Penilaian Akademisi dan LSM: Rapor Kinerja DPRA Merah

BANDA ACEH - Kalangan akademisi, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai, kinerja anggota dan Pimpinan DPRA periode 2009-2014--pascasetahun dilantik--ternyata belum memberikan kinerja yang baik untuk rakyat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Akademisi mengklaim, kinerja tahun pertama DPRA masih mengecewakan, sementara pegiat LSM menilai rapornya masih merah atau pontennya paling banter baru mencapai 5.

Sementara itu, puluhan mahasiswa Unsyiah, Kamis (30/9) siang, menyambangi Gedung DPRA di Jalan Tgk Daud Beureueh, Banda Aceh. Kedatangan mereka untuk mempertanyakan kinerja DPRA yang dinilai lamban. Soalnya, sudah setahun memangku amanah rakyat Aceh, tapi mereka belum mampu mewujudkan banyak hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.

Dalam orasi bergantian yang dimulai pukul 11.30 WIB itu, para pengunjuk rasa mengkritisi kinerja tahun pertama DPRA masa bakti 2009-2014. Seharusnya, sebut pengunjuk rasa, anggota legislatif itu lebih produktif, sehingga menghasilkan banyak hal yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat Aceh.

“Tapi, kenyataannya kinerja DPRA malah terkesan mandul,” tuding seorang demonstran. Para demonstran yang mengenakan jaket almamaternya itu, silih berganti berorasi. Kedatangan mereka akhirnya disambut Abdullah Saleh SH, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh. Setelah demonstran membacakan apa yang menjadi tuntutan mereka, Abdullah Saleh sempat memberi penjelasan. Tapi, saat sebuah paket kado yang berisi potongan kertas tentang janji politik yang pernah diutarakan para anggota dewan itu akan diserahkan, Abdullah Saleh langsung berlalu, meninggalkan para pengunjuk rasa.

Presiden Mahasiswa (PEMA) Unsyiah, Alfiyan Muhiddin menyebutkan, banyak harapan rakyat kepada anggota dewan baru ini. Bahkan rakyat menanti gebrakan para anggota dewan untuk mempercepat pembangunan Aceh. Tapi apa kenyataannya, semua ucapan itu cukup terlontar dalam janji-janji politik saja.

Menurutnya, tak ada perubahan signifikan yang tampak selama anggota legislatif itu dipercayakan menjadi lembaga pengontrol dan pengawas Pemerintah Aceh. Bahkan setiap ada permasalahan yang melibatkan eksekutif, DPRA dinilai hanya mampu menyuarakan di belakang, tanpa ada upaya konkret. “Belum lagi masalah SKPA yang tak kunjung selesai, dana abadi pendidikan yang tak tahu di mana. Bahkan banyak kasus korupsi yang melibatkan para eksekutif. Semua itu tak ada penyelesaiannya,” sebut Alfiyan.

Sorotan tentang kinerja DPRA juga disampaikan dosen Fakultas Hukum dan Fisipol Unsyiah, Saifuddin Bantasyam SH MA. Saat dimintai Serambi tanggapannya kemarin, Saifuddin menilai kinerja tahun pertama DPRA pontennya belum baik dan masih mengecewakan masyarakat, khususnya para konstituen.

Menurut Saifuddin, anggota dan Pimpinan DPRA menjelang genap setahun masa kerjanya sebagai anggota legislatif, bukannya menunjukkan prestasi kerja yang baik kepada publik, tapi malah mempertontonkan ketidakharmonisan antara anggota dan pimpinan dewan kepada publik melalui media massa.

Anggota dan Pimpinan DPRA saling menyalahkan dalam hal keterlambatan pembahasan lanjutan dan pengesahaan KUA dan PPAS RAPBA 2011, APBA-P 2010, dan LKPJ Gubernur 2009. Masalah internal dewan, menurut Saifuddin, seharusnya diselesaikan secara internal dengan arif dalam rapat Banmus dan penyelesaiannya diharapkan bisa mendorong kinerja dewan menjadi lebih baik lagi.

Selanjutnya, pihak legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, kata Saifuddin, jangan mencari-cari kesalahan eksekutif dan sebaliknya. Kalau fenomena seperti itu terus terjadi, kata Saifuddin, maka yang sangat dirugikan adalah rakyat. Dana migas dan otsus yang diterima mencapai 4-5 triliunan rupiah/tahun, akhirnya nanti tidak akan memberikan nilai tambah apa-apa untuk perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Hal ini karena, eksekutif dan legislatif tidak mampu menghasilkan program pembangunan yang bisa meningkatkan taraf hidup rakyat dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Yang diinginkan rakyat Aceh dari para pejabat eksekutif dan legislatif, menurut dosen Fisipol Unsyiah ini, adalah perbaikan taraf hidup, kenyamaman, dan ketenangan agar bisa hidup bahagia. Ini menjadi tugas para pejabat eksekutif bersama legislatif, untuk membahagiakan rakyatnya. Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah, Ali Amin SE MSi dalam acara evaluasi dan doa satu tahun masa kerja DPRA periode 2009-2011 yang dilaksanakan GeRAK Aceh di kantornya kemarin mengatakan, untuk mengevaluasi kinerja DPRA bisa dlihat dari tiga aspek. Yaitu aspek hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), dan sense of crisis atau kepedulian dewan terhadap kondisi masyarakat Aceh.

Contohnya, ungkap Ali Amin, selama setahun bekerja, DPRA baru menghasilkan sebuah qanun, yakni Qanun tentang APBA 2010. Kalau ini yang dihasilkan, kinerjanya jelas belum terlihat, karena ini merupakan tugas rutin yang harus dilaksanakan legislatif dan eksekutif. Dewan baru dinilai berprestasi, jika dalam satu tahun menargetkan akan menyelesaikan 21 qanun. “Dari yang ditargetkan itu bila dapat diselesaikan seluruhnya atau lebih, itu baru dikatakan dewan berkinerja baik atau berprestasi di bidang legislasi,” kata putra Aceh Singkil ini.

Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudarman secara terpisah kepada Serambi juga menyatakan keprihatinannya terhadap kinerja DPRA periode 2009-2014. “Kalau saya lihat, cukup memprihatinkan. Sebab, sudah setahun berjalan periode dewan sekarang, tapi hanya satu qanun yang dihasilkan, yakni Qanun tentang APBA 2010. Ini kan tergolong qanun fardhu kifayah,” katanya.

Sudarman menambahkan, dari segi fungsi dan tugasnya sebagai legislatif, keberadaan anggota dewan yang tanpa prestasi, sementara gaji terus dibayar, jelas merugikan rakyat Aceh. “Kalau saya anggota dewan, sudah saya kembalikan gaji yang saya terima. Itu tindakan minimal. Kalau tindakan yang radikalnya, ya mundur,” ujar Sudarman.

Ia berharap, kinerja yang jeblok pada tahun pertama ini harus dijadikan bahan renungan untuk melakukan memperbaiki di masa mendatang. “Kalau ke depan juga tidak terjadi perubahan, saya kira, lebih baik tinggalkan saja gedung dewan itu dan jadi rakyat biasa kembali,” imbuh Sudarman.

Masih merah
TAF Haikal dari Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) dan Teuku Ardiansyah dari Aksara Strategi Institute menilai, rapor kinerja tahun pertama DPRA periode 2009-2014 masih merah. Hal ini tidak hanya ditandai sejak dilantik 30 September 2009 sampai 30 September 2010, mereka baru menghasilkan sebuah qanun, tapi dapat pula dilihat secara menyeluruh dari tiga fungsi anggota legislatif itu yang nilainya baru mencapai 5. Ketiga fungsi itu adalah legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Misalnya, dari aspel kontrol, pengawasan yang dilakukan dewan terhadap penyusunan anggaran APBA juga masih terlihat boros, tidak mencerminkan anggaran yang bisa membangkitkan investasi Aceh di masa datang. Padahal, dengan dana Otsus yang besar itu, harusnya DPRA bersama Gubernur membuat terobosan baru pembangunan yang bisa menghasilkan energi baru untuk tumbuh dan berkembangnya investasi Aceh di masa datang. “Tapi ini belum dilakukan DPRA dan Gubernur secara maksimal. Program yang dibuat lebih banyak memanjakan rakyat untuk menjadi peminta-minta, bukan untuk mendorong rakyat menjadi masyarakat yang berproduktif tinggi, berinovasi, dan berkreasi,” ujar Ardi.

Belum maksimal
Menyikapi kritikan, sorotan, dan masukan dari akademisi dan pegiat LSM yang hadir dalam pertemuan evaluasi dan doa bersama satu tahun masa kerja DPRA 2009-2014 di Kantor GeRAK Aceh itu, Wakil Ketua I DPRA, Amir Helmi SH mengatakan, dalam satu tahun masa kerja yang telah berlalu, DPRA memang belum bekerja maksimal.

Menurutnya, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Misalnya, mengenai perbedaan-perbedaan pandangan yang muncul dalam menyikapi berbagai hal dalam rapat-rapat Panggar, Pokja, Panmus, dan musyawarah.

Perbedaan pandangan itu, kata Amir Helmi, memasuki tahun kedua ini sudah mulai bisa disatukan dan semua anggota dewan maupun Pimpinan sama-sama mengoreksi diri agar kelemahan dan keterlambatan pekerjaan yang pernah terjadi pada tahun pertama, dicari penyebab dan solusi penyelesaiannya agar kinerja pada tahun kedua nanti lebih baik, atau rapornya sudah tidak merah lagi, sebagaimana penilaian LSM, mahasiswa, dan akademisi.

Amir Helmi menjelaskan, banyak yang sudah dikerjakan DPRA selama setahun, tidak hanya qanun APBA 2010, tapi sudah membahas sembilan rancangan qanun (raqan) dari 23 raqan prioritas yang telah ditetapkan. Dari sembilan raqan yang telah dibahas, tiga di antaranya sudah siap untuk dibawa ke sidang paripurna, yaitu Raqan Penanganan Bencana Alam, Stok Badan Bencana Alam, dan Raqan Kesehatan.

Sedangkan pembahasan APBA-P 2010 belum dilakukan, karena terganjal dua hal, yaitu belum tuntasnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APBA 2009 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan menjadi dasar perhitungan APBA 2009. Kendala kedua, sebelum APBA-P dilaksanakan, harus dilakukan Pansus Perhitungan APBA tahun sebelumnya. “Sedangkan mengenai KUA dan PPAS 2011, belum disahkan, karena pagunya setelah pembahasan Pokja DPRA membengkak, sehingga perlu dirasionalkan kembali,” demikian Amir Helmi. (her/mir/sup)

Sumber: Harian Serambi Indonesia
edisi jum'at, 1 Oktober 2010,

Pemimpin Paranoid

DALAM Wikipedia Bahasa Indonesia, paranoid adalah ajektiva kata sifat untuk penderita paranoia yang didefinisikan sebagai penyakit mental, di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Sedangkan dalam kamus Webster, paranoia didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis.

Dalam kamus kedokteran, Dorland, paranoid atau perilaku menyerupai paranoia diartikan sebagai kelainan jiwa kronik (gangguan kejiwaan), ditandai oleh perkembangan ambisi atau kecurigaan yang berlebihan. Gejala-gejala penderitanya adalah: adanya keyakinan palsu yang dipertahankan, yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya. Keyakinan ini menjadikan penderita paranoid selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, dan diawasi. Ada juga keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting.

Karena yakin ada kekuatan dari luar yang sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya, akibatnya muncul persepsi palsu pada si paranoid atau menganggap suatu hal ada dan benar-benar nyata, padahal kenyataannya hal itu hanyalah khayalan si paranoid belaka.

Biasanya pada aspek motorik, gejala paranoia ini dapat dilihat dari ekspresi wajah yang aneh dan khas, diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yang juga aneh dan dapat dilihat dari cara berjalannya. Dalam konteks interaksi sosial, si paranoid pada umumnya tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya, sehingga dia hanya memiliki sedikit teman. Diduga, penyebab gangguan kepribadian ini disebabkan oleh respons pertahanan psikologis (mekanisme pertahanan diri) yang berlebihan terhadap berbagai stres atau konflik terhadap egonya dan biasanya sudah terbentuk sejak usia muda.

Paranoid ini dapat menjangkiti siapa saja, terutama mereka yang dalam kesehariannya perlu untuk terus mempertahankan sesuatu yang diyakini menjadi miliknya. Paranoia ini malah paling sering menjangkiti mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan atau penguasa negara yang ingin mencengkeramkan kuku hegemoninya secara luas dan mendalam.

Paranoia tentu berbeda dengan sikap hati-hati dan waspada. Sikap hati-hati dan waspada tentu saja diperlukan untuk berjaga-jaga, proteksi diri, dan keamanan secara proporsional. Namun, sikap paranoid sebaiknya harus dijauhi, karena sikap tersebut tidak proporsional, sehingga justru akan kontraproduktif dan akan menyebabkan kepanikan.

Mereka yang mengalami paranoid, meminjam istilah Martin Heidegger dalam Discourse on Thinking (1966), banyak yang terjebak dalam kondisi “ketidakberpikiran” (thoughtlessness). Mereka tidak pernah berpikir panjang atau bahkan tidak pula berpikir pendek. Dalam suasana “ketidakberpikiran” itu mereka hanya “berhasrat” melakukan sesuatu, lalu menggunakan segala cara dan media untuk melampiaskan hasrat itu dengan cara, misalnya, menuduh dan menyerang pihak-pihak yang tidak sejalan dengan mereka.

Paranoid politik
Sikap paranoid akan sangat bahaya bila menghinggapi para pemimpin publik, karena akan sangat berimbas pada berbagai kebijakan dan dinamika politik dalam sebuah wilayah. Di titik inilah dikhawatirkan akan muncul pernyataan dan kebijakan yang tidak proporsional dan populis, karena didasari oleh sikap paranoid politik. Sebab, akan muncul sikap reaktif berlebihan. Sikap reaktif biasanya akan diimplementasikan dengan cara membuat pernyataan dan kebijakan yang tidak disertai dengan pertimbangan matang, melainkan berdasarkan emosi dan bisa dalam waktu sangat singkat semua itu terjadi.

Akhir-akhir ini masyarakat luas di Aceh semakin sering membaca informasi di media tentang para pemimpin yang saling menyerang di media. Pada awal-awal kepemimpinan, mereka terlihat sangat mesra, berjalan bergandeng dan seiya-sekata dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka saling berbagi tugas dan peran. Malah ada yang rela berbagi pendapa atau meuligoe untuk ditempati bersama.

Dalam perjalannya, semua itu mulai berubah dan masyarakat luas makin kerap disajikan tontonan yang kadang bagi sebagian orang, masih bertanya-tanya, apa betul ya sampai begitu para pemimpin mereka. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah karena momentum suksesi sudah semakin dekat, yakni tahun 2011. Akan ada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di tingkat provinsi yang diikuti oleh 16 kabupaten/kota. Apakah gara-gara momentum politik yang tentunya sangat kompetitif itu, lalu muncul “wabah” paranoia (penyakit khayal) yang menjangkiti banyak aktor politik?

Mungkin masih segar dalam ingatan publik Aceh, bagaimana berita di Serambi Indonesia edisi 9 September 2010 yang mengutip siaran pers Wakil Gubernur Aceh berjudul “Wagub Terkejut atas Pergantian Karo Isra”.

Seperti diketahui, Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Aceh (Karo Isra), Drs Syaiba Ibrahim dan beberapa pejabat eselon III dan IV di biro yang sama diganti secara mendadak oleh Gubernur Aceh. Publik di Aceh bertanya, apakah ini bagian dari “genderang perang terbuka” mulai ditabuh menjelang 2011 antara Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh?

Sehari sebelumnya juga pada harian yang sama pada halaman Droe keu Droe seorang Karo Isra menulis surat pembaca dengan judul “Pak Gubernur, Saya Difitnah!” yang juga menyampaikan tentang kebijakan yang diambil Gubernur Aceh harus di-crosscheck lagi kebenarannya. Syaiba juga menginformasikan adanya mafia di Biro Isra, dan itu yang seharusnya “dilibas” Gubernur.

Dari kedua pernyataan media tersebut, publik di Aceh bertanya-tanya, kok bisa seorang kepala biro yang hanya berlapis hierarki seorang Sekda harus membuat surat pembaca di koran? Lebih konyol lagi, seorang Wakil Gubernur yang langsung tanpa ada hierarki harus membuat siaran pers ke media berkaitan dengan kebijakan tata pemerintahan yang diambil oleh atasannya.

Bila ini dilakukan oleh seorang Kolonel Penerbang Adjie Suradjie dalam tulisannya di sebuah harian nasional, mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden SBY, ini memang hierarki sangat jauh! Atau para aktivis yang sering membuat siaran pers menanggapi kebijakan gubernur atau bupati/wali kota masih tergolong hal yang wajar, karena memang tidak ada hierarkinya. Tapi, ini dilakukan seorang Wakil Gubernur. Bagaimana pula ke depan dengan semakin dekatnya momentum Pemilukada 2011. “Kicauan” atau bocoran apalagi yang akan dibaca oleh publik Aceh berkaitan dengan tindak tanduk para pemimpinnya?

Terakhir yang lebih tragis dan sudah muncul di sebuah situs media online tentang pergantian khatib shalat Idul Fitri, dilakukan oleh Gubernur Aceh secara mendadak dikaitkan dengan masalah pertarungan politik antara dirinya dengan Wagub Muhammad Nazar yang konon sedang menyusun kekuatan menuju “Aceh 1”. Dan, info itu konon hanya didasarkan sebuah notulensi rapat rahasia mirip surat kaleng yang belum teruji kebenarannya.

Padahal, pihak panitia sudah mencetak 6.000 teks ceramah khatib Hari Raya Idul Fitri 1413 Hijriah yang dilaksanakan di Blang Padang Banda Aceh. Selain itu, ribuan koran Gema Baiturrahman yang memuat teks khotbah tersebut juga terpaksa urung diedarkan. Belakangan, kalangan santri dayah pun bersuara dan protes, karena khatib dari jajaran mereka diganti Gubernur dengan khatib jebolan kampus. Semua jadi serbapelik akhirnya.

Sulit berharap
Apabila para pemimpin dan aktor politik di Aceh makin terjangkiti paranoia, maka rakyat jangan banyak berharap ke depan bahwa proses tata pemerintah dan pembangunan akan semakin fokus menjelang periode duet sang pemimpin berakhir. Tentunya ini disebabkan para pemimpin justru ke depan semakin fokus berpikir bagaimana “cara saya mempertahankan jabatan periode kedua” dan bagi yang belum menjadi orang nomor satu, sedang berupaya dengan sematang mungkin mempersiapkan diri menjadi yang nomor satu.

Yang menariknya, bila kita bertanya apa yang menyebabkan mereka maju kembali, mungkin alasan klasik yang kita sering dengar mulai dari dulu sampai sekarang adalah “demi kesinambungan pembangunan” atau “lanjutkan!” dalam jargon politik SBY.

Fenomena di atas sekarang menjadi tren di Aceh yang mewarnai demokrasi dan realitas politik kekinian. Intinya, kekuasaan itu memang begitu menggoda dan menyilaukan. Padahal, kekuasaan yang sengaja diincar tidak hanya cenderung korup, tetapi juga membuat mereka yang duduk di singgahsana kekuasaan sangat mudah menjadi paranoid.

Memang tidak ada tabu politik di dalam alam demokrasi yang sudah sangat maju sekarang ini, bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih. Tapi apakah untuk mencapai itu semua harus dibangun dengan segala cara yang terkadang naif dan bahkan menjijikkan? Sehingga orang-orang yang belum tentu bersalah, hanya dengan surat kaleng atau isu-isu yang belum tentu kebenarannya, harus menjadi korban? Jangan-jangan, sang pemimpin paranoid tersebut, dengan segala waham curiga dan ketakutan yang berlebihan, justru sedang mempertinggi tempat jatuhnya, atau bahkan sedang menggali kuburnya sendiri. Mudah-mudahan saja tidak. Wallahu a’lam.

Oleh : TAF Haikal
Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan dan peminat masalah sosial.

Sumber: Serambi Indonesia,
edisi Sabtu 18 September 2010
Kolom Opini