Lintas Banda Aceh-Calang Lumpuh Akibat Longsor

Arus transportasi Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Jaya, melalui Ligan kembali lumpuh akibat ruas jalan di pengunungan Panteu Ligan Kabupaten Aceh Jaya tertimbun longsor sepanjang 50 meter.

“Kami sudah terjebak longsor di hutan ini sejak Minggu (30/11). Kami harap ada bantuan alat berat agar bisa terbebas dari lumpur,” kata seorang supir truk tronton, Jufri (32) di Ligan, Aceh Jaya, Selasa.

Akibat longsor di beberapa titik di sepanjang pengunungan tersebut, arus lalu lintas dari Banda Aceh-Calang hanya dapat dilewati melalui jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah dengan menggunakan rakit penyeberangan.

Jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah hanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan roda dua dan mobil berukuran kecil.

Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang terjebak longsor sejak Minggu (7/12) mengaku prihatin kondisi jalan utama menuju daerah delapan kabupaten/kota pantai barat selatan Aceh.

“Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah setempat seharusnya tanggap dengan kondisi jalan yang kritis akibat longsor dan banjir. Pemerintah terkesan lamban menanganinya,” kata Haikal.

Ia meminta pihak terkait mensiagakan alat berat di lokasi-lokasi yang rentan bencana longsor dan banjir agar arus barang dan manusia ke wilayah tersebut bisa lancar.

Sementara itu, tokoh masyarakat Ligan, T Saudi mengatakan longsoran yang terjadi di sepanjang gunung Panteu sudah berlangsung hampir tiga bulan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan diperbaik

sumber: ANTARA News, edisi Sabtu (9 Oktober 2010)

KPBS Dukung Sikap Tegas USAID

Aceh Jaya BANDA ACEH - Ancaman USAID (United States Agency for International Development) akan menyetop proyek section IV--lintas Banda Aceh-Calang--jika di lapangan masih terjadi masalah seperti pemagaran jalan dan berbagai gangguan lainnya didukung oleh berbagai kalangan, termasuk Kaukus Pantai Barat-Selatan (KBPS).

“Kami berharap tidak ada lagi barikade atau pemagaran jalan saat proyek section empat kita lanjutkan pembangunannya bulan ini. Jika masih tetap ada, pekerjaannya akan langsung kami hentikan. Karena itu, kami minta pemerintah daerah mengecek kembali apakah masih ada tanah di lokasi pembangunan jalan yang bermasalah atau tidak,” kata Tim Leader USAID untuk Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang, Roy R Ventura Jr PE.

Penegasan itu disampaikan Roy dalam pertemuan dengan para keuchik, imum mukim, tokoh masyarakat, dan tokoh agama se-Kecamatan Jaya, KPA, dan Unsur Muspika Jaya di Kantor Parsons-USAID Lamno di Desa Leupee, Kecamatan Jaya, Selasa (5/12).

Menanggapi ancama tersebut, Juru Bicara KBPS, TAF Haikal menyatakan dukungan dan memberikan apresiasi kepada pihak USAID yang telah berani bersikap tegas. “Ini respons yang sangat tepat dari pihak USAID agar pembangunan untuk kepentingan rakyat tidak terganggu,” kata Haikal.

Menurut Haikal, masyarakat kawasan barat-selatan Aceh, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat Barat, Nagan Raya, Abdya, Abdya, Aceh Selatan, Simeulue, Subulussalam, dan Singkil sudah cukup bersabar. “Masyarakat menunggu ketegasan pemerintah. Jangan sampai pemerintah dilecehkan dikarenakan beberapa kelompok yang mengklaim kepemilikan tanah atau siapapun yang menghambat pembangunan jalan tersebut,” tegas Haikal.

KBPS melihat solusi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan Aceh Jaya adalah dengan membangun dialog dengan masyarakat. Jika hal ini juga tidak menemui kata sepakat, maka jalur hukum menjadi alternatif.

Bentuk terorisme
Haikal mengatakan, jika berbagai upaya mediasi dengan jalan damai sudah dilakukan oleh Pemerintah Aceh, maka jika nantinya masih ada juga pihak yang menghambat pembangunan jalan tersebut, hal itu merupakan bentuk terorisme gaya baru.

KBPS juga mengimbau kepada seluruh komponen, termasuk pihak keamanan untuk mengambil sikap tegas apabila masih ditemukan hambatan nonteknis di lapangan. “Jangan sampai ada pihak-pihak yang mengambil untung dari situasi seperti ini,” demikian Juru Bicara KBPS.(nas)

sumber: Serambi Indonesia
edisi Kamis 7 Oktober 2010

Penilaian Akademisi dan LSM: Rapor Kinerja DPRA Merah

BANDA ACEH - Kalangan akademisi, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai, kinerja anggota dan Pimpinan DPRA periode 2009-2014--pascasetahun dilantik--ternyata belum memberikan kinerja yang baik untuk rakyat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Akademisi mengklaim, kinerja tahun pertama DPRA masih mengecewakan, sementara pegiat LSM menilai rapornya masih merah atau pontennya paling banter baru mencapai 5.

Sementara itu, puluhan mahasiswa Unsyiah, Kamis (30/9) siang, menyambangi Gedung DPRA di Jalan Tgk Daud Beureueh, Banda Aceh. Kedatangan mereka untuk mempertanyakan kinerja DPRA yang dinilai lamban. Soalnya, sudah setahun memangku amanah rakyat Aceh, tapi mereka belum mampu mewujudkan banyak hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.

Dalam orasi bergantian yang dimulai pukul 11.30 WIB itu, para pengunjuk rasa mengkritisi kinerja tahun pertama DPRA masa bakti 2009-2014. Seharusnya, sebut pengunjuk rasa, anggota legislatif itu lebih produktif, sehingga menghasilkan banyak hal yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat Aceh.

“Tapi, kenyataannya kinerja DPRA malah terkesan mandul,” tuding seorang demonstran. Para demonstran yang mengenakan jaket almamaternya itu, silih berganti berorasi. Kedatangan mereka akhirnya disambut Abdullah Saleh SH, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh. Setelah demonstran membacakan apa yang menjadi tuntutan mereka, Abdullah Saleh sempat memberi penjelasan. Tapi, saat sebuah paket kado yang berisi potongan kertas tentang janji politik yang pernah diutarakan para anggota dewan itu akan diserahkan, Abdullah Saleh langsung berlalu, meninggalkan para pengunjuk rasa.

Presiden Mahasiswa (PEMA) Unsyiah, Alfiyan Muhiddin menyebutkan, banyak harapan rakyat kepada anggota dewan baru ini. Bahkan rakyat menanti gebrakan para anggota dewan untuk mempercepat pembangunan Aceh. Tapi apa kenyataannya, semua ucapan itu cukup terlontar dalam janji-janji politik saja.

Menurutnya, tak ada perubahan signifikan yang tampak selama anggota legislatif itu dipercayakan menjadi lembaga pengontrol dan pengawas Pemerintah Aceh. Bahkan setiap ada permasalahan yang melibatkan eksekutif, DPRA dinilai hanya mampu menyuarakan di belakang, tanpa ada upaya konkret. “Belum lagi masalah SKPA yang tak kunjung selesai, dana abadi pendidikan yang tak tahu di mana. Bahkan banyak kasus korupsi yang melibatkan para eksekutif. Semua itu tak ada penyelesaiannya,” sebut Alfiyan.

Sorotan tentang kinerja DPRA juga disampaikan dosen Fakultas Hukum dan Fisipol Unsyiah, Saifuddin Bantasyam SH MA. Saat dimintai Serambi tanggapannya kemarin, Saifuddin menilai kinerja tahun pertama DPRA pontennya belum baik dan masih mengecewakan masyarakat, khususnya para konstituen.

Menurut Saifuddin, anggota dan Pimpinan DPRA menjelang genap setahun masa kerjanya sebagai anggota legislatif, bukannya menunjukkan prestasi kerja yang baik kepada publik, tapi malah mempertontonkan ketidakharmonisan antara anggota dan pimpinan dewan kepada publik melalui media massa.

Anggota dan Pimpinan DPRA saling menyalahkan dalam hal keterlambatan pembahasan lanjutan dan pengesahaan KUA dan PPAS RAPBA 2011, APBA-P 2010, dan LKPJ Gubernur 2009. Masalah internal dewan, menurut Saifuddin, seharusnya diselesaikan secara internal dengan arif dalam rapat Banmus dan penyelesaiannya diharapkan bisa mendorong kinerja dewan menjadi lebih baik lagi.

Selanjutnya, pihak legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, kata Saifuddin, jangan mencari-cari kesalahan eksekutif dan sebaliknya. Kalau fenomena seperti itu terus terjadi, kata Saifuddin, maka yang sangat dirugikan adalah rakyat. Dana migas dan otsus yang diterima mencapai 4-5 triliunan rupiah/tahun, akhirnya nanti tidak akan memberikan nilai tambah apa-apa untuk perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Hal ini karena, eksekutif dan legislatif tidak mampu menghasilkan program pembangunan yang bisa meningkatkan taraf hidup rakyat dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Yang diinginkan rakyat Aceh dari para pejabat eksekutif dan legislatif, menurut dosen Fisipol Unsyiah ini, adalah perbaikan taraf hidup, kenyamaman, dan ketenangan agar bisa hidup bahagia. Ini menjadi tugas para pejabat eksekutif bersama legislatif, untuk membahagiakan rakyatnya. Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah, Ali Amin SE MSi dalam acara evaluasi dan doa satu tahun masa kerja DPRA periode 2009-2011 yang dilaksanakan GeRAK Aceh di kantornya kemarin mengatakan, untuk mengevaluasi kinerja DPRA bisa dlihat dari tiga aspek. Yaitu aspek hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), dan sense of crisis atau kepedulian dewan terhadap kondisi masyarakat Aceh.

Contohnya, ungkap Ali Amin, selama setahun bekerja, DPRA baru menghasilkan sebuah qanun, yakni Qanun tentang APBA 2010. Kalau ini yang dihasilkan, kinerjanya jelas belum terlihat, karena ini merupakan tugas rutin yang harus dilaksanakan legislatif dan eksekutif. Dewan baru dinilai berprestasi, jika dalam satu tahun menargetkan akan menyelesaikan 21 qanun. “Dari yang ditargetkan itu bila dapat diselesaikan seluruhnya atau lebih, itu baru dikatakan dewan berkinerja baik atau berprestasi di bidang legislasi,” kata putra Aceh Singkil ini.

Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudarman secara terpisah kepada Serambi juga menyatakan keprihatinannya terhadap kinerja DPRA periode 2009-2014. “Kalau saya lihat, cukup memprihatinkan. Sebab, sudah setahun berjalan periode dewan sekarang, tapi hanya satu qanun yang dihasilkan, yakni Qanun tentang APBA 2010. Ini kan tergolong qanun fardhu kifayah,” katanya.

Sudarman menambahkan, dari segi fungsi dan tugasnya sebagai legislatif, keberadaan anggota dewan yang tanpa prestasi, sementara gaji terus dibayar, jelas merugikan rakyat Aceh. “Kalau saya anggota dewan, sudah saya kembalikan gaji yang saya terima. Itu tindakan minimal. Kalau tindakan yang radikalnya, ya mundur,” ujar Sudarman.

Ia berharap, kinerja yang jeblok pada tahun pertama ini harus dijadikan bahan renungan untuk melakukan memperbaiki di masa mendatang. “Kalau ke depan juga tidak terjadi perubahan, saya kira, lebih baik tinggalkan saja gedung dewan itu dan jadi rakyat biasa kembali,” imbuh Sudarman.

Masih merah
TAF Haikal dari Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) dan Teuku Ardiansyah dari Aksara Strategi Institute menilai, rapor kinerja tahun pertama DPRA periode 2009-2014 masih merah. Hal ini tidak hanya ditandai sejak dilantik 30 September 2009 sampai 30 September 2010, mereka baru menghasilkan sebuah qanun, tapi dapat pula dilihat secara menyeluruh dari tiga fungsi anggota legislatif itu yang nilainya baru mencapai 5. Ketiga fungsi itu adalah legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Misalnya, dari aspel kontrol, pengawasan yang dilakukan dewan terhadap penyusunan anggaran APBA juga masih terlihat boros, tidak mencerminkan anggaran yang bisa membangkitkan investasi Aceh di masa datang. Padahal, dengan dana Otsus yang besar itu, harusnya DPRA bersama Gubernur membuat terobosan baru pembangunan yang bisa menghasilkan energi baru untuk tumbuh dan berkembangnya investasi Aceh di masa datang. “Tapi ini belum dilakukan DPRA dan Gubernur secara maksimal. Program yang dibuat lebih banyak memanjakan rakyat untuk menjadi peminta-minta, bukan untuk mendorong rakyat menjadi masyarakat yang berproduktif tinggi, berinovasi, dan berkreasi,” ujar Ardi.

Belum maksimal
Menyikapi kritikan, sorotan, dan masukan dari akademisi dan pegiat LSM yang hadir dalam pertemuan evaluasi dan doa bersama satu tahun masa kerja DPRA 2009-2014 di Kantor GeRAK Aceh itu, Wakil Ketua I DPRA, Amir Helmi SH mengatakan, dalam satu tahun masa kerja yang telah berlalu, DPRA memang belum bekerja maksimal.

Menurutnya, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Misalnya, mengenai perbedaan-perbedaan pandangan yang muncul dalam menyikapi berbagai hal dalam rapat-rapat Panggar, Pokja, Panmus, dan musyawarah.

Perbedaan pandangan itu, kata Amir Helmi, memasuki tahun kedua ini sudah mulai bisa disatukan dan semua anggota dewan maupun Pimpinan sama-sama mengoreksi diri agar kelemahan dan keterlambatan pekerjaan yang pernah terjadi pada tahun pertama, dicari penyebab dan solusi penyelesaiannya agar kinerja pada tahun kedua nanti lebih baik, atau rapornya sudah tidak merah lagi, sebagaimana penilaian LSM, mahasiswa, dan akademisi.

Amir Helmi menjelaskan, banyak yang sudah dikerjakan DPRA selama setahun, tidak hanya qanun APBA 2010, tapi sudah membahas sembilan rancangan qanun (raqan) dari 23 raqan prioritas yang telah ditetapkan. Dari sembilan raqan yang telah dibahas, tiga di antaranya sudah siap untuk dibawa ke sidang paripurna, yaitu Raqan Penanganan Bencana Alam, Stok Badan Bencana Alam, dan Raqan Kesehatan.

Sedangkan pembahasan APBA-P 2010 belum dilakukan, karena terganjal dua hal, yaitu belum tuntasnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APBA 2009 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan menjadi dasar perhitungan APBA 2009. Kendala kedua, sebelum APBA-P dilaksanakan, harus dilakukan Pansus Perhitungan APBA tahun sebelumnya. “Sedangkan mengenai KUA dan PPAS 2011, belum disahkan, karena pagunya setelah pembahasan Pokja DPRA membengkak, sehingga perlu dirasionalkan kembali,” demikian Amir Helmi. (her/mir/sup)

Sumber: Harian Serambi Indonesia
edisi jum'at, 1 Oktober 2010,

Pemimpin Paranoid

DALAM Wikipedia Bahasa Indonesia, paranoid adalah ajektiva kata sifat untuk penderita paranoia yang didefinisikan sebagai penyakit mental, di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Sedangkan dalam kamus Webster, paranoia didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis.

Dalam kamus kedokteran, Dorland, paranoid atau perilaku menyerupai paranoia diartikan sebagai kelainan jiwa kronik (gangguan kejiwaan), ditandai oleh perkembangan ambisi atau kecurigaan yang berlebihan. Gejala-gejala penderitanya adalah: adanya keyakinan palsu yang dipertahankan, yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya. Keyakinan ini menjadikan penderita paranoid selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, dan diawasi. Ada juga keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting.

Karena yakin ada kekuatan dari luar yang sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya, akibatnya muncul persepsi palsu pada si paranoid atau menganggap suatu hal ada dan benar-benar nyata, padahal kenyataannya hal itu hanyalah khayalan si paranoid belaka.

Biasanya pada aspek motorik, gejala paranoia ini dapat dilihat dari ekspresi wajah yang aneh dan khas, diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yang juga aneh dan dapat dilihat dari cara berjalannya. Dalam konteks interaksi sosial, si paranoid pada umumnya tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya, sehingga dia hanya memiliki sedikit teman. Diduga, penyebab gangguan kepribadian ini disebabkan oleh respons pertahanan psikologis (mekanisme pertahanan diri) yang berlebihan terhadap berbagai stres atau konflik terhadap egonya dan biasanya sudah terbentuk sejak usia muda.

Paranoid ini dapat menjangkiti siapa saja, terutama mereka yang dalam kesehariannya perlu untuk terus mempertahankan sesuatu yang diyakini menjadi miliknya. Paranoia ini malah paling sering menjangkiti mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan atau penguasa negara yang ingin mencengkeramkan kuku hegemoninya secara luas dan mendalam.

Paranoia tentu berbeda dengan sikap hati-hati dan waspada. Sikap hati-hati dan waspada tentu saja diperlukan untuk berjaga-jaga, proteksi diri, dan keamanan secara proporsional. Namun, sikap paranoid sebaiknya harus dijauhi, karena sikap tersebut tidak proporsional, sehingga justru akan kontraproduktif dan akan menyebabkan kepanikan.

Mereka yang mengalami paranoid, meminjam istilah Martin Heidegger dalam Discourse on Thinking (1966), banyak yang terjebak dalam kondisi “ketidakberpikiran” (thoughtlessness). Mereka tidak pernah berpikir panjang atau bahkan tidak pula berpikir pendek. Dalam suasana “ketidakberpikiran” itu mereka hanya “berhasrat” melakukan sesuatu, lalu menggunakan segala cara dan media untuk melampiaskan hasrat itu dengan cara, misalnya, menuduh dan menyerang pihak-pihak yang tidak sejalan dengan mereka.

Paranoid politik
Sikap paranoid akan sangat bahaya bila menghinggapi para pemimpin publik, karena akan sangat berimbas pada berbagai kebijakan dan dinamika politik dalam sebuah wilayah. Di titik inilah dikhawatirkan akan muncul pernyataan dan kebijakan yang tidak proporsional dan populis, karena didasari oleh sikap paranoid politik. Sebab, akan muncul sikap reaktif berlebihan. Sikap reaktif biasanya akan diimplementasikan dengan cara membuat pernyataan dan kebijakan yang tidak disertai dengan pertimbangan matang, melainkan berdasarkan emosi dan bisa dalam waktu sangat singkat semua itu terjadi.

Akhir-akhir ini masyarakat luas di Aceh semakin sering membaca informasi di media tentang para pemimpin yang saling menyerang di media. Pada awal-awal kepemimpinan, mereka terlihat sangat mesra, berjalan bergandeng dan seiya-sekata dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka saling berbagi tugas dan peran. Malah ada yang rela berbagi pendapa atau meuligoe untuk ditempati bersama.

Dalam perjalannya, semua itu mulai berubah dan masyarakat luas makin kerap disajikan tontonan yang kadang bagi sebagian orang, masih bertanya-tanya, apa betul ya sampai begitu para pemimpin mereka. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah karena momentum suksesi sudah semakin dekat, yakni tahun 2011. Akan ada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di tingkat provinsi yang diikuti oleh 16 kabupaten/kota. Apakah gara-gara momentum politik yang tentunya sangat kompetitif itu, lalu muncul “wabah” paranoia (penyakit khayal) yang menjangkiti banyak aktor politik?

Mungkin masih segar dalam ingatan publik Aceh, bagaimana berita di Serambi Indonesia edisi 9 September 2010 yang mengutip siaran pers Wakil Gubernur Aceh berjudul “Wagub Terkejut atas Pergantian Karo Isra”.

Seperti diketahui, Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Aceh (Karo Isra), Drs Syaiba Ibrahim dan beberapa pejabat eselon III dan IV di biro yang sama diganti secara mendadak oleh Gubernur Aceh. Publik di Aceh bertanya, apakah ini bagian dari “genderang perang terbuka” mulai ditabuh menjelang 2011 antara Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh?

Sehari sebelumnya juga pada harian yang sama pada halaman Droe keu Droe seorang Karo Isra menulis surat pembaca dengan judul “Pak Gubernur, Saya Difitnah!” yang juga menyampaikan tentang kebijakan yang diambil Gubernur Aceh harus di-crosscheck lagi kebenarannya. Syaiba juga menginformasikan adanya mafia di Biro Isra, dan itu yang seharusnya “dilibas” Gubernur.

Dari kedua pernyataan media tersebut, publik di Aceh bertanya-tanya, kok bisa seorang kepala biro yang hanya berlapis hierarki seorang Sekda harus membuat surat pembaca di koran? Lebih konyol lagi, seorang Wakil Gubernur yang langsung tanpa ada hierarki harus membuat siaran pers ke media berkaitan dengan kebijakan tata pemerintahan yang diambil oleh atasannya.

Bila ini dilakukan oleh seorang Kolonel Penerbang Adjie Suradjie dalam tulisannya di sebuah harian nasional, mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden SBY, ini memang hierarki sangat jauh! Atau para aktivis yang sering membuat siaran pers menanggapi kebijakan gubernur atau bupati/wali kota masih tergolong hal yang wajar, karena memang tidak ada hierarkinya. Tapi, ini dilakukan seorang Wakil Gubernur. Bagaimana pula ke depan dengan semakin dekatnya momentum Pemilukada 2011. “Kicauan” atau bocoran apalagi yang akan dibaca oleh publik Aceh berkaitan dengan tindak tanduk para pemimpinnya?

Terakhir yang lebih tragis dan sudah muncul di sebuah situs media online tentang pergantian khatib shalat Idul Fitri, dilakukan oleh Gubernur Aceh secara mendadak dikaitkan dengan masalah pertarungan politik antara dirinya dengan Wagub Muhammad Nazar yang konon sedang menyusun kekuatan menuju “Aceh 1”. Dan, info itu konon hanya didasarkan sebuah notulensi rapat rahasia mirip surat kaleng yang belum teruji kebenarannya.

Padahal, pihak panitia sudah mencetak 6.000 teks ceramah khatib Hari Raya Idul Fitri 1413 Hijriah yang dilaksanakan di Blang Padang Banda Aceh. Selain itu, ribuan koran Gema Baiturrahman yang memuat teks khotbah tersebut juga terpaksa urung diedarkan. Belakangan, kalangan santri dayah pun bersuara dan protes, karena khatib dari jajaran mereka diganti Gubernur dengan khatib jebolan kampus. Semua jadi serbapelik akhirnya.

Sulit berharap
Apabila para pemimpin dan aktor politik di Aceh makin terjangkiti paranoia, maka rakyat jangan banyak berharap ke depan bahwa proses tata pemerintah dan pembangunan akan semakin fokus menjelang periode duet sang pemimpin berakhir. Tentunya ini disebabkan para pemimpin justru ke depan semakin fokus berpikir bagaimana “cara saya mempertahankan jabatan periode kedua” dan bagi yang belum menjadi orang nomor satu, sedang berupaya dengan sematang mungkin mempersiapkan diri menjadi yang nomor satu.

Yang menariknya, bila kita bertanya apa yang menyebabkan mereka maju kembali, mungkin alasan klasik yang kita sering dengar mulai dari dulu sampai sekarang adalah “demi kesinambungan pembangunan” atau “lanjutkan!” dalam jargon politik SBY.

Fenomena di atas sekarang menjadi tren di Aceh yang mewarnai demokrasi dan realitas politik kekinian. Intinya, kekuasaan itu memang begitu menggoda dan menyilaukan. Padahal, kekuasaan yang sengaja diincar tidak hanya cenderung korup, tetapi juga membuat mereka yang duduk di singgahsana kekuasaan sangat mudah menjadi paranoid.

Memang tidak ada tabu politik di dalam alam demokrasi yang sudah sangat maju sekarang ini, bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih. Tapi apakah untuk mencapai itu semua harus dibangun dengan segala cara yang terkadang naif dan bahkan menjijikkan? Sehingga orang-orang yang belum tentu bersalah, hanya dengan surat kaleng atau isu-isu yang belum tentu kebenarannya, harus menjadi korban? Jangan-jangan, sang pemimpin paranoid tersebut, dengan segala waham curiga dan ketakutan yang berlebihan, justru sedang mempertinggi tempat jatuhnya, atau bahkan sedang menggali kuburnya sendiri. Mudah-mudahan saja tidak. Wallahu a’lam.

Oleh : TAF Haikal
Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan dan peminat masalah sosial.

Sumber: Serambi Indonesia,
edisi Sabtu 18 September 2010
Kolom Opini

Pemimpin Teladan


Membicarakan kepemimpinan tidak ada duanya di muka bumi ini sampai hari akhir nanti kecuali Rasulullah Saw, panutan terbaik umat Islam dan semua manusia dalam setiap masalah baik keduniaan maupun masalah agama.

Saat Rasulallah Saw menderita sakit yang amat parah dan meminta Abu Bakar mengimami shalat, tetapi Abu Bakar menyatakan diri belum mampu menjadi imam. Terpaksa Rasulullah dipapah tetap menjadi imam shalat. Setelah itu beliau mendapat firasat bahwa tidak lama lagi beliau akan wafat. Rasulallah bersabda, “Sahabat-sahabatku, selama ini aku telah bermasyarakat bersama kalian dan memimpin kalian. Tentu ada kesalahan yang kulakukan, mungkin menyakiti kalian. Tampaknya sudah dekat waktunya kita akan berpisah. Karena itu, maafkanlah aku. Kalau ada yang pernah kusakiti, balaslah aku sekarang, sebelum aku menerima pembalasan di akhirat.”

Para sahabat meneteskan air mata karena terharu sambil menundukkan wajah mereka. Karena tidak ada jawaban, beliau mengulanginya. Tidak juga ada jawaban, semua membisu menahan tangis. Beliau mengulanginya lagi. Suasana semakin haru dan mencekam, sehingga tidak ada yang menyadari saat ada seorang sahabat bernama Ukasah mendekati Rasulullah Saw.

Ukasah berkata, “Rasulullah, aku pernah engkau sakiti.” Seorang sahabat berkata sambil berdiri, “Langkahi dulu mayatku, sebelum engkau menyakiti Rasulullah,” Rasulullah meminta para sahabat duduk kembali, Beliau bertanya, “Kapan aku pernah menyakitimu?” Ukasah menjawab, “Saat Perang Badar! Untaku mendekati untamu, aku turun untuk menghormatimu. Saat itulah ujung cambukmu mengenai punggungku,”. Lalu Rasulullah meminta Bilal mengambil cambuk yang dimaksud, yang diberikan kepada Ukasah. “Cambuk ini dulu mengenai kulit punggungku karena saat itu aku tidak memakai baju,” ujar Ukasah. Rasulullah lalu membuka baju beliau dan memunggungi Ukasah sehingga punggung beliau yang putih bersih berada di hadapan Ukasah, membuat tanda kerasulan terlihat jelas. Sambil memperhatikan tanda kerasulan itu, Ukasah melemparkan cambuk yang dipegangnya. Sesaat kemudian Ukasah memeluk Rasulullah dan mencium tanda kerasulan itu dengan menangis. “Sudah lama aku menantikan saat ini, wahai Rasulullah. Aku ingin mencium tanda kerasulanmu. Aku ingin menyatukan kulitku dengan kulitmu”. Rasulullah kemudian berkata, “Ukasah, apabila Allah mengizinkan, kamu akan masuk surga bersamaku.”

Bagaimana pemimpin kita?
Adakah pemimpin negeri kita hari ini berani bertanya kepada rakyatnya apa kesalahan yang pernah dia perbuat selama menjalankan kepemimpinannya? Atau apa kegagalan selama kepemimpinannya disampaikan kepada rakyatnya. Jangan-jangan para pemimpin saat ini tidak berani bertanya karena banyak kesalahan yang dilakukan kepada rakyatnya. Atau lebih parah lagi para pemimpin kita sangat anti kritik yang disampaikan oleh rakyatnya.

Banyak pemimpin kita yang bisanya cuma retorika tanpa aksi nyata sudah menjadi fenomena umum, dari yang tertinggi hingga pada tingkatan terendah. Dan hal ini tidak hanya di negeri kita tapi juga terjadi di belahan dunia lainnya. Tetapi menarik bila kita cermati apa yang terjadi di luar sana, para pemimpin yang gagal dalam menjalankan kekuasaannya atau terlibatkan dalam skandal baik moral maupun penyalahgunaan kewenangan berani bersikap satria dengan mengundurkan dari jabatannya.

Ada pemimpin seperti presiden Amerika Serikat ke 34, Dwight D Eisenhower tak ingin berkuasa lama. Ketika reputasinya menjulang tinggi dan rakyat Amerika Serikat mengeluk-elukannya untuk memimpin kembali, dia justru bikin kejutan. Presiden AS itu tak mau lagi mencalonkan diri, bahkan mengajukan pembatasan masa jabatan. Sejak itu Presiden AS hanya boleh dijabat maksimal dua kali, yang kemudian menjadi pola umum masa jabatan kekuasaan di negara-negara demokrasi modern. Kecerdasan sekaligus kearifan selaku negarawan yang berpeluang kembali berkuasa, tetapi melepaskannya demi masa depan bangsa dan negara saat di puncak prestasi. Dia mengajarkan moral berpolitik yang beretika, melepaskan kekuasaannya pada saat pucak prestasi kepemimpinannya.

Bagaimana dengan para pemimpin di negeri ini atau di daerah-daerah pada umumnya? Pengalaman sejarah justru sebaliknya, ingin melanggengkan kekuasaan. Soekarno yang dikenal salah seorang the founding fathers, bahkan nyaris menjadi Presiden seumur hidup. Soeharto dengan gayanya yang khas, menjadi presiden setiap lima tahun sekali hingga 32 tahun. Keduanya berjasa untuk bangsa dan negara ini, tetapi mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis. Keduanya terhempas oleh revolusi rakyat karena hasrat absolutisme kekuasaan yang tak terbendung pada zamanya.

Ternyata hasrat untuk berkuasa minus keteladanan seolah menjadi watak para elite politik di negeri ini. Jangankan karena keberhasilan, bahkan gagal pun tak malu diri untuk terus menduduki jabatan. Lebih ironis lagi, ketika telah terbukti gagal dan kemudian dilengserkan secara tak terhormat, masih juga mencalonkan diri untuk menduduki singgasana kekuasaan. Selalu alasan klasik, melanjutkan pembangunan atau demi demokrasi atau mungkin di Aceh demi perdamaian yang seperti menjadi mantra menyihir rakyatnya.

Itulah jika demokrasi dan kekuasaan tidak dilihat sebagai keteladanan yang diperlihatkan oleh pemimpinya, semuanya menjadi serba power-over. Di negeri ini tak presiden, menteri, pejabat publik sampai ke gampong yang dengan rela hati mundur karena gagal, bila terkena kasus atau sekandal bahkan yang sudah tersangka. Selalu ada pembenaran untuk bertahan dan bebas dari jeratan kesalahan serta akuntabilitas publik. Pandai berkelit dengan berbagai basa-basi. Tak ada lagi etika dan kearifan yang tersisa. Bahkan yang kemudian muncul ialah kebohongan dan pembodohan publik, terkesan ugal-ugalan dan bebal.

Demi kekuasaan, tak mengherankan jika muncul keganjilan-keganjilan para elit yang menyesatkan nalar publik. Katanya tidak terlibat dalam kasus tersebut, tapi kenyataannya tidak mungkin hal tersebut terjadi bila tidak ada tanda tangan atau minimal perintahnya. Katanya mau berhenti, rakyatnya gak bisa diatur, banyak fitnah tapi ujung-ujung masih pula ingin bertahta kembali. Katanya mau memberantas korupsi malahan di awal terpilih datang ke sana-sini minta dukungan, tetapi kanan-kiri dan depan-belakang tak diberantas dulu, jangan-jangan malah tak bersih diri. Gagal pun masih dianggap berhasil, malah mengumumkan kesuksesan sampai pengerahan massa. Berbagai macam dalih, idiom, dan retorika yang sarat ambigu dan paradoks pun dicampur-aduk jadi kebiasaan berpikir dan bertingkah laku. Lalu, tak ada lagi standar benar-salah, baik-buruk, dan pantas atau tidak pantas, yang ada adalah perburuan kekuasaan dengan nafsu merah menyala.

Bangunan kekuasaan yang lebih baik, bukan hanya memerlukan transformasi sistem, tetapi juga tak kalah pentingnya perubahan perilaku manusianya. Jika perilaku menyangkut para pemimpinnya baik atau buruk, sungguh sangat menentukan kemajuan suatu negeri atau daerah serta akan memengaruhi rakyatnya. Jika para pemimpinnya bertingkah ugal-ugalan, gila kuasa, dan hilang kearifan maka kepada siapa rakyat harus mengambil keteladanan? Bukankah kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala?

Ke depan negeri ini sungguh memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas, cakap, “kuat” tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup menahan diri dari rongrongan para pembisik dan fasilitas wah. Juga bukan pemimpin yang urakan dan gemar bersiasah. Bukan pula pemimpin yang bebal dan tak tahu harus berbuat apa.

Jika mengatakan demi rakyat dan negeri ini, mengabdilah untuk rakyat dan negeri ini tanpa pamrih layaknya pemimpin pejuang. Jika berjanji, penuhilah sebagai amanah dan utang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan Sang pemilik jiwa raga kita. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah syay’iah (teladan buruk). Sinkronkan antara kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan cet langet.

Yang penting lagi jangan menghindarkan diri serta mencari kambing hitam saat tanggungjawab gagal dilaksanakan. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang dan bertanggungjawab karena manusia tidak lepas dari kesalahan dan kesilapan. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, ojektif, satria tidak penuh topeng dan muslihat busuk. Di situlah letak martabat pemimpin sejati, pemimpin yang selalu dirindukan rakyatnya, pemimpin teladan.

Oleh
TAF Haikal
dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 18 Juni 2010
Penulis adalah Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh dan peminat masalah sosial.

Pemerintah Aceh tidak Sense of Crisis Barat-Selatan, Tragedi Rakit Lamno Memilukan dan Memalukan


Berbagai kalangan di Aceh, terutama yang berada di wilayah barat-selatan menilai musibah terbalik rakit di aliran Krueng Lambeusoe (Alue Mie-Teumareum), Kecamatan Jaya (Lamno), Kabupaten Aceh Jaya yang merenggut tiga nyawa, Minggu (21/3) bukan saja memilukan tetapi juga memalukan.

“Kita malu dengan masyarakat luar, karena di tengah hebatnya teknologi yang terkait prasarana dan sarana transportasi, ternyata masih ada warga Aceh yang meninggal akibat terbalik rakit. Kejadian ini juga mengindikasikan betapa lemahnya proteksi pemerintah terhadap kenyamanan dan keselamatan masyarakatnya,” tulis Direktur Acehnese Solidarity for Humanity (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Senin (22/3).

Tanggapan terhadap tragedi rakit Lamno juga disampaikan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal. Menurut penilaian TAF Haikal, Pemerintah Aceh tidak sense of crisis barat-selatan. “Apa yang terjadi (tragedi rakit Lamno), bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba tetapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik sehingga berdampak pada tertundanya pembangunan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang,” kata Haikal. “Ini juga terjadi ketika penanganan jembatan Kartika di jalur alternatif, yang prosesnya sangat lamban, bahkan sempat memunculkan masalah pada kebutuhan bahan pokok masyarakat,” lanjut Jubir KPBS ini.

Tanggapan juga disampaikan Ketua Komisi D DPRA, Ir Jufri Hasanuddin. Jufri mengaku sangat sedih mendengar kabar terbaliknya rakit di Lamno yang mengakibatkan tiga orang tewas. “Ini tragedi kemanusian yang sangat menyayat hati masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Jufri. Jufri menyatakan, Gubernur Irwandi tidak cukup hanya sebatas memerintahkan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Kadishubkomintel) Aceh melakukan pemeriksaan rakit dan jembatan yang tidak layak di seluruh Aceh, agar diperbaiki atau dikeluarkan instruksi larangan melintas.

“Tidak cukup itu, tetapi harus ada tindakan konkret untuk mempercepat penyelesaian pembangunan jalan dan jembatan Banda Aceh-Meulaboh. Saya lihat pemerintahan sekarang hanya terkejut saat ada kejadian, setelah itu kembali diam,” ujar Jufri yang putra Abdya ini. Dalam penilaian Jufri, kalau Pemerintah Aceh serius dan fokus terhadap proyek pembangunan jalan USAID, dipastikan penyelesaiannya tidak berlarut-larut, dan kejadian seperti terbalik rakit bisa dihindari.

Sangat tradisional
Dalam penilaian Direktur (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta, tragedi rakit Lamno bisa pula dianggap sebagai bentuk kegagalan Pemerintah Aceh dalam memenuhi kebutuhan publik. “Kami di barat-selatan Aceh hingga hari ini masih ada yang mati secara sangat tradisional, seperti terbalik rakit, diinjak gajah, diterkam buaya, jatuh dari jembatan gantung, atau diterkam harimau. Entah sampai kapan cara-cara mati seperti ini bisa berakhir,” kata Fitriadilanta.

Sikap KPBS
Terkait dengan musibah rakit Lamno, Kaukus Pantai Barat-Selatan meminta Pemerintah Aceh mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah. Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah jatuhnya korban selanjutnya.

Kaukus Barat-Selatan juga mendesak pihak USAID segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan di jalur Banda Aceh-Calang. “Menyedihkan sekali. Sudah hampir enam tahun pascatsunami, namun kawasan barat-selatan masih menggunakan rakit sebagai moda transportasi. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk lebih peduli kepada kawasan pantai barat-selatan Aceh yang hingga kini berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik,” demikian Haikal.(c47/sup)

Sumber serambi Indonesia
edisi 23 Maret 2010

Pemimpin Aneh


KITA terkesima dengan tayangan “Kick Andy” di sebuah stasiun televisi swasta yang menghadirkan beberapa kepala daerah “aneh” yang berhasil melakukan terobosan positif untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dikatakan “aneh” karena melahirkan berbagai kebijakan yang tidak biasa atau “berperilaku tidak biasa”.


Saya (mungkin juga anda) pasti merasa sangat terprovokasi dengan tayangan itu, bagaimana tidak para pemimpin unik itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya bukan hanya lewat biaya operasional yang besar, anggaran daerah yang memadai atau keadaan rakyat yang mapan untuk membantu pemerintahnya.

Bupati Sragen, Untung Wiyono terkenal dengan jaringan teknologi informasi (internet)-nya, yang menjangkau seluruh desa, sehingga komunikasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan meningkat pesat. Sragen juga mulai membatasi penerimaan pegawai. Strategi ini diambil untuk optimalisasi anggaran daerah yang minim. Selain Bupati Sragen, sosok Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib juga terbilang “aneh”. Bupati yang satu ini terkenal karena konsep “government mobile” dengan bekerja langsung di tengah masyarakat. Ia berkantor bersama kepala dinas dan jajarannya di desa atau kecamatan yang didatanginya.

Bupati Jombang, Suyanto, tak kalah “aneh”. Suyanto memiliki program peningkatan kemampuan puskesmas menjadi rumah sakit mini yang memiliki fasilitas rawat inap memadai dan dokter spesialis yang dapat melayani kebutuhan kesehatan masayarakat. Lain halnya dengan Bupati Blitar, Djarot Saiful Hidayat, ia melakukan tindakan “brutal” dengan melakukan pemangkasan umur pensiun bagi pegawai di daerahnya, sebagai upaya mendorong regenerasi yang berefek pada peningkatan semangat dan kinerja aparatur.

Dari beberapa contoh kepala daerah tersebut, setidaknya ada kesimpulan sementara bahwa sebenarnya ada tiga faktor yang sangat berperan dalam mengukur kinerja mereka yaitu, pelayanan publik, transparansi dan fasilitasi dunia usaha. Tiga hal itu tidak bisa dipungkiri lagi adalah harapan terbesar yang digantungkan rakyat kepada pemimpinnya.

Untuk pelayanan publik, kita bisa mengambil bidang kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Bagaimana pemerintah daerah menyediakan sarana kesehatan beserta perangkat pendukung yang dapat melayani masyarakat secara profesional menjadi tantangan bertahun-tahun dan sorotan yang sering ditujukan berkenaan dengan kinerja pemerintah. Sangat naif bila para kepala daerah hanya berbicara tatanan normatif serta perencanaan spektakuler tentang pelayanan kesehatan. Meningkatkan derajat kesehatan bukan hanya bicara anggaran, akan tetapi juga terkait dengan semangat melayani dari aparatur. Seringkali keluhan layanan kesehatan datang dari rumah sakit yang mewah namun buruk pelayanan. Dalam hal fasilitasi bagi dunia usaha, pelayanan dokumen merupakan komponen terpenting sehingga tercipta iklim investasi yang sehat dan menggairahkan dunia usaha. Dengan berbagai kemudahan yang didapatkan dalam pelayanan dokumen ini, dunia usaha akan meningkatkan efisiensi dan memperluas kemungkinan masuknya investor yang lebih besar.

Bagaimana dengan para kepala daerah di nanggroe ini? Bukankah beberapa di antara mereka juga sudah mendapatkan penghargaan yang berkenaan dengan pelayanan publik? Apakah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat juga sebanding dengan peningkatan pelayanan yang dirasakan publik secara nyata? Sudah puaskah kita dengan pelayanan kesehatan, pendidikan oleh pemerintah buah dari MoU Helsinki? Sudah cukup transparankah mereka? Bagaimana dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dalam 3 tahun ini? Apakah benar karena intervensi mereka? Atau justeru karena kesempatan berusaha yang diperoleh masyarakat dalam situasi damai.

Dalam konteks Aceh saat ini, kita bisa melihat ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang punya 2 tahun lagi masa jabatan. Pertama, terkait kuantitas dan kualitas aparatur yang memprihatinkan. Secara kuantitas, jumlah PNS yang sekarang dimiliki oleh tiap daerah di Aceh sudah lebih dari cukup, tetapi distribusi dan kualitasnya belum mampu meningkatkan kualitas layanan publik bagi masyarakat. Menurut saya, langkah ini merupakan awal dari inovasi yang harus dilakukan kepala daerah. Pemerintah daerah harus melakukan kajian mendalam untuk menilai kinerja abdi negara tersebut, Reward dan Punishment serta ketegasan pemimpin menjadi ujung tombak keberhasilan penegakan disipilin aparatur.

Kedua, mewujudkan visi dan misi secara baik, terencana dan berkualitas. Sebenarnya visi para kepala daerah bisa dilihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana dokumen itu bisa diakses oleh publik? Bukankah seharusnya masyarakat juga dapat melihat secara jelas apa yang menjadi tujuan-tujuan strategis para pemimpinnya? Selama ini RPJMD hanya menjadi dokumen formalitas yang dimiliki kepala daerah bersama perangkatnya, bahkan sering pula RPJMD adalah hasil penulisan konsultan sewaan yang terbiasa mengerjakannya. Belum lagi kita melihat rencana pembangunan tiap tahun yang tumpang tindih dan tanpa arah. Akibatnya banyak program yang muncul dalam RAPBA/RAPBK terkesan Cet langet, tanpa arah dan tujuan serta sulit terukur.

Ketiga, yang tidak bisa kita kesampingkan di Aceh adalah dominasi kelompok tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kepala daerah masih dibebani kuatnya kepentingan kelompok yang menjadi pendukung pada masa pemilihan. Kelompok-kelompok itu menjadi sangat menggangu kinerja para kepala daerah bila tidak dikelola dengan baik.

Keempat, sikap ketergantungan yang masih besar kepada pemerintah pusat dan provinsi dalam hal anggaran. Padahal bila kita perhatikan para pemimpin “aneh” itu, juga memiliki masalah sama bahkan kadang lebih berat dari rekan-rekan mereka di Aceh. Tetapi sikap mental inilah yang membedakannya. Daripada berharap “kemurahan” hati pemerintah provinsi dan pusat mereka memilih mengoptimalkan sumber daya sendiri. tidak boros anggaran dan mengoptimalkan fungsi anggaran berdasarkan kebutuhan rakyat.

Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, sebenarnya para kepala daerah memiliki keuntungan lebih dibandingkan yang lain yaitu legitimasi dari masyarakat dan dukungan internasional. Sebagai kepala daerah buah dari perdamaian dan pemilihan langsung, mereka memegang legitimasi kuat dari rakyatnya sehingga dalam membuat kebijakan juga seharusnya mudah mendapatkan dukungan. Terlepas dari kemungkinan terpilihnya mereka dulu karena euforia perdamaian yang sedang melanda, tidak bisa ditampik bahwa sebagian kepala daerah di Aceh telah mengecewakan para pemilihnya.

Dukungan internasional bagi Aceh sampai sekarang masih terlihat serius dan terjaga. Dukungan bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa dan tsunami akhir 2004 telah banyak meringankan beban pemerintah daerah, begitu juga dukungan dan komitmen untuk perdamaian. Beberapa lembaga baik NGO atau lembaga bilateral telah menunjukkan kontribusi positif untuk mendukung peningkatan kapasitas aparatur di Aceh, sesuatu yang sangat berharga dan agak mustahil didapatkan daerah lain.

Pelayanan publik, transparansi serta dukungan bagi dunia usaha bukanlah sesuatu yang mustahil di Aceh, bagaimana para kepala daerah lebih bijak dan mengutamakan hati nurani lah sebenarnya yang lebih mahal. Bukankah sebagian dari kepala daerah di Aceh berlatar belakang para pejuang yang pada masa sulit dulu telah berani mengorbankan hal-hal berharga dalam hidupnya? Atau bagi mereka yang dulunya dikenal sebagai sosok yang agamis dan dan bermoral tinggi, apakah memang kewenangan yang didapat telah mengaburkan itu? Bagaimana dengan sosok-sosok yang juga dikenal dengan keberaniannya mengkritik dan menentang pemerintah sebelumnya, kemanakah semangat itu? Dua tahun lagi memang bukan waktu yang cukup panjang tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak juga muncul hal-hal yang menyejukkan hati rakyat.

Oleh: Tafhaikal

Sumber : Serambi Indonesia
edisi 10 Maret 2010

Pantai Barat Selatan Bantah Gubernur soal Pemerataan

Banda Aceh, Pelita 11 Feb 2010

Pemerintah Aceh diminta tidak menjadikan alokasi dana otonomi khusus (otsus) serta bagi hasil minyak dan gas (migas) untuk kabupaten/kota sebagai indikator adanya pemerataan pembangunan di provinsi itu.Hal itu dikatakan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh. Rabu (10/2), menanggapi pernyataan Gu-bemur Aceh Irwandi Yusuf yang mengatakan pembangunan wilayah pantai barat dan selatan Aceh tidak dianak-tirikan.

"Alokasi dana otsus dan bagi hasil migas untuk kabupaten/ kota sesuai mekanismenya. Jadi itu bukan sebuah indikator Pemerintah Aceh sudah melakukan pemerataan dan berpihak ke daerah tertinggal." kata TAF Haikal.TAF Haikal menyatakan, pernyataan gubernur tersebut keliru, sebab pengalokasian dana otsus untuk kabupaten/ kota telah diatur dalam Qanun (Perda) No 2/2008 tentangTata Cara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus.

"Dalam qanun tersebut mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan, dan lain-lain Jadi hal itu bukan kebijakan sepihak Pemerintah Aceh, tapi melaksanakan kebijakan yang sudah diatur dalam Qanun Aceh tersebut," tambahnya.

Karenanya, kata dia. untuk melihat keberpihakan Pemerintah Aceh maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) mumi sudah diperhatikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah pantai barat dan selatan Aceh."Justru dalam APBA mumi wilayah pertaruhan untuk melihat komitmen pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi jurang pemisah atau ketertinggalan pembangunan di Aceh." katanya seperti dikutip Antara.

Dari RAPBA 2010 sebesar Rp 6,9 triliun, senilai sekitar Rp3.9 triliun diantaranya sumber dananya dari otsus, dan Rp 3 triliun adalah APBA murni."Artinya, sumber dana APBA murni itulah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang kongkrit untuk membangun wilayah pantai barat dan selatan Aceh yang tertinggal dibanding kabupaten/kota lain di provinsi ini," kata dia menjelaskan.

Dalam pertemuan di sebuah media lokal, sebelumnya, Gubernur Irwandi mengatakan, "Saya tak pernah anak-tirikan antara barat dan timur Aceh. Buktinya, coba dilihat dana otsus untuk daerah mana yang lebih besar kita alokasikan."

Dari alokasi itu. menurut Irwandi, jelas lebih besar untuk kabupaten/kota di pantai barat-selatan Aceh. "Jadi, tak pernah ada dalam hati saya untuk tidak membangun pantai barat-selatan seperti membangun daerah lain di Aceh. Kita satu dan Aceh Ini milik semua kita. Semua masalah kita selesaikan bersama." kata Irwandi.

Terkait rekonstruksi ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh yang rusak akibat tsunami. Irwandi mengatakan, hal Itu bukan tanggung jawab Pemerintah Aceh untuk membangunnya, melainkan Jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebetulnya, lanjut Irwandi, pembangunan ruas Jalan itu kini sedang dalam proses yang didanai USAID.

"Tapi membangun Jalan kan bukan seperti membuat kue. Prosesnya lama sehingga dibutuhkan kesabaran. Kalau bicara tidak sabar, jangankan masyarakat pantai barat Aceh, saya pun tidak sabar, mengapa jalan tersebut begitu lama selesai dibangun. Bahkan, saya sudah enam kali meninjau pembangunan jalan itu," ujarnya.

Karena itu. la meminta masyarakat pantai barat-selatan Aceh bersabar karena pembangunan jalan Itu sedang berlangsung.Dalam upaya memajukan kawasan tengah Aceh dan mengubah mind-set masyarakat agar tak lagi berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat sampai ke Medan, Gubernur Irwandi, mengatakan, pihaknya sudah berpikir bagaimana caranya agar jalan yang menghubungkan sejumlah daerah di kawasan tengah Aceh itu dapat terbangun dengan baik.

"Rencana Ini sudah ada dalam hati saya sebelum saya menjadi Gubernur," ungkap Irwandi.Sehingga, menurutnya. Aceh Tengah (Takengon) akan men-, jadi kota gudang (warehouse) bagi semua kabupaten/kota di kawasan tersebut. Jalan itu. sebut Irwandi, misalnya Jalan Gayo Lues-Aceh Tenggara, Takengon-Nagan Raya, dan Takengon Kutacane.

"Jika jalan itu bisa dibangun, adanya pelabuhan umum Krueng Geukuch Aceh Utara, plus tersedianya sebelas lapangan terbang di berbagai daerah, maka Takengon akan bisa berfungsi sebagai kota transit untuk semua kabupaten/kota di wilayah tengah Aceh. Dengan begitu orientasi masyarakat Aceh untuk membelanjakan uangnya ke Medan semakin lama akan semakin pudar dan akhirnya bisa dihilangkan," jelas Gubernur Irwandi. (Jon)

Terkait Pembangunan Jalan KPBS Minta USAID Bersikap Tegas

Serambi Indonesia, 6 Oktober 2009

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) meminta pihak USAID bersikap tegas tentang kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang, terutama pada ruas section IV yang sudah terhenti sejak 19 bulan. Persoalan ini penting bagi rakyat dan Pemerintah Aceh sehingga tidak terus berlarut-larut penderitaan yang dialami masyarakat pantai barat selatan.

Jubir KPBS, TAF Haikal didampingi dua tokoh mudah, Fadli Ali SE dan Imran Mahfudi SH kepada Serambi, Senin (5/10) mengatakan, kalau beberapa waktu lalu masih bisa dipahami bila USAID selaku penyadang dana pembangunan ruas jalan Banda-Calang menghentikan pekerjaan proyek di ruas jalan Section IV. “Ini terjadi menyusul diputusnya kontrak kerja dengan pihak PT WIKA sekitar 19 bulan lalu,” ungkapnya.

Penghentian pekerjaan dikarenakan belum selesainya persoalan yang terjadi di lapangan yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya, seperti masalah pembebasan tanah yang belum tuntas. “Tetapi setelah semua persoalan yang terjadi di lapangan tuntas diselesaikan pemerintah, ternyata USAID belum juga melanjutkan pekerjaannya. Maka kita semua menjadi heran dan ada apa dibalik semua ini,” ujar Haikal.

Ia mengatakan, masyarakat Aceh terutama di kawasan pantai barat-selatan menaruh harapan dan penghargaan pada Pemerintah Amerika ketika negera adidaya untuk menyatakan kesediannya membangun kembali jalan tersebut yang rusak akibat bencana 24 Desember 2004. “Berlarutnya proses penyelesaian pembangunan jalan tersebut membuat kami menjadi tersiksa, karena daerah kami masih terisolir akibat jalan belum selesai dibangun. Tolong USAID memperhatikan penderitaan rakyat yang membutuhkan pertolongan itu,” katanya.

Disisi lain TAF Haikal menyatakan dalam masalah ini USAID tidak hanya megubar janji akan melanjutkan pembangunan jalan tersebut. “Tetapi yang kami minta hari ini adalah ketegasan USIAD, melanjutkan kembali proyeknya atau tidak. Kami ingin jawaban tertulis soal itu dalam waktu dekat. Ini penting, karena menyangkut keputusan yang akan diambil Pemerintah Aceh dalam persoalan ini,” katanya.

Bila USAID tidak mau melanjutkan pembangunan jalan, maka Pemerintah Aceh harus segera mengambil inisiatif untuk mengusulkan dana ke pemerintah pusat melalui APBN 2010. “Kita butuh bantuan, tetapi kalau dipermaikan terus seperti ini jelas akan membuat kita tidak ada harga diri,” ujarnya. Sebelumnya pihak Pemerintah Aceh sudah mendesak USAID untuk melanjutkan kembali pembangunan jalan tersebut. Kadis Bina Marga dan Cipta Karya, Muhyan Yunan mengatakan, pihaknya sudah sering sekali menanyakan persoalan tersebut pada penanggungjawab lapangan USAID proyek jalan Banda Aceh-Calang, Roy. “Setiap kali ditanya, ia (Roy) secara lisan selalu mengatakan akan melanjutkan kembali pembangunan jalan tersebut,” katanya.(sup)

Haikal : Lemah Pengawasan Hutan di Aceh Barat

theglobejournal.com, 18 Februari 2008

Terbakarnya hutan gambut yang terjadi di Aceh Barat dan Aceh Jaya yang sudah terjadi semenjak sepekan terakhir dan hingga saat ini belum bisa ditangani, hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah daerah dalam menjaga kawasan yang dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat.

"Kebakaran hutan di lahan gambut tersebut terjadi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh masyarakat. Ini juga dikarenakan lemahnya pemantauan dan koordinasi para dinas terkait," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada wartawan, Rabu (18/2).
Menurutnya, pembukaan lahan jika tidak ditangani dengan baik sering mengakibatkan kebakaran, belum lagi wilayah tersebut dalam beberapa pekan terakhir bercuaca panas, sehingga sangat rawan kebakaran. Haikal menyebut, jika tidak segera ditangani, api bisa semakin meluas. Dan tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga akan terjadi di Aceh Selatan dan Aceh Singkil. "Sebelumnya juga pernah muncul asap tebal di Singkil, tapi kemudian tidak meluas," ujarnya.

Untuk itu, Kaukus Pantai Barat Selatan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah penanganan secara berlanjut dengan perencanaan yang terpadu di seluruh instansi terkait. Khususnya untuk meminimalkan kebakaran yang sedang terjadi dan pencegahan terhadap hal sama yang mungkin terulang lagi ke depan.

Dia berharap masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan pembersihan lahan. Haikal meminta masyarakat selalu melakukan koordinasi dengan instansi terkait, jika ingin membuka lahan di wilayah yang rawan kebakaran hutan.[003]

Jalan Banda Aceh-Calang Harus Dituntaskan

Serambi Indonesia, 23 Januari 2009
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).

Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.

Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.

“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.

Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal

Proyek Jalan Banda Aceh-Calang Masih Terbelit Ganti Rugi, USAID jangan Kambinghitamkan Masyarakat

Serambi Indonesia, 22 Januari 2009
Harapan untuk segera bisa ’berpacu‘ di jalan tanpa hambatan mulai dari Banda Aceh sampai ke Calang, tampaknya harus disimpan dulu, entah sampai kapan. Kabar terbaru yang diperoleh Serambi, pembangunan ruas jalan tersebut oleh USAID masih saja terbelit masalah ganti rugi pembebasan tanah serta penghentian pekerjaan oleh USAID dengan alasan kontraktor tidak nyaman.
Seperti diketahui, biaya pembangunan fisik pembukaan dan pelebaran badan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang ditanggung sepenuhnya oleh USAID. Sedangkan ganti rugi tanah yang terkena proyek, seharusnya ditanggung oleh BRR NAD-Nias namun karena prosesnya tak tuntas sepanjang dua tahun lalu, kini beban ganti rugi menjadi tanggungjawab APBA.

Tahun lalu Pemerintah Aceh menyediakan anggaran untuk pembebasan tanah yang terkena proyek jalan Banda Aceh-Calang mencapai Rp 21 miliar. Tapi dari yang disediakan itu, hanya terealisir Rp 10 miliar sedangkan sisanya Rp 11 miliar dimatikan. Tahun ini untuk maksud yang sama dialokasikan kembali Rp 10 miliar.

Sehubungan masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proyek jalan Banda Aceh-Calang, dilakukan rapat koordinasi di Kantor Gubernur Aceh, Rabu (21/1) yang diikuti unsur pemerintah provinsi, kabupaten, dan semua pihak lainnya yang terlibat dalam proyek tersebut. Rapat dipimpin Asisten II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setda Aceh, Said Mustafa didampingi Asisten I Bidang Pamerintahan, M Ali Alfata. Hadir Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, utusan dari USAID (Roy), kontraktor pelaksana (PT Hutama Karya, Syamyong dari Korea dan PT Wika), Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, BPN Provinsi dan Aceh Jaya, serta sejumlah pihak terkait lainnya.

Jumlah persil bertambah
Dalam forum itu, Kepala BPN Aceh Jaya, T Johan melaporkan, dari hasil pengukuran yang dilakukan juru ukurnya, jumlah tanah masyarakat yang terkena pelebaran ruas jalan baru dari Lhoong (Aceh Besar) sampai Calang (Aceh Jaya) bertambah 238 persil lagi.

Terjadinya penambahan, menurut T Johan, karena dari ruas jalan yang dilebarkan awalnya dibutuhkan sekitar 30 meter, tapi fakta di lapangan pada waktu dilakukan pembersihan badan jalan karena medannya berat, luas tanah yang dibutuhkan bertambah antara 35-50 meter. “Ini harus dibebaskan untuk keselamatan pengendara dan keindahan badan jalan, meski hal itu tidak terjadi di semua ruas badan jalan yang dilebarkan,” lapor Johan.

Jumlah yang terjadi penambahan itu, menurut Johan yang juga Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah Aceh Jaya, belum termasuk 54 persil tanah masyarakat yang menurut Roy dari USAID belum diganti ruginya.

Desakan Pemkab Aceh Jaya
Selain masalah ganti rugi tanah, dalam rapat koordinasi itu juga muncul desakan dari Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jalan dan jembatan Lambeusoe yang terdapat dalam Section IV Lamno, Aceh Jaya.

Menurut Zamzami, dirinya kurang sependapat dengan alasan yang disampaikan Roy dari USAID bahwa penyetopan kegiatan proyek jembatan Lambeusoe disebabkan kurang nyamannya kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan.

Masyarakat Lamno, kata Zamzami, meminta supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jembatan Lambeusoe serta dua jembatan lainnya dan 12 kilometer badan jalan yang tanahnya telah dibebaskan di Lamno.

Dikatakan Zamzami, ketika proyek itu dihentikan pada bulan April 2008, pihak USAID berjanji akan melanjutkan pekerjaan dua bulan ke depan. “Nyatanya, sampai bulan ke delapan pasca-penghentian, belum juga dilaksanakan pekerjaan,” ungkap Zamzami.

Wakil Bupati Aceh Jaya itu mengungkapkan, pada awal proyek jembatan itu dilaksanakan PT Wika dua tahun lalu, masyarakat sekitar proyek ada mengajukan proposal bantuan dana untuk pembangunan masjid. Hal seperti ini lazim dilakukan masyarakat. Namun jika tidak diberikan, tak masalah. “Masyarakat tidak mengganggu kegiatan proyek, asal dalam pekerjaan proyeknya melibatkan masyarakat setempat. Permintaan untuk dilibatkan inilah yang mungkin diterjemahkan oleh pihak USAID sebagai gangguan yang membuat tidak nyaman sehingga menghentikan pekerjaan,” kata Wakil Bupati Aceh Jaya.

Konflik Wika-USAID
Berdasarkan informasi yang diperoleh Wakil Bupati Aceh Jaya, penyebab dihentikannya untuk sementara pembangunan jembatan Lambeuso, karena adanya konflik antara PT Wika dengan USAID. “Yang tidak enaknya, masyarakat sekitar dijadikan dalih penyetopan kegiatan proyek. Harusnya USAID tak mengkambinghitamkan masyarakat,” ujar Zamzami yang dihubungi terpisah, tadi malam.

Sedangkan Roy dari USAID mengatakan, penyetopan sementara pekerjaan pembangunan jembatan Lambeusoe dan dua jembatan lainnya serta 12 kilometer jalan di Lamno yang masuk dalam paket pekerjaan Section IV, semata-mata karena kurang nyamannya kontraktor melakukan pekerjaan lapangan. “Setelah ada garansi dari masyarakat bahwa proyek itu bisa dikerjakan kembali dengan rasa aman, maka pekerjaannya akan dilanjutkan,” tandas Roy.

Soal tiang listrik
Hambatan lainnya, ungkap seorang peserta rapat adalah pemindahan tiang listrik PLN yang terkena pelebaran jalan. Tahun lalu BRR NAD-Nias masih menyediakan anggaran untuk pemindahan tiang listrik dan penyambungan kembali jaringan listrik ke rumah penduduk. Namun tahun ini BRR tidak lagi mengalokasikan dana tersebut sehingga harus menjadi tanggungan APBA.

Untuk pemindahan tiang litrik dibutuhkan dana Rp 700 juta. Selain itu penyelesaian pipa air bersih dan penyambungannya ke rumah penduduk dibutuhkan dana senilai Rp 800 juta sehingga total dana yang dibutuhkan untuk kedua kegiatan itu mencapai Rp 1,5 miliar.

Bentuk tim terpadu
Menanggapi berbagai persoalan dan masukan yang disampaikan peserta rapat, Asisten II Setda Aceh, Said Mustafa menyatakan, untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan satu tim terpadu yang melibatkan seluruh pihak dalam menentukan sistem dan cara apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan semua masalah yang muncul di lapangan.

Tujuan pembentukan tim terpadu itu dimakudkan agar masalah yang muncul bisa diselesaikan secepatnya dan memuaskan semua pihak, baik masyarakat, USAID maupun rekanan serta pemerintah daerah. Tim ini dipmpin oleh Pemerintah Aceh Jaya. “Pemerintah provinsi mengirimkan anggotanya yang berkenaan dengan pembayaran ganti rugi dan pemantauan lapangan,” ujar Said seraya menutup rapat.(her/nas)

APBA 2009 Harus Menjawab Kebutuhan Rakyat

theglobejournal.com, 14 Januari 2009

Beberapa pihak mengharapkan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009 mencapai Rp 9,5 triliun beberapa pihak mengharapkan dana sebesar itu haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada The Globe Journal, Senin (12/1) menyebutkan, RAPBA 2009 mencapai Rp 9,5 triliun, angka tersebut merupakan usulan dari Eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), akan tetapi, berbeda dengan anggota DPRA melalui pokjanya yang mengusulkan Rp 11,036 triliun. “Berapapun besarnya alokasi APBA tahun ini haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh, pembangunan yang akan dilakukan mestilah melihat aspek akselerasi pembangunan, sehingga APBA betul-betul dapat dinikmati dalam bentuk pembangunan dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh,” ujar Haikal.

Menurut Haikal hal ini masyarakat menanti APBA yang betul-betul memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya bagi kalangan pemerintah saja. “Bisa kita lihat, bagaimana penanganan pembangunan di pantai barat-selatan Aceh yang masih sulit ditempuh dengan darat. Selain itu, bagaimana penanganan banjir disebagian wilayah di Aceh. Rakyat Aceh membutuhkan kerja yang cepat dan berkualitas,” sebutnya.

Haikal meminta pemerintah Aceh dan DPRA untuk lebih terbuka dalam membahas RAPBA 2009. Jangan ada yang ditutup-tutupi. “Toh, hari ini kita semua bekerja untuk dan demi rakyat. Pembahasan APBA 2009 merupakan ukuran untuk melihat sisi kerakyatan dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Sejauhmana kualitas program dan kegiatan mampu dinikmati oleh rakyat,” paparnya.

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008

BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.

Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009.
Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi.
“Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya.
Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Pemerintah Aceh belum Peka Bencana

Serambi Indonesia, 6 desember 2008

BANDA ACEH - Bencana yang nyaris tanpa henti di Aceh seharusnya
lebih meningkatkan kepekaan pemerintah daerah ini terhadap kondisi alam dengan menyiapkan berbagai strategi antisipasi sehingga bisa meminimalisir dampak risiko yang ditimbulkan.
“Ironis. Di negeri yang berteman dengan bencana, ternyata kita tak punya strategi antisipasi yang optimal,” kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal.

Dalam rilis yang diterima Serambi, Jumat (5/12), Haikal secara khusus menyikapi bencana banjir yang kini mengepung sebagian besar wilayah Aceh. “Memang hal itu fenomena alam. Banjir itu disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi di Aceh. Akan tetapi, agaknya kita perlu melakukan refleksi terhadap strategi pembangunan saat ini,” tulisnya.
Seharusnya, lanjut Haikal, Pemerintah Aceh sudah selayaknya memikirkan peta bencana Alam yang kerap terjadi di Aceh. Dengan adanya informasi tersebut, minimal pemerintah dapat mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan dari bencana tersebut. “Menurut kami, sejauh ini strategi antisipasi bencana belum optimal dilakukan,” tandas Haikal.

Menurut Haikal, salah satu contoh tidak adanya strategi dan kepekaan terhadap bencana adalah pembangunan gudang dinas sosial untuk penempatan/penyimpanan barang kebutuhan pascabencana di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar.
Padahal, katanya, kalau dilihat dari intensitas bencana, banjir hampir rutin terjadi di pantai barat-selatan dan kawasan Timur Aceh. “Akan tetapi Pemerintah Aceh belum sensitif terhadap penyiapan sarana dan prasanara penanggulangan bencana,” urainya.

Juga ditegaskan, statement Gubernur Irwandi Yusuf bahwa korban banjir tidak boleh lapar harus didukung. Haikal berharap tidak cukup dengan komentar di media massa. Pemerintah Irwandi harus mewujudkan hal itu dengan pembangunan yang memperhitungkan aspek bencana.

“Sudah saatnya menyusun peta bencana di Aceh. Dengan adanya peta tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan seperti pembangunan gudang logistik bencana di Pantai Barat Selatan Aceh dan Pantai Timur serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik,” demikian Haikal.

Warning BMG

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memprakirakan potensi hujan di Aceh masih tetap terjadi hingga beberapa hari ke depan. Demikian juga dengan potensi banjir dan tanah longsor yang hingga kini masih terjadi di sejumlah daerah.
Informasi itu disampaikan Kepala BMG Blang Bintang Banda Aceh, Samsuir, kepada Serambi, Jumat (5/12). Menurutnya, saat ini kondisi cuaca Aceh masih mengalami gangguan berupa tekanan rendah yang terjadi di Samudera Hindia. Kondisi ini menyebabkan awan bergerak menggumpal di atas daratan Aceh. “Awan ini agak rendah dan sangat aktif,” ujarnya.
Samsuir menyebutkan, intensitas hujan terjadi antara ringan hingga sedang dan terjadi pada waktu pagi dan sore hari.
Sementara angin masih bertiup dari arah timur laut hingga barat laut dengan kecepatan 10 hingga 25 kilometer per jam.
“Untuk gelombang laut, di perairan barat selatan Aceh ketinggian berkisar antara 2 hingga 3 meter, sementara di perairan timur satu sampai dua setengah meter,” sebutnya.(nas/yos)

Terkait Pembahasan RAPBA 2009 Gubernur Diminta Perketat Evaluasi Kinerja SKPA

Serambi Indonesia, 28 Nov 2008

BANDA ACEH - Rendahnya realisasi program dan kegiatan APBA 2008, yang hingga bulan November ini belum mencapai angka 50 persen, menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Pemerintah Aceh pun dinilai gagal memenuhi harapan masyarakat untuk menikmati kue pembangunan dari anggaran 2008 sebesar Rp 8,5 triliun. Untuk itu, Gubernur Aceh diminta agar mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA ujung tombak pembangunan di Aceh.

“Gubernur Aceh harus mengevalusi kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) secara ketat. Karena SKPA adalah ujung tombak pembangunan di Aceh. SKPA merupakan cerminan dari kebijakan gubernur, Bila kinerjanya jelek, maka rakyat akan menyimpulkan kinerja gubernur tidak bagus,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (27/11). Haikal mengatakan, pengalaman itu harus menjadi pelajaran berharga bagi pihak eksekutif dan legislatif di Aceh dalam menyusun anggaran 2009. Terutama agar kasus temuan panitia khusus DPRA tentang banyaknya proyek APBA 2008 yang belum diketahui lokasinya, tidak terulang kembali tahun depan.
“Memang betul, kontribusi ’kegagalan‘ tersebut bukan hanya dari eksekutif, namun juga tidak lepas dari kesalahan legislatif. Tapi hendaknya ini menjadi pelajaran bagi semua pengambil kebijakan di Aceh agar kasus seperti ini tidak terulang lagi tahun depan,” ujarnya.
Pria yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRRI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh ini menambahkan, kebijakan Gubernur Irwandi Yusuf dengan melakukan fit and proper test terhadap kepala SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh) sudah sangat baik. Namun, kata dia, hal itu tampaknya belum cukup untuk mendukung keinginan gubernur untuk melahirkan pemerintahan yang kuat dan bersih.
“Saya pikir harus ada terobosan besar untuk mengawal dan mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA,” kata dia.
Jubir KPBS juga mendesak DPRA untuk selektif dalam menyetujui program dan kegiatan dari eksekutif. “DPRA juga harus melakukan pengawasan secara ketat terhadap kinerja SKPA. Menurut kami, semua pihak harus jujur untuk introspeksi diri, jangan lagi masyarakat ditipu dengan ungkapan ’Aceh melimpah dana”, karena kesempatan menikmati itu tidak pernah terwujud,” kata dia.(nal)

APBA 2008 Terancam Molor

Serambi Indonesia, 21 Nov 2008

BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2008 dipastikan bakal terlambat pengesahannya, karena sampai saat ini rancangan anggaran tersebut belum diajukan eksekutif ke legislatif untuk dibahas. Bahkan, Selasa (20/11) kemarin, eksekutif baru menyerahkan draf kebijakan umum anggaran (KUA) yang baru selesai diperbaiki, setelah sebelumnya sempat dikembalikan oleh legislatif.

Sekda Aceh, Husni Bahri TOB selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif yang dikonfirmasi Serambi kemarin tak mau banyak berkomentar tentang RAPBA yang sampai kemarin belum diajukan ke legislatif itu. Kita sudah berupaya maksimal supaya anggaran itu bisa tepat waktu disahkan, tapi bagaimana keadaannya memang seperti ini, katanya.
Ketika didesak, kenapa pengesahan anggaran setiap tahunnya terus molor dari jadwal yang seharusnya, yaitu sebulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir atau satu bulan sebelum tahun anggaran berlaku sudah disahkan. Tolong jangan tanya soal itu lagi, nanti saya salah lagi menjawabnya.
Anda tanya saja pada Rahman Lubis (Kepala Bappeda Aceh -red). Soalnya, itu masalah teknis. Saya tak bisa memberi penjelasan dan itu Kepala Bappeda yang tahu, ujar Husni sambil mengarahkan Serambi agar menjumpai Kepala Bappeda Aceh.
Kepala Bappeda Prof Dr A Rahman Lubis MSc yang dihubungi Serambi kemarin secara terpisah mengakui bahwa APBA 2008 tidak mungkin bisa disahkan pada awal Januari 2008. Bahkan pihaknya memprediksi, anggaran tersebut paling cepat bisa disahkan pada akhir Januari. Itu pun dengan catatan semua pihak berkomitmen mau bekerja keras dalam membahas dan menuntaskan masalah ini (anggaran-red), katanya.
Dikatakan, sejak awal semua pihak sudah berupaya untuk menyelesaikan APBA tahun 2008 sesuai jadwal yang telah ditentukan, yakni awal Januari. Buktinya, eksekutif pada 4 Juli lalu sudah menyerahkan draf KUA ke DPRA. Setelah diteliti, draf tersebut baru dikembalikan legislatif pada 29 Agustus dan diminta untuk diperbaiki kembali. Setelah diperbaiki eksekutif, draf itu diserahkan pada 17 September. Kemudian baru bisa dibahas bersama-sama pada 9-25 Oktober 2007.

Dan baru tadi pukul 15.00 WIB (kemarin-red) kita serahkan hasil pembahasan tersebut untuk dilihat dan diteliti kembali oleh DPRA, kemudian baru akan disetujui bersama dalam nota kesempahaman antara eksekutif dan legislatif mengenai KUA. Saya kira, dalam dua tiga hari ke depan KUA itu sudah ditandatangani, ujar Rahman.
Menurut Rahman, akhir November 2007 nanti pihaknya baru akan menyerahkan ke dewan draf Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS), mengingat PPAS tersebut masih dalam penyusunan dan pembahasan dengan kabupaten/kota. Sebab, UU Pemerintahan Aceh sudah mengatur bahwa untuk dana otonomi khusus (Otsus), bagi hasil migas, dan anggaran pendidikan, haruslah melalui persetujuan kabupaten/kota.
Maka kita harus membahasnya dengan kabupaten/kota lebih dulu sebelum dibuat PPAS, ujarnya seraya menerangkan bahwa dana migas dan otsus sudah selesai dibahas dan pekan ini akan dibahas pula dana pendidikan.
Jika PPAS selesai dibahas dewan selama dua pekan, kata Rahman Lubis, maka pihaknya dalam waktu berbarengan akan menyerahkan rancangan kegiatan anggaran (RKA). Pekan pertama Januari kita akan usahakan RAPBA diserahkan ke dewan. Kalau misalnya dewan bisa menyelesaikan pembahasan RAPBA satu bulan, maka pekan pertama Februari anggaran itu sudah bisa disahkan. Itu pun dengan catatan semua pihak mau bekerja keras, timpalnya.
Menurutnya, keterlambatan tersebut tak bisa dipersalahkan pada Pemerintah Aceh semata, karena terkait juga dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang setiap tahun berubah. Contohnya, Permendagri Nomor 13/2006 yang baru setahun berlaku, tapi sudah diubah kembali dengan PP Nomor 59/2007 tentang Penyusunan APBD. Padahal, PP tersebut belum tersosialisasi pada semua pejabat di provinsi, katanya.
Memang diakui PP Nomor 59/2007 itu efektif berlalu pada tahun 2009. Namun, kalau dilihat dari ketentuan yang ada dalam PP tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan Permendagri Nomor 13/2006 yang di dalamnya banyak terjadi kerancuan. Maka anggaran kita tahun 2008 sudah menggunakan PP Nomor 59 Tahun 2007, katanya.

Bisa berkepanjangan

Sejumlah pihak sangat menyayangkan molornya pengesahan APBA Tahun 2008 itu, sebab masyarakat akan dirugikan. Apabila anggaran baru bisa disahkan awal Februari, maka hak-hak publik terhadap pembangunan akan terabaikan dalam satu bulan sebelumnya, tukas TAF Haikal, mantan koordinator Forum LSM Aceh.
Dia ingatkan bahwa kerugian publik terhadap molornya pengesahan APBA itu bisa jadi berkepanjangan, karena dinas selaku pengguna anggaran masih memerlukan waktu untuk menyusun rancangan kegiatan dan proses tender. Ini bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan, kata tokoh muda yang juga Jubir Kaukus Barat-Selatan ini.
Oleh sebab itu, TAF Haikal mendesak kepala pemerintahan yang ada sekarang segera melakukan pengkajian ulang terhadap semua pejabat, mulai dari sekda, kepala dinas, badan, hingga kepala biro yang ada di lingkungan Pemprov NAD. Sehingga hal seperti ini tahun depan tak terjadi lagi. Bagaimanapun, tindakan seperti ini jelas merugikan rakyat. Sedianya, sebelum triwulan pertama sudah ada proyek yang terealisasi. Tapi karena penetapan APBA molor, apa yang diharapkan itu tak jadi kenyataan, ulas Haikal.
Haikal kembali mengingatkan baha akibat molornya pengesahan anggaran pada tahun 2007, menyebabkan serapan APBA tahun ini menjadi tak maksimal. Bahkan diprediksi, sekitar Rp 2 triliun dari Rp 4 triliun anggaran yang kini ada, bakal tak terserap.
Sementara itu, anggota DPRA, Almanar SH mengatakan, semestinya RAPBA 2008 telah diajukan ke dewan pada awal Oktober 2007. Itu pun dengan catatan telah selesai dibahas KUA dan PPAS.
Namun, kenyataannya sampai saat ini PPAS belunm diserahkan ke dewan. Jadi, apa yang mau dibahas, tukas politisi PAN ini.
Begitupun, menurutnya, masih bisa dipahami, sebab pengelolaan dana otsus dan migas seusai UUPA baru tahun 2008 mendatang diberlakukan. Sementara perangkat hukum tentang penggunaan anggaran itu, yakni qanun, belum selesai dibahas.
Anggota DPRA dari Fraksi Partai Golkar, M Husen Banta, juga sangat menyesalkan keterlambatan pengajuan RAPBA tersebut. Kami tidak mau nanti disalahkan oleh rakyat seolah-olah dewan yang memperlambat pengesahan anggaran. Padahal, sampai saat ini belum juga diajukan eksekutif, ujar Husen seraya menerangkan bahwa untuk membahas hingga tuntas anggaran tersebut minimal memerlukan waktu 45 hari. (sup)

Penyelesaian Jalan Banda Aceh-Calang Sangat Lamban

Analisa, 7 November 2008

Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat di pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.

“Kami merasakan pembangunan di pesisir barat dan selatan ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Salah satu penyebabnya karena lambannya pembangunan ruas jalan yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID tersebut,” kata TAF Haikal, Jurubicara KPBS, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/10). Ia menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai dari Aceh Besar sampai ke Calang sepanjang 150 kilometer itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen. “Kami mendapat informasi yang menyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno (Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis,” katanya. Menurut dia, kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang yang didanai USAID itu diperkirakan terhenti.

“Saya mengindikasikan terhentinya proyek tersebut sebagai salah satu dampak krisis keuangan global yang menimpa Amerika Serikat,” tambahnya. Dari informasi yang diperoleh, Haikal menyebutkan bahwa ruas sepanjang Lanmo-Calang itu terhenti dengan alasan pihak rekanan (PT WK) menarik diri melanjutkan pekerjaan.

Alasan

“Saya melihat itu sebagai alasan. Saya mengkhawatirkan pihak donor akan mencabut bantuan kelanjutan penyelesaian pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Kalau itu terjadi, maka kami juga berharap Pemerintah Aceh serta Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias untuk menuntut komitmen USAID,” kata dia. KPBS juga minta BRR NAD-Nias sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam proses rehab dan rekon Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004 agar mendesak percepatan pembangunan ruas jalan tersebut.

“BRR NAD-Nias harus bertanggungjawab jika pihak donor menarik bantuannya. Sebab, jika kelanjutan pembangunan jalan tersebut dibebankan kepada provinsi jelas tidak mungkin, karena dana yang dibutuhkan cukup besar,” kata Haikal. Seperti diketahui, untuk pembangunan ruas jalan pesisir barat Aceh itu, USAID sebelumnya telah mengalokasikan anggaran senilai 108 juta dolar AS atau sekitar Rp972 miliar Oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Badan Pembangunan internasionalnya, USAID menyerahkan kontrak rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan jalan Banda Aceh-Calang sepanjang ratusan kilometer kepada kontraktor asal Korea yang memenangkan tender internasional, Ssangyong Enginering Construction Company Limited, sebagai kontraktor utama yang bermitra dengan PT Hutama Karya.

Sebagai jalur ekonomi, jalan itu akan membawa produk perdagangan terbaik yang bisa ditawarkan oleh Provinsi Aceh, dan jalan ini akan mengundang dan memungkinkan adanya invasi investor domestik dan internasional, yang akan menjamin tidak hanya pemulihan ekonomi tapi juga kesejahteraan masyarakat. (mhd)

Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang Lamban

Harian Aceh, 3 November 2008

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal mengatakan pembangunan ruas jalan Banda Aceh –Calang yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID terkesan lamban

“ Kami merasakan pembangunan ruas jalan dipesisir barat ddan selatan lamban dibangun, sehingga daerah itu jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh, “ kata Haikal (Minggu, 2/11), di Banda Aceh. Ia meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat dipesisir Aceh itu.

Haikal menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai datri Aceh Besar sampai Calang sepanjang 150 KM itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen,” Kami mendapat informasi yang mnyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno ( Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis, “ katanya. (bai)

BRR Harus Tuntaskan 746 Rumah Terbengkalai di Simeulue

Analisa
Jum`at, 5 September 2008

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, harus menuntaskan terlebih dahulu realisasi atas pembangunan bantuan perumahan bagi warga korban bencana alam gempa dan tsunami, sebelum habis masa peralihan kerja ke Pemerintahan Aceh di medio April 2009.

Sebab berdasarkan hasil penulusuran lapangan, diketahui hingga saat ini ada 746 unit bantuan perumahan di Kabupaten Simeulue yang terbengkalai dan tidak dilanjutkan lagi pekerjaannya di lapangan.

“GeRAK Aceh dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh mendesak BRR untuk segera memperbaiki semua bangunan dan perumahan warga, baik yang rusak pada waktu gempa maupun bencana tsunami sebelum berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias di Aceh. Sementara desain rumah yang harus diterima masyarakat perlu dilakukan perancangan bangunan yang tahan gempa, sebab wilayah Simeulue adalah salah satu kawasan yang rawan dengan bencana,” ujar TAF Haikal, Jurubicara KPBS Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (4/9).

Dijelaskannya, berdasarkan hasil monitoring atas pembangunan perumahan di wilayah Simeulue yang ditemukan Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan KPBS, diketahui bahwa khusus di wilayah Simeulue, realisasi atas pembangunan bantuan kepada masyarakat cukup lambat dan sangat memprihatinkan, padahal diketahui daerah tersebut merupakan daerah terparah kejadian bencana baik tsunami maupun gempa-gempa susulan.

Hasil penulusuran atas bantuan perumahan diketahui bahwa hingga saat ini ada sekitar 746 unit bantuan perumahan dari Re-Kompak yang dibiayai melalui dana-dana MDF-Wold Bank tidak dapat dilanjutkan kerjanya dan terbengkalai, yakni di Kecamatan Simeulue Timur sebanyak 532 unit dan 214 unit terletak di Kecamatan Teupah Selatan.

Sedangkan hasil atas bantuan perumahan yang saat ini sedang dalam realisasi pekerjaan lapangan yang dikerjakan oleh BRR NAD-Nias dan NGO diketahui mencapai angka sebanyak 2.159 unit dalam penanganan, yang tersebar di delapan kecamatan yaitu meliputi Simeulue Timur, Simeulue Barat, Salang, Teupah Selatan, Teupah Barat, Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan, dan diprediksikan bantuan perumahan tersebut tidak akan mampu diselesaikan tepat waktu sebagaimana yang telah direncanakan karena banyak kontraktor yang memenangkan proyek tidak melakukan kerja sebagaimana rencana kerja yang ditanda tangani.

Lemahnya Pengawasan

“Banyak terbengkalai pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Simeulue tidak terlepas dari pengawasan yang lemah. Lemahnya pengawasan dilakukan sejak awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dan dampaknya saat ini, dengan banyak proyek-proyek yang terbengkalai,” jelas Haikal.

Ditambahkannya, dari laporan dan wawancara dengan masyarakat korban diketahui, program pembangunan di Simeulue ternyata hanya difokuskan pada hal-hal yang sifatnya tidak menyentuh masyarakat, seperti pembangunan beberapa kantor pemerintahan seperti Kantor BPM, Kantor Dispenda, Kantor Dinas Kelautan dan pembangunan instalasi vertikal seperti Pos AL, dan Asrama Polres Simeulue yang pekerjaannya dipacu dan cepat selesai. Akan tetapi untuk pembangunan bantuan perumahan belum berhasil dibangun dengan sempurna.