Jalan Banda Aceh-Calang Harus Dituntaskan

Serambi Indonesia, 23 Januari 2009
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).

Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.

Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.

“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.

Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal

Proyek Jalan Banda Aceh-Calang Masih Terbelit Ganti Rugi, USAID jangan Kambinghitamkan Masyarakat

Serambi Indonesia, 22 Januari 2009
Harapan untuk segera bisa ’berpacu‘ di jalan tanpa hambatan mulai dari Banda Aceh sampai ke Calang, tampaknya harus disimpan dulu, entah sampai kapan. Kabar terbaru yang diperoleh Serambi, pembangunan ruas jalan tersebut oleh USAID masih saja terbelit masalah ganti rugi pembebasan tanah serta penghentian pekerjaan oleh USAID dengan alasan kontraktor tidak nyaman.
Seperti diketahui, biaya pembangunan fisik pembukaan dan pelebaran badan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang ditanggung sepenuhnya oleh USAID. Sedangkan ganti rugi tanah yang terkena proyek, seharusnya ditanggung oleh BRR NAD-Nias namun karena prosesnya tak tuntas sepanjang dua tahun lalu, kini beban ganti rugi menjadi tanggungjawab APBA.

Tahun lalu Pemerintah Aceh menyediakan anggaran untuk pembebasan tanah yang terkena proyek jalan Banda Aceh-Calang mencapai Rp 21 miliar. Tapi dari yang disediakan itu, hanya terealisir Rp 10 miliar sedangkan sisanya Rp 11 miliar dimatikan. Tahun ini untuk maksud yang sama dialokasikan kembali Rp 10 miliar.

Sehubungan masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proyek jalan Banda Aceh-Calang, dilakukan rapat koordinasi di Kantor Gubernur Aceh, Rabu (21/1) yang diikuti unsur pemerintah provinsi, kabupaten, dan semua pihak lainnya yang terlibat dalam proyek tersebut. Rapat dipimpin Asisten II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setda Aceh, Said Mustafa didampingi Asisten I Bidang Pamerintahan, M Ali Alfata. Hadir Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, utusan dari USAID (Roy), kontraktor pelaksana (PT Hutama Karya, Syamyong dari Korea dan PT Wika), Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, BPN Provinsi dan Aceh Jaya, serta sejumlah pihak terkait lainnya.

Jumlah persil bertambah
Dalam forum itu, Kepala BPN Aceh Jaya, T Johan melaporkan, dari hasil pengukuran yang dilakukan juru ukurnya, jumlah tanah masyarakat yang terkena pelebaran ruas jalan baru dari Lhoong (Aceh Besar) sampai Calang (Aceh Jaya) bertambah 238 persil lagi.

Terjadinya penambahan, menurut T Johan, karena dari ruas jalan yang dilebarkan awalnya dibutuhkan sekitar 30 meter, tapi fakta di lapangan pada waktu dilakukan pembersihan badan jalan karena medannya berat, luas tanah yang dibutuhkan bertambah antara 35-50 meter. “Ini harus dibebaskan untuk keselamatan pengendara dan keindahan badan jalan, meski hal itu tidak terjadi di semua ruas badan jalan yang dilebarkan,” lapor Johan.

Jumlah yang terjadi penambahan itu, menurut Johan yang juga Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah Aceh Jaya, belum termasuk 54 persil tanah masyarakat yang menurut Roy dari USAID belum diganti ruginya.

Desakan Pemkab Aceh Jaya
Selain masalah ganti rugi tanah, dalam rapat koordinasi itu juga muncul desakan dari Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jalan dan jembatan Lambeusoe yang terdapat dalam Section IV Lamno, Aceh Jaya.

Menurut Zamzami, dirinya kurang sependapat dengan alasan yang disampaikan Roy dari USAID bahwa penyetopan kegiatan proyek jembatan Lambeusoe disebabkan kurang nyamannya kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan.

Masyarakat Lamno, kata Zamzami, meminta supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jembatan Lambeusoe serta dua jembatan lainnya dan 12 kilometer badan jalan yang tanahnya telah dibebaskan di Lamno.

Dikatakan Zamzami, ketika proyek itu dihentikan pada bulan April 2008, pihak USAID berjanji akan melanjutkan pekerjaan dua bulan ke depan. “Nyatanya, sampai bulan ke delapan pasca-penghentian, belum juga dilaksanakan pekerjaan,” ungkap Zamzami.

Wakil Bupati Aceh Jaya itu mengungkapkan, pada awal proyek jembatan itu dilaksanakan PT Wika dua tahun lalu, masyarakat sekitar proyek ada mengajukan proposal bantuan dana untuk pembangunan masjid. Hal seperti ini lazim dilakukan masyarakat. Namun jika tidak diberikan, tak masalah. “Masyarakat tidak mengganggu kegiatan proyek, asal dalam pekerjaan proyeknya melibatkan masyarakat setempat. Permintaan untuk dilibatkan inilah yang mungkin diterjemahkan oleh pihak USAID sebagai gangguan yang membuat tidak nyaman sehingga menghentikan pekerjaan,” kata Wakil Bupati Aceh Jaya.

Konflik Wika-USAID
Berdasarkan informasi yang diperoleh Wakil Bupati Aceh Jaya, penyebab dihentikannya untuk sementara pembangunan jembatan Lambeuso, karena adanya konflik antara PT Wika dengan USAID. “Yang tidak enaknya, masyarakat sekitar dijadikan dalih penyetopan kegiatan proyek. Harusnya USAID tak mengkambinghitamkan masyarakat,” ujar Zamzami yang dihubungi terpisah, tadi malam.

Sedangkan Roy dari USAID mengatakan, penyetopan sementara pekerjaan pembangunan jembatan Lambeusoe dan dua jembatan lainnya serta 12 kilometer jalan di Lamno yang masuk dalam paket pekerjaan Section IV, semata-mata karena kurang nyamannya kontraktor melakukan pekerjaan lapangan. “Setelah ada garansi dari masyarakat bahwa proyek itu bisa dikerjakan kembali dengan rasa aman, maka pekerjaannya akan dilanjutkan,” tandas Roy.

Soal tiang listrik
Hambatan lainnya, ungkap seorang peserta rapat adalah pemindahan tiang listrik PLN yang terkena pelebaran jalan. Tahun lalu BRR NAD-Nias masih menyediakan anggaran untuk pemindahan tiang listrik dan penyambungan kembali jaringan listrik ke rumah penduduk. Namun tahun ini BRR tidak lagi mengalokasikan dana tersebut sehingga harus menjadi tanggungan APBA.

Untuk pemindahan tiang litrik dibutuhkan dana Rp 700 juta. Selain itu penyelesaian pipa air bersih dan penyambungannya ke rumah penduduk dibutuhkan dana senilai Rp 800 juta sehingga total dana yang dibutuhkan untuk kedua kegiatan itu mencapai Rp 1,5 miliar.

Bentuk tim terpadu
Menanggapi berbagai persoalan dan masukan yang disampaikan peserta rapat, Asisten II Setda Aceh, Said Mustafa menyatakan, untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan satu tim terpadu yang melibatkan seluruh pihak dalam menentukan sistem dan cara apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan semua masalah yang muncul di lapangan.

Tujuan pembentukan tim terpadu itu dimakudkan agar masalah yang muncul bisa diselesaikan secepatnya dan memuaskan semua pihak, baik masyarakat, USAID maupun rekanan serta pemerintah daerah. Tim ini dipmpin oleh Pemerintah Aceh Jaya. “Pemerintah provinsi mengirimkan anggotanya yang berkenaan dengan pembayaran ganti rugi dan pemantauan lapangan,” ujar Said seraya menutup rapat.(her/nas)

APBA 2009 Harus Menjawab Kebutuhan Rakyat

theglobejournal.com, 14 Januari 2009

Beberapa pihak mengharapkan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009 mencapai Rp 9,5 triliun beberapa pihak mengharapkan dana sebesar itu haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada The Globe Journal, Senin (12/1) menyebutkan, RAPBA 2009 mencapai Rp 9,5 triliun, angka tersebut merupakan usulan dari Eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), akan tetapi, berbeda dengan anggota DPRA melalui pokjanya yang mengusulkan Rp 11,036 triliun. “Berapapun besarnya alokasi APBA tahun ini haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh, pembangunan yang akan dilakukan mestilah melihat aspek akselerasi pembangunan, sehingga APBA betul-betul dapat dinikmati dalam bentuk pembangunan dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh,” ujar Haikal.

Menurut Haikal hal ini masyarakat menanti APBA yang betul-betul memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya bagi kalangan pemerintah saja. “Bisa kita lihat, bagaimana penanganan pembangunan di pantai barat-selatan Aceh yang masih sulit ditempuh dengan darat. Selain itu, bagaimana penanganan banjir disebagian wilayah di Aceh. Rakyat Aceh membutuhkan kerja yang cepat dan berkualitas,” sebutnya.

Haikal meminta pemerintah Aceh dan DPRA untuk lebih terbuka dalam membahas RAPBA 2009. Jangan ada yang ditutup-tutupi. “Toh, hari ini kita semua bekerja untuk dan demi rakyat. Pembahasan APBA 2009 merupakan ukuran untuk melihat sisi kerakyatan dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Sejauhmana kualitas program dan kegiatan mampu dinikmati oleh rakyat,” paparnya.