mencuat saat Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR). Pria kelahiran Ulim, Pidie 1 Juli 1973 ini sebagai ketua presidium. Yahya pasti tak pernah mimpi, kalau suatu saat pemimpin Aceh muncul dari pelosok Sibigo, kampungnya. Kalau itu menjadi nyata, sudah pasti imbas akan mereka terima. Minimal, kalau tidak sepekan sekali, sebulan sekali pasti akan singgah ke Sibigo. Begitu juga dengan Danil, seorang warga di pulau penghasil Lobster. "Jarang sekali pemimpin daerah berkunjung ke kampung kami. Kalau pun ada itu pasti karena akibat tertentu, bencana misalnya," kisahnya.
Karena itu, sudah pasti Yahya dan Danil dan warga di Simeulue lainnya iri dengan warga Bireuen dan sekitarnya. Bagaimana tidak, hampir tiap pekan, gubernur bertandang ke sana, baik dalam Urusan kunjungan kerja bin dinas maupun tidak.

Mengingat kunker itu, ucapan TAF Haikal, seorang aktivis asal pesisir barat melintas di telinga. "Coba tanya berapa kali Irwandi pernah berkunjung ke pantai barat selatan," tanya dia ketika itu. "Kalau pun pernah datang, masih bisa dihitung dengan jari."

Suara Haikal, Yahya dan Danil sudah pasti mencerminkan 'jeritan hati' warga Aceh lain di kawasan pedalaman Aceh dan Pesisir Barat Selatan. Tentu saja, mereka tidak minta job apalagi proyek. Mereka hanya berharap proyek pembangunan juga digulirkan ke sana. Itu saja!.

Munawardi Ismail (ags)

Pernyataan Sikap

KAUKUS PANTAI BARAT - SELATAN

Sehubungan dengan respons cepat Kepala BRR NAD dan Nias dalam menanggani persoalan yang terjadi di BRR Regional IV kami Kaukus Pantai Barat – Selatan menyampaikan penghargaan dan menghargai langkah koordinasi dengan pemerintah daerah dalam usaha pemecahan masalah. Ini contoh teladan yang mesti terus dipraktekkan dalam proses percepatan pembangunan akibat gempa dan tsunami terutama di wilayah pantai barat – selatan.

Kaukus Pantai Barat – Selatan penting untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa kawasan pantai barat – selatan adalah salah satu kawasan yang harus mendapat prioritas dalam percepatan pemulihan pasca bencana alam. Hal ini mengingat daya rusak gempa dan tsunami begitu dasyat menimpa sejumlah daerah di kawasan yang sejak dulu senantiasa kerap menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh.

Kepada BRR NAD dan Nias yang saat ini sedang mempersiapkan Rencana Aksi 2008 – 2009 diminta untuk lebih memperhatikan wilayah rusakan akibat gempa dan tsunami dan tidak boleh lagi menjadikan kesulitan medan sebagai alasan untuk tidak mengagendakan rehabilitasi dan rekontruksi secara signifikan.

Untuk itu, mengingat peran BRR Regional IV sangat staregis maka walau pun penetapan atau penunjukan Kepala Perwakilan BRR Regional IV yang baru menjadi hak preogratif Kepala Badan tetap penting membuka konsultasi dan koordinasi dengan Kepala Daerah di wilayah kerja regional IV. Bagaimana pun, Kepala Daerah di wilayah regional IV adalah mitra utama dan sekaligus juga karena BRR mengemban amanat bagi pemberdayaan pemerintah daerah, yang menjadi salah satu alasan mengapa BRR NAD dan Nias perlu dibentuk dalam kaitannya pemulihan Aceh.

Wassalam
Banda Aceh, 30 Juli 2007

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan


TAF HAIKAL

Pernyataan Sikap, Menyangkut Kisruh di BRR Regional IV

PERNYATAAN SIKAP
KAUKUS PANTAI BARAT- SELATAN
Menyangkut Kisruh di BRR Regional IV

Pantai Barat – Selatan adalah salah satu wilayah yang sangat parah terkena dampak gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 dan diantara nya terdapat empat wilayah yang menjadi tanggung jawab BRR - Regional IV melakukan percepatan pembangunan pasca gempa dan tsunami. Daerah dimaksud adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat daya, dan Simeulu.

Disadari bahwa regionalisasi merupakan strategi yang dperuntukkan bagi percepatan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi, sekaligus sebagai langkah untuk mendekatkan posisi BRR dengan stakeholder utama yakni masyarakat korban gempa dan tsunami serta sebagai upaya membangun kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah. Semangat partisipasi yang sinergis ini mengharuskan BRR lebih pada posisi fasilitator dan katalisator ketimbang sebagai eksekutor dalam pengertian yang sempit.

Pernyataan tersebut penting kami sampaikan dan sudah sering dinyatakan oleh berbagai elemen di wilayah kerja BRR-Regional IV. Sebuah pernyataan yang jika tidak diperhatikan akan berdampak pada terbangunnya ketegangan, ketidakserasian, dan benturan. Dan, disepanjang pencermatan kami BRR Regional IV lebih banyak berorientasi hasil dan mengabaikan proses dan kerap mempertontonkan bahwa BRR lah sebagai lembaga superbody yang bisa mengatur segala sesuatu dengan anggaran yang besar. Suatu pendekatan yang diprediksikan bisa melahirkan kisruh dan konflk.

Terbukti, sejumlah kritik ditujukan kepada BRR Regional IV. Sejumlah pihak mencibir posisi arogansi BRR Regional IV yang diperlihatkan secara personal oleh Kepala Perwakilannya, dan terakhir beberapa pimpinan daerah dilingkungan regional IV ikut mengalami stagnan komunikasi dan koordinasi dengan pihak BRR Regional IV. Dan, pada akhirnya, sejumlah staf dilingkungan Satuan Kerja BRR Regional IV melayangkan surat mosi tidak percaya terhadap Kepala Perwakilan BRR Regional IV.

Berdasarkan kenyataan tersebut kami KAUKUS PANTAI BARAT – SELATAN menyatakan dan menuntut sebagai berikut:

1.Menyesali kelambatan pihak BRR dalam mencermati gejala-gejala negatif yang terjadi di BRR Regional IV dan terlalu terlena terhadap laporan keberhasilan secara sepihak tanpa memperhatikan substansi dari apa yang dilakukan termasuk luka sosial-budaya yang dialami oleh masyarakat dan pemerintah daerah akibat pola arogansi kepemimpinan pihak BRR Regional IV.
2.Mendesak pemimpin di lingkungan BRR untuk segera menanggani persoalan yang terjadi akibat mosi tidak percaya dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh makna kepentingan masyarakat korban gempa dan tsunami termasuk makna koordinasi yang pada akhirnya berujung pada peralihan tugas pasca akhir masa tugas BRR, yakni tahun 2009.
3.Jika sekiranya posisi strategis kebijakan dan keuangan BRR yang seharusnya bisa dimaksimalkan bagi pemulihan wilayah pantai barat namun yang terjadi justru membangun kisruh secara sosial dan retak secara politik maka Kaukus Pantai Barat Selatan memandang posisi kekinian BRR di wilayah regional IV khususnya tidak lagi menjadi strategis dan solutif. Untuk itu, kami mendesak kepada Kepala Daerah dalam lingkungan regional IV untuk meninjau ulang keberadaan BRR dan membangun pengertian kepada masyarakat bahwa bersabar dalam anggaran yang kecil lebih mungkin daripada bersabar dalam kepungan anggaran yang besar tapi berujung pada munculnya konflik.

4. Untuk menjamin adanya ketegasan sikap kami mendorong seluruh Bupati dalam lingkungan wilayah regional IV untuk segera melakukan pertemuan guna memastikan langkah-langkah yang menjamin penyelesaian masalah secara baik dan cepat.

Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan secara terbuka dan berharap kepada semua pihak untuk dapat mengambil pelajaran berharga bahwa pembangunan adalah sebuah proses yang mempertimbangkan peran semua pihak.

Wassalam
Banda Aceh, 25 Juli 2007

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan


TAF HAIKAL

Berita seputar KPBS

Serambi Indonesia, Selasa 06 November 2007
Jubir Kaukus Pantai Barat-Selatan: Pemerintah dan BRR tak Serius
BANDA ACEH - Pemerintah dinilai tak begitu serius menangani pembangunan kembali jalan Banda Aceh-Meulaboh yang luluh lantak akibat bencana tsunami akhir tahun 2004. Buktinya, sudah hampir tiga tahun jalan yang menjadi urat nadi masyarakat pantai barat-selatan Aceh itu belum juga rampung dikerjakan. Bahkan, soal pembebasan tanahnya saja pun sampai hari ini belum tuntas dilakukan.
“Saya melihat pemerintah, baik Pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat melalui BRR, seperti tak memiliki rasa kepedulian terhadap masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal kepada Serambi, Senin (5/11) ketika ditanyai pendapatnya soal pembangunan jalan Banda Aceh-Meulaboh yang prosesnya belum begitu menggembirakan.

Menurut Haikal, kalau pemerintah serius menangani proses pembangunan kembali sarana perhubungan darat ini, mungkin proses pembebasan tanah sudah tuntas dilakukan sejak dulu. “Tapi kenyataannya sampai hari ini belum selesai. Mana janji Kepala Pemerintahan Aceh yang mengatakan akan mempercepat proses pembebasan tanah itu,” ujarnya.
= = = = = = = = = = =

dpra.nad.go.id
Banda Aceh, 15 Pebruari 2008 Sekelompok tokoh dan masyarakat yg bergabung dalam Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menghadap DPRA untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi sehubungan dengan pembahasan PPAS RAPBA Tahun 2008. Pertemuan yang digelar di Ruang Serba Guna DPRA dihadiri Ketua DPRA H, Sayed Fuad Zakaria, SE, Wakil Ketua DPRA H. Raihan Iskandar, Lc serta sejumlah anggota Dewan.
Juru bicara KPBS, TAF Haikal mengatakan dalam PPAS RAPBA tahun 2008 masih terlihat adanya ketidak berpihakan pemerintah ke wilayah pantai Barat-Selatan, ini terlihat dari dana regular dan Otsus yang dikelola provinsi tidak adil dalam pembagiannya.. Anggaran yang lumayan besar diperoleh Aceh tahun ini diharapkan tidak melahirkan konflik baru, melainkan harus menjadi solusi dalam membangun Aceh Baru.
Selain itu, KPBS ini membeberkan sejumlah bukti bahwa jumlah anggaran yang dikucurkan ke Bireuen relatif lebih besar daripada berbagai Kabupaten / Kota di pantai barat selatan Aceh. Para wakil KPBS juga meminta DPRA untuk menolak pembahasan PPAS dengan eksekutif apabila alokasi anggarannya tidak adil secara proporsional.
Sejumlah anggota Dewan yang hadir dalam pertemuan itu sepakat untuk menolak ikut dalam pembahasan PPAS apabila pihak eksekutif tidak adil dalam pengalokasian anggaran dengan melihat indicator keterbelakangan daerah, luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan dan hal lainnya.
Pertemuan yang berlangsung hampir 2 ( dua ) jam itu berakhir dengan harapan segala aspirasi dari sekelompok tokoh dan masyarakat Kaukus Pantai Barat-Selatan kepada Dewan bisa berguna dalam mambangun Aceh Baru


WASPADA Online 31 Juli 2007
Kaukus Pantai Barat-Selatan, mengingatkan semua pihak, terutama pemerintah Aceh untuk mempercepat pembangunan di
kawasan itu. Mereka minta agar kawasan itu tidak menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh.Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada Waspada, Selasa (31/7) mengatakan, pihaknya hanya mengingatkan kembali kepada semua pihak, kawasan pantai barat–selatan, salah satu kawasan yang harus mendapat prioritas dalam percepatan pemulihan pasca bencana alam.
"Ini mengingat daya rusak gempa dan tsunami begitu dahsyat menimpa sejumlah daerah di kawasan Pantai Barat Selatan. Apalagi daerah ini sejak dulu senantiasa kerap menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh," tukas mantan Direktur Forum
LSM Aceh ini. Kata dia, kepada BRR Aceh-Nias yang saat ini sedang mempersiapkan Rencana Aksi 2008–2009, Kaukus meminta untuk
lebih memperhatikan wilayah yang rusak akibat gempa dan tsunami. "Tak boleh ada lagi alasan medan, sehingga tidak engaggendakan rehabilitasi dan rekonstruksi secara signifikan," sebut dia. erkait dengan proses rekonstruksi yang dilakukan BRR Aceh-Nias, kaukus, kata Haikal, menyampaikan penghargaan dan menghargai langkah koordinasi dengan pemerintah daerah dalam usaha pemecahan masalah-masalah pembangunan di sana."Ini contoh teladan yang mesti terus dipraktekkan dalam proses percepatan pembangunan akibat gempa dan tsunami
terutama di wilayah pantai barat – selatan," puji Haikal.Untuk itu, lanjut dia, mengingat peran BRR Regional IV sangat strategis maka walau pun penetapan atau penurunan Kepala Perwakilan BRR Regional IV yang baru menjadi hak prerogratif Kepala Badan tetap penting membuka konsultasi dan koordinasi dengan Kepala Daerah di wilayah kerja regional IV. "Bagaimanapun, Kepala Daerah di wilayah regional IV adalah mitra utama dan sekaligus juga karena BRR mengemban
amanat bagi pemberdayaan pemerintah daerah, yang menjadi salah satu alasan mengapa BRR Aceh –Nias, perlu dibentuk dalam kaitannya pemulihan Aceh," katanya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Harian Aceh
Selasa, 25 maret 2008 Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Pantai Barat Selatan, Senin (24/3), berdemo di kantor Gubernur Aceh dan DPRA. Mereka menuntut pemerintah dan pihak dewan memprioritaskan pembangunan di Kawasan Pantai Barat Selatan.
“Kami hanya meminta keadilan pembangunan di wilayah Barat Selatan yang selama ini seperti dianaktirikan. Kami bukan meminta pemekaran, bukan untuk memisahkan diri dari Aceh,” kata Idris, koordinator aksi, sambil meneriak yel-yel Irwandi bukan milik segelintir rakyat Aceh, tetapi juga milik warga Pantai Barat Selatan.
Disebutkannya, sejumlah pembangunan di daerah itu terbengkalai. “Pembebasan tanah masyarakat untuk pembangunan jalan di Calang Aceh Jaya juga sampai saat ini belum selesai seperti dijanjikan gubernur akan selesai akhir Maret ini,” sebutnya.
Dia juga meminta Gubernur Irwandi Yusuf, yang saat itu berada di gedung DPRA, untuk menjumpai pendemo yang menunggunya di teras kantor gubernur.
Kepala Biro Umum dan Protokoler Setdaprov, Zahrul Munzir, akhirnya menjemput gubernur dengan kijang Inova warna biro bernopol BL 234 AM sekitar pukul 12.10 WIB. Selang lima belas, Zahrul kembali ke kantor gubernur dan membawa kabar bahwa gubernur menunggu mahasiswa di gedung dewan. Mahasiswa langsung bergerak dengan tertib ke gedung DPR Aceh sekitar pukul 12.30
Di hadapan Gubernur Irwandi dan Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria, para pendemo meminta Pemerintah Aceh harus tegas memberantas korupsi, mengevaluasi kinerja BRR Aceh-Nias serta konsekuen terhadap keadilan anggaran pembangunan untuk kawasan Pantai Barat Selatan.
Porsi Terbesar
Gubernur Irwandi yang dikritik pendemo terhadap belum adanya keadilan anggaran dalam pembangunan Pantai Barat Selatan, menampik dan menjelaskan bahwa anggapan itu keliru. “Anggaran pembangunan untuk tahun ini porsi terbesar malah diterima oleh daerah-daerah di kawasan Pantai Barat Selatan,” katanya.
Gubernur juga mengatakan kantong-kantong kemiskinan di Aceh saat ini bukan berada di kawasan Barat Selatan, tetapi di kawasan Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie dan Aceh Besar. “Jadi, sangat disayangkan jika ada pernyataan yang mengungkapkan fakta kemiskinan dan pemerataan pembangunan tidak menyentuh kawasan Pantai Barat Selatan,” sebut Irwandi.
Disebutkan, saat demo berlangsung, DPR Aceh juga sedang membahas anggaran yang salah satunya membicarakan porsi terbesar anggaran untuk pembangunan daerah-daerah di Pantai Barat Selatan.
Sementara Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria, mengatakan prinsip proporsional dan adil tetap dewan pikirkan dalam pembangunan kawasan Pantai Barat Selatan. “Tidak mungkin sama besarnya anggaran antara Sabang dengan Aceh Timur atau Sabang dengan Abdya,” katanya.
Karena, lanjutnya, kalau disamaratakan maka prinsip keadilan sesuai potensi daerah tidak akan terpenuhi dan sangat rancu. “Jadi, harus dilihat dari berbagai faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, potensi daerah, tingkat kemiskinan dan indikator pembangunan lainnya,” jelas Sayed.
Tekan Komitmen
Di akhir orasi dengan gubernur dan Ketua DPR Aceh, para pendemo meminta anggota DPRA asal Pantai Barat Selatan untuk hadir dan menandatangani komitmen bersama untuk menyatakan sikap menolak dan mengundurkan diri sebagai anggota dewan bila anggaran yang diplokan ke daerah itu belum adil dan tidak proporsional.
Sampai aksi itu berakhir, hanya Tgk. Harmen Nuriqmar (Fraksi PBR), Abdullah Saleh, dan Mohariadi (Fraksi PKS), tiga anggota dewan dari Kaukus Pantai Barat Selatan yang menandatangani komitmen tersebut

Deklarasi Kaukus Pantai Barat-Selatan

Deklarasi Kaukus Pantai Barat-Selatan
“POTRET KEMISKINAN DAN KETIDAKADILAN PEMBANGUNAN”

Pantai Barat-Selatan adalah wilayah yang terdiri dari 8 kabupaten/kota yakni Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Subulussalam. Dibanding dengan wilayah Utara dan Timur Aceh, Pantai Barat-Selatan bisa dikatagorikan sebagai wilayah tertinggal. Mulai dari sektor pendidikan, kesehatan bahkan transportasi.

Pantai Barat-Selatan adalah juga wilayah yang terparah terkena dampak bencana gempa dan tsunami yang terjadi dua tahun silam. Pantai Barat-Selatan juga merupakan wilayah yang terkena dampak konflik bersenjata di Aceh beberapa waktu lalu. Fakta ini membuat kawasan Pantai Barat-Selatan menjadi daerah terisolir dan tertinggal. Sekaligus menjadi wilayah yang banyak kantong-kantong kemiskinan.

Tanpa harus melihat data yang rinci pun, semua orang akan maklum bahwa pembangunan yang berlaku sekarang pun belum menjawab dua persoalan utama yaitu kemiskinan dan keterisoliran daerah. Pantai Barat-Selatan sampai saat ini masih sulit dijangkau dan masyarakatnya pun masih terus berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini terjadi karena seluruh pelaku pembangunan di Aceh tidak memiliki apresiasi yang cukup terhadap Pantai Barat-Selatan. Akibatnya, sebahagian besar alokasi anggaran pembangunan lebih memihak kewilayah Utara-Timur.

Di sisi lain, kelemahan aparatur pemerintah daerah di Pantai Barat–Selatan ikut “berkontribusi” kian memperburuk kondisi wilayah dan masyarakat di kawasan ini. Dengan keadaan demikian, sebenarnya kondisi pembangunan Pantai Barat–Selatan saat ini adalah sejarah panjang dari ketidakadilan kebijakan dan alokasi anggaran dari Pemerintah Daerah Provinsi Aceh sepanjang lima tahun terakhir. Dan ironisnya, sepak terjang Pemerintah Daerah di kawasan Pantai Barat–Selatan juga masih berkutat dengan ketidakmampuannya untuk mendorong adanya perubahan total ketidakadilan itu.

Fakta diatas mendorong kami pada hari ini senin tanggal dua bulan Juli Tahun Dua Ribu Tujuh mendeklarasikan berdirinya KAUKUS PANTAI BARAT-SELATAN. Kaukus ini dibentuk sebagai forum komunikasi dan advokasi guna memastikan terwujudnya keadilan dalam pemerataan pembangunan. Hal ini penting sebagai bahagian yang tak terpisahkan dalam mewujud damai yang abadi di Aceh.

Banda Aceh, 2 Juli 2007
Juru Bicara

TAF Haikal

Inisiator Daerah:
1.T. Neta Firdaus (Aceh Barat)
2.Saiful (Aceh Selatan)
3.Fadhli Ali (Aceh Barat Daya)
4.T. Asrizal (Aceh Jaya)
5.Zairahim Zain (Simeulue)
6.Mashudi (Aceh Singkil)
7.Faisal Qubsy (Nagan Raya)
8.Hasbi BM (Subulussalam)