Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008

BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.

Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009.
Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi.
“Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya.
Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Pemerintah Aceh belum Peka Bencana

Serambi Indonesia, 6 desember 2008

BANDA ACEH - Bencana yang nyaris tanpa henti di Aceh seharusnya
lebih meningkatkan kepekaan pemerintah daerah ini terhadap kondisi alam dengan menyiapkan berbagai strategi antisipasi sehingga bisa meminimalisir dampak risiko yang ditimbulkan.
“Ironis. Di negeri yang berteman dengan bencana, ternyata kita tak punya strategi antisipasi yang optimal,” kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal.

Dalam rilis yang diterima Serambi, Jumat (5/12), Haikal secara khusus menyikapi bencana banjir yang kini mengepung sebagian besar wilayah Aceh. “Memang hal itu fenomena alam. Banjir itu disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi di Aceh. Akan tetapi, agaknya kita perlu melakukan refleksi terhadap strategi pembangunan saat ini,” tulisnya.
Seharusnya, lanjut Haikal, Pemerintah Aceh sudah selayaknya memikirkan peta bencana Alam yang kerap terjadi di Aceh. Dengan adanya informasi tersebut, minimal pemerintah dapat mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan dari bencana tersebut. “Menurut kami, sejauh ini strategi antisipasi bencana belum optimal dilakukan,” tandas Haikal.

Menurut Haikal, salah satu contoh tidak adanya strategi dan kepekaan terhadap bencana adalah pembangunan gudang dinas sosial untuk penempatan/penyimpanan barang kebutuhan pascabencana di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar.
Padahal, katanya, kalau dilihat dari intensitas bencana, banjir hampir rutin terjadi di pantai barat-selatan dan kawasan Timur Aceh. “Akan tetapi Pemerintah Aceh belum sensitif terhadap penyiapan sarana dan prasanara penanggulangan bencana,” urainya.

Juga ditegaskan, statement Gubernur Irwandi Yusuf bahwa korban banjir tidak boleh lapar harus didukung. Haikal berharap tidak cukup dengan komentar di media massa. Pemerintah Irwandi harus mewujudkan hal itu dengan pembangunan yang memperhitungkan aspek bencana.

“Sudah saatnya menyusun peta bencana di Aceh. Dengan adanya peta tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan seperti pembangunan gudang logistik bencana di Pantai Barat Selatan Aceh dan Pantai Timur serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik,” demikian Haikal.

Warning BMG

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memprakirakan potensi hujan di Aceh masih tetap terjadi hingga beberapa hari ke depan. Demikian juga dengan potensi banjir dan tanah longsor yang hingga kini masih terjadi di sejumlah daerah.
Informasi itu disampaikan Kepala BMG Blang Bintang Banda Aceh, Samsuir, kepada Serambi, Jumat (5/12). Menurutnya, saat ini kondisi cuaca Aceh masih mengalami gangguan berupa tekanan rendah yang terjadi di Samudera Hindia. Kondisi ini menyebabkan awan bergerak menggumpal di atas daratan Aceh. “Awan ini agak rendah dan sangat aktif,” ujarnya.
Samsuir menyebutkan, intensitas hujan terjadi antara ringan hingga sedang dan terjadi pada waktu pagi dan sore hari.
Sementara angin masih bertiup dari arah timur laut hingga barat laut dengan kecepatan 10 hingga 25 kilometer per jam.
“Untuk gelombang laut, di perairan barat selatan Aceh ketinggian berkisar antara 2 hingga 3 meter, sementara di perairan timur satu sampai dua setengah meter,” sebutnya.(nas/yos)

Terkait Pembahasan RAPBA 2009 Gubernur Diminta Perketat Evaluasi Kinerja SKPA

Serambi Indonesia, 28 Nov 2008

BANDA ACEH - Rendahnya realisasi program dan kegiatan APBA 2008, yang hingga bulan November ini belum mencapai angka 50 persen, menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Pemerintah Aceh pun dinilai gagal memenuhi harapan masyarakat untuk menikmati kue pembangunan dari anggaran 2008 sebesar Rp 8,5 triliun. Untuk itu, Gubernur Aceh diminta agar mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA ujung tombak pembangunan di Aceh.

“Gubernur Aceh harus mengevalusi kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) secara ketat. Karena SKPA adalah ujung tombak pembangunan di Aceh. SKPA merupakan cerminan dari kebijakan gubernur, Bila kinerjanya jelek, maka rakyat akan menyimpulkan kinerja gubernur tidak bagus,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (27/11). Haikal mengatakan, pengalaman itu harus menjadi pelajaran berharga bagi pihak eksekutif dan legislatif di Aceh dalam menyusun anggaran 2009. Terutama agar kasus temuan panitia khusus DPRA tentang banyaknya proyek APBA 2008 yang belum diketahui lokasinya, tidak terulang kembali tahun depan.
“Memang betul, kontribusi ’kegagalan‘ tersebut bukan hanya dari eksekutif, namun juga tidak lepas dari kesalahan legislatif. Tapi hendaknya ini menjadi pelajaran bagi semua pengambil kebijakan di Aceh agar kasus seperti ini tidak terulang lagi tahun depan,” ujarnya.
Pria yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRRI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh ini menambahkan, kebijakan Gubernur Irwandi Yusuf dengan melakukan fit and proper test terhadap kepala SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh) sudah sangat baik. Namun, kata dia, hal itu tampaknya belum cukup untuk mendukung keinginan gubernur untuk melahirkan pemerintahan yang kuat dan bersih.
“Saya pikir harus ada terobosan besar untuk mengawal dan mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA,” kata dia.
Jubir KPBS juga mendesak DPRA untuk selektif dalam menyetujui program dan kegiatan dari eksekutif. “DPRA juga harus melakukan pengawasan secara ketat terhadap kinerja SKPA. Menurut kami, semua pihak harus jujur untuk introspeksi diri, jangan lagi masyarakat ditipu dengan ungkapan ’Aceh melimpah dana”, karena kesempatan menikmati itu tidak pernah terwujud,” kata dia.(nal)

APBA 2008 Terancam Molor

Serambi Indonesia, 21 Nov 2008

BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2008 dipastikan bakal terlambat pengesahannya, karena sampai saat ini rancangan anggaran tersebut belum diajukan eksekutif ke legislatif untuk dibahas. Bahkan, Selasa (20/11) kemarin, eksekutif baru menyerahkan draf kebijakan umum anggaran (KUA) yang baru selesai diperbaiki, setelah sebelumnya sempat dikembalikan oleh legislatif.

Sekda Aceh, Husni Bahri TOB selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif yang dikonfirmasi Serambi kemarin tak mau banyak berkomentar tentang RAPBA yang sampai kemarin belum diajukan ke legislatif itu. Kita sudah berupaya maksimal supaya anggaran itu bisa tepat waktu disahkan, tapi bagaimana keadaannya memang seperti ini, katanya.
Ketika didesak, kenapa pengesahan anggaran setiap tahunnya terus molor dari jadwal yang seharusnya, yaitu sebulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir atau satu bulan sebelum tahun anggaran berlaku sudah disahkan. Tolong jangan tanya soal itu lagi, nanti saya salah lagi menjawabnya.
Anda tanya saja pada Rahman Lubis (Kepala Bappeda Aceh -red). Soalnya, itu masalah teknis. Saya tak bisa memberi penjelasan dan itu Kepala Bappeda yang tahu, ujar Husni sambil mengarahkan Serambi agar menjumpai Kepala Bappeda Aceh.
Kepala Bappeda Prof Dr A Rahman Lubis MSc yang dihubungi Serambi kemarin secara terpisah mengakui bahwa APBA 2008 tidak mungkin bisa disahkan pada awal Januari 2008. Bahkan pihaknya memprediksi, anggaran tersebut paling cepat bisa disahkan pada akhir Januari. Itu pun dengan catatan semua pihak berkomitmen mau bekerja keras dalam membahas dan menuntaskan masalah ini (anggaran-red), katanya.
Dikatakan, sejak awal semua pihak sudah berupaya untuk menyelesaikan APBA tahun 2008 sesuai jadwal yang telah ditentukan, yakni awal Januari. Buktinya, eksekutif pada 4 Juli lalu sudah menyerahkan draf KUA ke DPRA. Setelah diteliti, draf tersebut baru dikembalikan legislatif pada 29 Agustus dan diminta untuk diperbaiki kembali. Setelah diperbaiki eksekutif, draf itu diserahkan pada 17 September. Kemudian baru bisa dibahas bersama-sama pada 9-25 Oktober 2007.

Dan baru tadi pukul 15.00 WIB (kemarin-red) kita serahkan hasil pembahasan tersebut untuk dilihat dan diteliti kembali oleh DPRA, kemudian baru akan disetujui bersama dalam nota kesempahaman antara eksekutif dan legislatif mengenai KUA. Saya kira, dalam dua tiga hari ke depan KUA itu sudah ditandatangani, ujar Rahman.
Menurut Rahman, akhir November 2007 nanti pihaknya baru akan menyerahkan ke dewan draf Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS), mengingat PPAS tersebut masih dalam penyusunan dan pembahasan dengan kabupaten/kota. Sebab, UU Pemerintahan Aceh sudah mengatur bahwa untuk dana otonomi khusus (Otsus), bagi hasil migas, dan anggaran pendidikan, haruslah melalui persetujuan kabupaten/kota.
Maka kita harus membahasnya dengan kabupaten/kota lebih dulu sebelum dibuat PPAS, ujarnya seraya menerangkan bahwa dana migas dan otsus sudah selesai dibahas dan pekan ini akan dibahas pula dana pendidikan.
Jika PPAS selesai dibahas dewan selama dua pekan, kata Rahman Lubis, maka pihaknya dalam waktu berbarengan akan menyerahkan rancangan kegiatan anggaran (RKA). Pekan pertama Januari kita akan usahakan RAPBA diserahkan ke dewan. Kalau misalnya dewan bisa menyelesaikan pembahasan RAPBA satu bulan, maka pekan pertama Februari anggaran itu sudah bisa disahkan. Itu pun dengan catatan semua pihak mau bekerja keras, timpalnya.
Menurutnya, keterlambatan tersebut tak bisa dipersalahkan pada Pemerintah Aceh semata, karena terkait juga dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang setiap tahun berubah. Contohnya, Permendagri Nomor 13/2006 yang baru setahun berlaku, tapi sudah diubah kembali dengan PP Nomor 59/2007 tentang Penyusunan APBD. Padahal, PP tersebut belum tersosialisasi pada semua pejabat di provinsi, katanya.
Memang diakui PP Nomor 59/2007 itu efektif berlalu pada tahun 2009. Namun, kalau dilihat dari ketentuan yang ada dalam PP tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan Permendagri Nomor 13/2006 yang di dalamnya banyak terjadi kerancuan. Maka anggaran kita tahun 2008 sudah menggunakan PP Nomor 59 Tahun 2007, katanya.

Bisa berkepanjangan

Sejumlah pihak sangat menyayangkan molornya pengesahan APBA Tahun 2008 itu, sebab masyarakat akan dirugikan. Apabila anggaran baru bisa disahkan awal Februari, maka hak-hak publik terhadap pembangunan akan terabaikan dalam satu bulan sebelumnya, tukas TAF Haikal, mantan koordinator Forum LSM Aceh.
Dia ingatkan bahwa kerugian publik terhadap molornya pengesahan APBA itu bisa jadi berkepanjangan, karena dinas selaku pengguna anggaran masih memerlukan waktu untuk menyusun rancangan kegiatan dan proses tender. Ini bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan, kata tokoh muda yang juga Jubir Kaukus Barat-Selatan ini.
Oleh sebab itu, TAF Haikal mendesak kepala pemerintahan yang ada sekarang segera melakukan pengkajian ulang terhadap semua pejabat, mulai dari sekda, kepala dinas, badan, hingga kepala biro yang ada di lingkungan Pemprov NAD. Sehingga hal seperti ini tahun depan tak terjadi lagi. Bagaimanapun, tindakan seperti ini jelas merugikan rakyat. Sedianya, sebelum triwulan pertama sudah ada proyek yang terealisasi. Tapi karena penetapan APBA molor, apa yang diharapkan itu tak jadi kenyataan, ulas Haikal.
Haikal kembali mengingatkan baha akibat molornya pengesahan anggaran pada tahun 2007, menyebabkan serapan APBA tahun ini menjadi tak maksimal. Bahkan diprediksi, sekitar Rp 2 triliun dari Rp 4 triliun anggaran yang kini ada, bakal tak terserap.
Sementara itu, anggota DPRA, Almanar SH mengatakan, semestinya RAPBA 2008 telah diajukan ke dewan pada awal Oktober 2007. Itu pun dengan catatan telah selesai dibahas KUA dan PPAS.
Namun, kenyataannya sampai saat ini PPAS belunm diserahkan ke dewan. Jadi, apa yang mau dibahas, tukas politisi PAN ini.
Begitupun, menurutnya, masih bisa dipahami, sebab pengelolaan dana otsus dan migas seusai UUPA baru tahun 2008 mendatang diberlakukan. Sementara perangkat hukum tentang penggunaan anggaran itu, yakni qanun, belum selesai dibahas.
Anggota DPRA dari Fraksi Partai Golkar, M Husen Banta, juga sangat menyesalkan keterlambatan pengajuan RAPBA tersebut. Kami tidak mau nanti disalahkan oleh rakyat seolah-olah dewan yang memperlambat pengesahan anggaran. Padahal, sampai saat ini belum juga diajukan eksekutif, ujar Husen seraya menerangkan bahwa untuk membahas hingga tuntas anggaran tersebut minimal memerlukan waktu 45 hari. (sup)

Penyelesaian Jalan Banda Aceh-Calang Sangat Lamban

Analisa, 7 November 2008

Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat di pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.

“Kami merasakan pembangunan di pesisir barat dan selatan ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Salah satu penyebabnya karena lambannya pembangunan ruas jalan yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID tersebut,” kata TAF Haikal, Jurubicara KPBS, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/10). Ia menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai dari Aceh Besar sampai ke Calang sepanjang 150 kilometer itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen. “Kami mendapat informasi yang menyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno (Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis,” katanya. Menurut dia, kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang yang didanai USAID itu diperkirakan terhenti.

“Saya mengindikasikan terhentinya proyek tersebut sebagai salah satu dampak krisis keuangan global yang menimpa Amerika Serikat,” tambahnya. Dari informasi yang diperoleh, Haikal menyebutkan bahwa ruas sepanjang Lanmo-Calang itu terhenti dengan alasan pihak rekanan (PT WK) menarik diri melanjutkan pekerjaan.

Alasan

“Saya melihat itu sebagai alasan. Saya mengkhawatirkan pihak donor akan mencabut bantuan kelanjutan penyelesaian pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Kalau itu terjadi, maka kami juga berharap Pemerintah Aceh serta Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias untuk menuntut komitmen USAID,” kata dia. KPBS juga minta BRR NAD-Nias sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam proses rehab dan rekon Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004 agar mendesak percepatan pembangunan ruas jalan tersebut.

“BRR NAD-Nias harus bertanggungjawab jika pihak donor menarik bantuannya. Sebab, jika kelanjutan pembangunan jalan tersebut dibebankan kepada provinsi jelas tidak mungkin, karena dana yang dibutuhkan cukup besar,” kata Haikal. Seperti diketahui, untuk pembangunan ruas jalan pesisir barat Aceh itu, USAID sebelumnya telah mengalokasikan anggaran senilai 108 juta dolar AS atau sekitar Rp972 miliar Oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Badan Pembangunan internasionalnya, USAID menyerahkan kontrak rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan jalan Banda Aceh-Calang sepanjang ratusan kilometer kepada kontraktor asal Korea yang memenangkan tender internasional, Ssangyong Enginering Construction Company Limited, sebagai kontraktor utama yang bermitra dengan PT Hutama Karya.

Sebagai jalur ekonomi, jalan itu akan membawa produk perdagangan terbaik yang bisa ditawarkan oleh Provinsi Aceh, dan jalan ini akan mengundang dan memungkinkan adanya invasi investor domestik dan internasional, yang akan menjamin tidak hanya pemulihan ekonomi tapi juga kesejahteraan masyarakat. (mhd)

Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang Lamban

Harian Aceh, 3 November 2008

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal mengatakan pembangunan ruas jalan Banda Aceh –Calang yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID terkesan lamban

“ Kami merasakan pembangunan ruas jalan dipesisir barat ddan selatan lamban dibangun, sehingga daerah itu jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh, “ kata Haikal (Minggu, 2/11), di Banda Aceh. Ia meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat dipesisir Aceh itu.

Haikal menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai datri Aceh Besar sampai Calang sepanjang 150 KM itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen,” Kami mendapat informasi yang mnyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno ( Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis, “ katanya. (bai)

BRR Harus Tuntaskan 746 Rumah Terbengkalai di Simeulue

Analisa
Jum`at, 5 September 2008

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, harus menuntaskan terlebih dahulu realisasi atas pembangunan bantuan perumahan bagi warga korban bencana alam gempa dan tsunami, sebelum habis masa peralihan kerja ke Pemerintahan Aceh di medio April 2009.

Sebab berdasarkan hasil penulusuran lapangan, diketahui hingga saat ini ada 746 unit bantuan perumahan di Kabupaten Simeulue yang terbengkalai dan tidak dilanjutkan lagi pekerjaannya di lapangan.

“GeRAK Aceh dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh mendesak BRR untuk segera memperbaiki semua bangunan dan perumahan warga, baik yang rusak pada waktu gempa maupun bencana tsunami sebelum berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias di Aceh. Sementara desain rumah yang harus diterima masyarakat perlu dilakukan perancangan bangunan yang tahan gempa, sebab wilayah Simeulue adalah salah satu kawasan yang rawan dengan bencana,” ujar TAF Haikal, Jurubicara KPBS Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (4/9).

Dijelaskannya, berdasarkan hasil monitoring atas pembangunan perumahan di wilayah Simeulue yang ditemukan Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan KPBS, diketahui bahwa khusus di wilayah Simeulue, realisasi atas pembangunan bantuan kepada masyarakat cukup lambat dan sangat memprihatinkan, padahal diketahui daerah tersebut merupakan daerah terparah kejadian bencana baik tsunami maupun gempa-gempa susulan.

Hasil penulusuran atas bantuan perumahan diketahui bahwa hingga saat ini ada sekitar 746 unit bantuan perumahan dari Re-Kompak yang dibiayai melalui dana-dana MDF-Wold Bank tidak dapat dilanjutkan kerjanya dan terbengkalai, yakni di Kecamatan Simeulue Timur sebanyak 532 unit dan 214 unit terletak di Kecamatan Teupah Selatan.

Sedangkan hasil atas bantuan perumahan yang saat ini sedang dalam realisasi pekerjaan lapangan yang dikerjakan oleh BRR NAD-Nias dan NGO diketahui mencapai angka sebanyak 2.159 unit dalam penanganan, yang tersebar di delapan kecamatan yaitu meliputi Simeulue Timur, Simeulue Barat, Salang, Teupah Selatan, Teupah Barat, Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan, dan diprediksikan bantuan perumahan tersebut tidak akan mampu diselesaikan tepat waktu sebagaimana yang telah direncanakan karena banyak kontraktor yang memenangkan proyek tidak melakukan kerja sebagaimana rencana kerja yang ditanda tangani.

Lemahnya Pengawasan

“Banyak terbengkalai pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Simeulue tidak terlepas dari pengawasan yang lemah. Lemahnya pengawasan dilakukan sejak awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dan dampaknya saat ini, dengan banyak proyek-proyek yang terbengkalai,” jelas Haikal.

Ditambahkannya, dari laporan dan wawancara dengan masyarakat korban diketahui, program pembangunan di Simeulue ternyata hanya difokuskan pada hal-hal yang sifatnya tidak menyentuh masyarakat, seperti pembangunan beberapa kantor pemerintahan seperti Kantor BPM, Kantor Dispenda, Kantor Dinas Kelautan dan pembangunan instalasi vertikal seperti Pos AL, dan Asrama Polres Simeulue yang pekerjaannya dipacu dan cepat selesai. Akan tetapi untuk pembangunan bantuan perumahan belum berhasil dibangun dengan sempurna.

Masyarakat Buloh Seuma akhirnya ‘Merdeka’

Tapaktuan,

Harian Aceh, 5 Agustus 2008

Upaya yang dilakukan Pemerintah Aceh Selatan dibawah kendali Husin Yusuf dan daska aziz untuk membebaskan 834 Jiwa masyarakat Kemukiman Buloh Seuma, Kecamtan Trumon, dari keterisolasian, berhasil. Menteri Kehutanan M.S Kaban, telah menyetujui peningkatan ruas jalan Keude Trumon –Buloh Seuma di kawasan suaka marga satwa (SM) Rawa Singkil.

Dengan peningkatan ruas jalan tersebut, arus transportasi dari dan ke Buloh Seuma tidak lagi mengnakan jalur laut yang tidak menentu waktu sampai ketujuan. Begitu pula sumber-sumber kehidupan lainnya yang harus diperoleh masyarakat di daerah tersebut. “ Pemerintah Kabupaten Berusaha semaksimal mungkin untuk mensejahterakan masyarakatnya. Jadi bila ada warga yang masih sulit untuk dijangkau dengan transportasi darat, dipermudah. Hal ini seperti yang sudah kita lakukan untuk membebaskan masyarakat di Kemukiman Buloh Seuma,” Kata Husen yusuf dalam acara Sosialisasi peningkatan ruas jalan ke Buloh Seuma di Oproom Kantor Bupati setempat, Rabu (3/9).

Bupati didampingi Dandim 0107 Letkol Arm.Erwin Septiansyah, dan Kapolres Aceh Selatan, AKBP Cahyo Budisiswanto, serta Kepala SKPD, menerangkan, meskipunMenteri Kehutanan telah memberikan izin, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah kabupaten

Sesuai isi surat Menteri Kehutan yang dilayangkan kepada Bupati Aceh Selatan, bernomor S.493/Menhut-IV/2008 tertanggal 25 Agustus 2008.

Dia merincikan, di antaranya ruas jalan sepanjang 7,6 KM agar dicarikan alternatif diluar kawasan suaka sehingga perlu pengaturan ulang trayek jalan Keude Trumon –Buloh Seuma, yang tumpang tindih dengan kawasan SM Rawa Singkil. Selain itu, Kaban melalui suratnya juga meminta komitmen dari pemerintah kabupaten setempat untuk membantu pengamanan SM Rawa Singkil dan meminimalkan dampak negatif yang timbul akibat peningkatan ruas jalan tersebutterhadap kelestarian SM Rawa Singkil. Karenanya, Husen Yusuf mengajak semua komponen yang ada, terutama masyarakat Trumon, untuk bersama merealisasikan permintaan Menteri Kehutanan.

Kemukimam Buloh Seuma, Trumon, dihuni sekitar 834 Jiwa atau 165 KK, yang terbagi dalam tiga Desa. Ia merupakan Daerah yang selam ini belum menikmati arti sebuah Kemerdekaan yang hakiki. Peningkatan ruas jalan ke daerah itu yang sempat dihentikan oleh Pihak BKSDA setempat pada tahun 2007 lalu, kini dapat diteruskan dan telah mendapat restu dari Pemerintah Pusat. Artinya, pembangunan tersebut berdampak ada masyarakatnya dan daklam waktu dekat sudah dapat menikmati berbagai fasilitas kesehatan dan pendidikan yang maksimal.

Direktur yayasan Insosdes, Teuku Masrizar, mengatakan, Lembaganya ditunjuk pemerintah daerah bersama lembaga Rimueng Lam Kaluet untuk mengamankan SM Rawa Singkil. “Komitmen merupakan landasan lembaga kami atas apa yang telah dilafazkan saat meminta persetujuan menteri guna peningkatan jalan tersebut”, kata Masrizal.

Publikasi Isu ALA dan ABAS Jangan Meresahkan Masyarakat

Analisa
Kamis, 21 Agustus 2008

juru bicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal mengharapkan, isu pemekaran Aceh dengan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media massa, jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.

la menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya Amanat Presiden (Ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.

Menurutnya, isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.

“Saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebarluaskan kepada publik, media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat sebagai upaya kita bersama mencegah jangan sampai Aceh kembali didera konflik bersenjata,” ujar Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (20/8)

Dijelaskan, peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.

Selektif

“Begitu besarnya peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki,” katanya.

TAF Haikal mencontohkan, dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.

Padahal, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokatif. Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah “barang haram” yang tidak diperbolehkan di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.

“Tapi khusus untuk Aceh, saya juga berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakan,” kata TAF Haikal.

Jika dalam Undang Undang (UU) Nomor. 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya maka wacana pemekaran harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografis, katanya. (mhd)

Peran media penting selamatkan perdamaian Aceh

WASPADA ONLINE, 19 agustus 2008

BANDA ACEH - Peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.
"Begitu besar peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki," kata Jurubicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh TAF Haikal di Banda Aceh, Selasa.
Dia menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya amanat presiden (ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 Kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.
"Saya berharap isu pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media itu jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang pemilu," tambahnya.
Karena itu, ia menyatakan isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.
"Sekali lagi saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebar luaskan kepada publik oleh media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat," katanya.
TAF Haikal mencontohkan dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.
Padahal, tambahnya, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokasi.
Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah "barang haram" di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.
"Tapi khusus untuk Aceh, saya berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakannya," kata dia.
TAF Haikal juga menjelaskan bahwa walaupun pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografisnya.


Husin-Daska Harus Hindari KKN

Serambi Indonesia, 21 Agustus 2008

TAPAKTUAN-Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (Somasi) Aceh Selatan, meminta kepada Bupati dan wakil Bupati Aceh Selatan, agar dalam menyusun kabinet baru yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan harus berasal dari orang-orang yang bersih dan mempunyai kapasitas serta krediblitas yang tinggi. Hal ini perlu dilakukan oleh Husen-Daska, untuk mereformasi sistem birokrat di daerah itu demi menuju Aceh Selatan yang baru dan maju.

“Kegagalan pemerintahan yang terdahulu harus dapat dijadikan sebagai cerminan dan pelajaran bagi pemeritah sekarang. Pola-pola seperti itu harus diubah oleh pemerintahan Husen Daska, agar pemerintahan Aceh Selatan yang baik dan bersih (clean and good governance) tahun 2008 - 2013 dapat terwujud,” ujar Ketua LSM Somasi, Saiful Bismi kepada Serambi, Rabu (20/8) sehubungan akan digulirkannya mutasi besar-besaran dijajaran Pemkab itu.

Dikatakan, dua periode masa kepemimpin pemerintahan yang terdahulu dalam memimpin Aceh Selatan, yang dinilai oleh berbagai kalangan masyarakat, gagal dan tidak ada kemajuan pembangunan yang signifikan, karena para pejabat pemerintah yang ditempatkan di suatu instansi bukan berdasarkan kapasitas, melainkan mereka yang mayoritas tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal, sehingga program-program pemerintah tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan pemerintah dan masyarakat. (az)

USAID Diminta Segera Bangun Jalan Calang –Meulaboh

Harian Aceh, Sabtu 19 Juli 2008

Banda Aceh- Juru Bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KBPS), TAF Haikal, meminta pihak Donatur USAID tidak menunda paket pembangunan jalan Calang-Meulaboh. “ Jangan ditunda-tunda paket pembangunan jalan Calang – Meulaboh. Karena, jika ditunda-tunda akan menjadi kasus seperti jalan Banda Aceh-Calang, “ katanya, Jum’at (18/7). Disebutkan, jalan pantai barat Aceh yang hancur akibat Tsunami akhir Desember 2004 lalu sudah lama pihak USAID komit untuk membangunnya. Namun, hingga kini pembangunan kembali jalan Calng – Meulaboh belum dikerjakan, sedangkan Banda Aceh – Calang masih banyak terdapat masalah.

Sehubungan langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemerintah Aceh dan jajarannya dalam penyelesaian masalah jalan Banda Aceh-Calang , Haikal menyampaikan Apresiasi yang tinggi. Apalagi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah menegaskan sikap yang tepat, yakni pentingnya penegakan wibawa hukum dan pemerintahan

Kata wibawa hukum dan pemerintahan, serta kesepakatan dalam pelaksanaan pembangunan, menurut Haika, dua kata kunci ini yang sangat penting bagi pemerintah sebagi eksekutor dan fasilitator pembangunan. Untuk kasus jambo Jagung disekitar kawasan wisata Lhoknga, Haikal menyarankan PEMKAB Aceh Besar dapat mengambil langkah segera, mencarai alternatif lokasi baru. “ini penting, karena untuk jangka panjang bisa menjadi kawasan wisata andalan PEMKAB Aceh Besar dan kesempatan menatakembali wilayah itu, “ (bai)

Ikatan Mahasiswa Pemuda Kluet Utara (IMPKU) Banda Aceh Salurkan Bantuan Untuk Korban Musibah Kebakaran Di Kota Fajar

Harian Aceh, 15 juli 2008

Kota Fajar- Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Pemuda Kluet Utara (IMPKU) Banda Aceh (Minggu 13 Juli 2008) menyalurkan bantuan masa panik kepada korban musibah kebakaran di Kota Fajar, Aceh Selatan

Bantuan yang diserahkan itu berupa uang tunai Rp. 21.315.000 -, langsung oleh pengurus IMPKU banda Aceh Teuku Muhammad Fadli, yang diterima oleh Koordinator Posko penerima bantuan musibah kebakaran Kota Fajar Taufik Zein.

Ketua Umum IMPKU Banda Aceh Abdul Rahman Edo mengatakan kepada Harian Aceh, senin (14/7), bantuan senilai Rp 21.315.000 tersebut merupakan dana yang terhimpun dari kegiatan penggalangan dana yang dilaksanakan oleh pengurus IMPKU Banda Aceh selama tiga hari.
”Kami menggalang dana selama tiga hari sejak tanggal 7 -9 Jli 2008 di Simpang lima, Simpang Surabaya dan Simpang Jam Banda Aceh, ” katanya

Selain itu katanya, penggalangan dana ini Sebagai wujud rasa kepedulian, persaudaraan dan solidaritas kita bersama atas kejadian musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Kota Fajar.
”Kami atas nama Pengurus Ikatan Mahasiswa Pemuda Kluet Utara (IMPKU) Banda Aceh mengucapkan terimaksih kepada warga banda aceh dan sekitarnya yang telah memberikan subangan dana. Semoga dana bantuan yang di salurkan dapat mengurangi beban yang dialami oleh saudara-saudara kita yang mengalami musibah”. ujarnya

Kata Edo, Berdasarkan hasil musyawarah antara Pengurus Posko dengan Tim penyalur bantuan dari IMPKU banda Aceh bahwa uang tunai sebesar Rp.21.315.000 akan di salurkan langsung kepada 33 KK korban musibah kebakaran tersebut, sehingga setiap KK memperoleh bantuan sebesar Rp.645.000,- Sijago merah menghanguskan puluhan Ruko di pusat pasar Desa limau purut Kota Fajar Kluet Utara pada tanggal 5 Juli 2008 lalu. (bai)

Kaukus PBS Surati Dubes Amerika

Serambi Indonesia19/06/2008

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (PBS) menyurati Dubes Amerika mempertanyakan soal terhentinya pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang yang didanai negara Paman Sam itu melalui USAID. Akibat terhentinya pembangunan kembali jalan yang luluh-lantak dihantam tsunami itu, telah membuat masyarakat wilayah tersebut rugi besar baik secara ekonomi maupun pskilogis.
Demikian bunyi surat yang ditujukan kepada Dubes Amerika, Mr Cameron R Hume dan ditandatangi Jubicara Kaukus PBS, TAF Haikal serta diterima Serambi, tadi malam. Dalam surat berisikan empat poin penting itu tertanggal 18 Juni 2008 juga turut menyatakan, keterlambatan dan sampai terhentinya pembangunan jalan itu dinilai akibat ketidakseriusan dan kemampuan Pemerintahan Aceh, Pemkab Aceh Besar, dan Aceh Jaya dalam menangani berbagai masalah yang muncul di lapangan terkait kegiatan proyek tersebut.

Menurut Kaukus PBS, jalan tersebut menjadi urat nadi transportasi baik ekonomi maupun urusan pemerintahan lainnya bagi masyarakat delapan kabupaten/kota terdiri dari, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simuelue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Singkil.

Bahkan, implikasi politik juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Masyarakat menghubungkan keterlambatan pembangunan ruas jalan tersebut dengan ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah menanganinya, akibatnya akan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk jangka panjang dan menengah, distrust tersebut dapat juga mengakibatkan terganggunya proses perdamaian di Aceh.

Mengingat dua hal di atas, maka pihaknya ingin menanyakan kepada Mr Cameron R Hume terkait kelanjutan pembangunan jalan tersebut. Bahkan secara terbuka Kaukus PBS juga mengakui dan mengetahui ada masalah dalam pembebasan tanah masyarakat. “Dalam kaitan ini kami sangat menghargai sekiranya Mr Cameron R Hume menjelaskan juga bagaimana posisi Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini,” tulis Haikal.

Di samping itu, Kaukus PBS percaya bahwa masyarakat sepenuhnya mendukung niat baik Pemerintah Amerika Serikat mendanai pembangunan ruas jalan yang sangat penting tersebut. “Kami juga menyatakan kecewa dan rasa marah yang mendalam terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang yang telah mengambil keuntungan pribadi atas jalan tersebut,” tegasnya dalam surat yang turut ditembusi kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Ketua DPRA, Kapolda Aceh, Panglima Kodam Iskandar Muda, Kepala Bapel BRR NAD-Nias, Bupati Aceh Besar, Ketua DPRK Aceh Besar, Bupati Aceh Jaya, Ketua DPRK Aceh Jaya, Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Medan.

Kaukus PBS menyatakan, bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok tersebut adalah musuh bersama rakyat Aceh yang cinta pembangunan dan perdamaian, dan meminta pihak keamanan di Aceh untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

TAF Haikal sempat menghubungi Serambi, tadi malam juga meminta masyarakat pantai barat-selatan untuk bersabar terhadap proses kelanjutan kembali pembangunan jalan tersebut. Juga meminta masyarakat turut membantu mempercepat proses pembangunan jalan tersebut dengan tidak melakukan tindakan yang bisa menghambat kegiatan proyek jalan itu, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. “Kami meminta masyarakat untuk perlu memikirkan matang-matang dan tidak terpengaruh dengan ajakan pihak tertentu yang membuat kita semua menjadi rugi,” imbaunya.(sup)

Surat KPBS untuk Kedubes AS

Kepada Yang Terhormat
Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia
Mr Cameron R Hume
Di
Jakarta

Dengan Hormat,

1.Kami dari Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terhentinya pembangunan Section IV di ruas jalan Banda Aceh-Aceh Jaya yang didanai oleh Pemerintah Amerika melalui USAID. Terhentinya pembangunan tersebut telah mengakibatkan kerugian yang mendalam baik secara psikologis maupun secara sosial ekonomi masyarakat di daerah pantai barat-selatan Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan tersebut menjadi urat nadi tranportasi kebutuhan pokok masyarakat dan urusan-urusan administrasi kepemerintahan terhadap 8 (delapan) Kabupten/Kota yang terdiri dari Aceh jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simelue, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam, termasuk Aceh Besar
2.Implikasi politik juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Masyarakat menghubungkan keterlambatan pembangunan ruas jalan tersebut dengan ketidakmampuan dan ketidakseriusan Pemerintah Aceh pada umumnya, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya pada khususnya, yang dapat berakhir kepada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk jangka panjang dan menengah, distrust tersebut dapat juga mengakibatkan terganggunya proses perdamaian di Aceh, yang antara lain diperoleh dengan dukungan dan bantuan Pemerintah Mr Cameron R Hume.
3.Mengingat dua hal di atas, maka izinkan kami pada kesempatan ini menanyakan kepada Mr Cameron R Hume, bagaimana kelanjutan pembangunan Jalan Banda Aceh-Aceh Jaya pada Section IV yang dilakukan oleh BUMN WIKA (Wijaya Karya) dalam perspektif Pemerintah Mr Cameron R Hume. Kami juga mengetahui ada masalah dalam pembebasan tanah milik masyarakat dan lembaga lainnya. Dalam kaitannya dengan ini kami sangat menghargai sekiranya Mr Cameron R Hume menjelaskan juga bagaimana posisi Pemerintah Amerika Serikat.
4.Kami dari KPBS percaya bahwa masyarakat banyak sepenuhnya mendukung niat baik Pemerintah Amerika Serikat membantu mendanai pembangunan ruas jalan yang sangat penting tersebut. Kami juga menyatakan kecewa dan rasa marah yang mendalam terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang ada di Aceh yang telah mengambil keuntungan pribadi atas jalan tersebut. Kami ingin menyatakan kepada Mr Cameron R Hume bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok tersebut adalah musuh bersama rakyat, Pemerintahan Aceh yang cinta pembangunan dan perdamaian, dan meminta pihak keamanan di Aceh untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
5.Demikian keprihatinan dan sikap kami, atas perhatian Mr Cameron R Hume terlebih dahulu kami sampaikan terima kasih.

Hormat Kami


TAF Haikal
Jurubicara KPBS
Cc :
- Menteri BUMN
- Kepala Pemerintahan Aceh
- Ketua DPRA
- Kapolda Aceh
- Panglima Kodam Iskandar Muda
- Kepala Bapel BRR NAD-NIAS
- Bupati Aceh Besar
- Ketua DPRK Aceh Besar
- Bupati Aceh Jaya
- Ketua DPRK Aceh Jaya
- Konsulat Jendral Amerika Serikat di Medan
- Media Massa Lokal/Nasional
- Arsip

Menhut Diminta Segera Turunkan Tim ke Buluseuma

>> Serambi Indonesia 18 Mei 2008

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) dan Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh mendesak Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban segera menurunkan tim ke lokasi peningkatan jalan dari Keude Trumom-Buluseuma, Aceh Selatan.
Pernyataan itu disampaikan jurubicara KPBS, TAF Haikal dan Ketua Badko HMI Aceh, Amirruzzahri secara terpisah kepada wartawan, Sabtu (17/5) ketika menyikapi pernyataan Menhut, MS Kaban beberapa waktu lalu saat menerima delegasi Komisi B DPRA bersama pimpinan DPRK Aceh Selatan, Bupati Aceh Selatan, Husen Yusuf, dan tokoh masyarakat Buluseuma terkait peningkatkan jalan Buluseuma-Keude Trumon.

Menurut TAF Haikal, masyarakat Buluseuma sejak negeri ini merdeka 63 tahun lalu, kehidupan mereka sangat memprihatinkan dan nyaris belum menikmati hasil dari kemerdekaan. Kalau boleh saya katakan masyarakat daerah itu belum merdeka. Karena mereka masih terisolir akibat tidak memiliki akses dengan daerah lain, lantaran tidak ada jalan yang bisa menghubungkan, kata Haikal yang putra Bakongan ini.

Kalau memang Menhut telah berjanji akan meninjau kembali soal pengunaan lahan suaka marga satwa yang akan tereka pembangunan badan jalan Buluseuma-Keude Trumon. Saya kira tidak perlu ditunda-tunda lagi, dan segera wujudkan janjinya dengan menurunkan sebuah tim untuk melakukan penelitian, desaknya.

Haikal sependapat kalau alam ini harus dijaga terutama hutan dan makluk yang ada di dalamnya, karena kalau diganggu akan menimbulkan bencana bagi penghuni bumi ini sebab ekosistem telah rusak. Tetapi kalau sedikit lahan hutan dipergunakan untuk kemaslahan masyarakat yang ada disekitarnya seperti pembangunan jalan. Saya kira tidak akan menimbulkan bencana dan mengganggu satwa yang ada di dalamnya. Yang memibulkan petaka kalau hutan itu dirusak seluruhnya. Tolong masyarakat kami juga diperhatikan, jangan alasan hutan dan satwanya saja untuk dilindungi, lalu masyarakat kami dijadikan dikorban, saya tidak setuju, tandasnya.

Hal hampir senada juga diungkpakna Ketua Badko HMI Aceh, Amirruzzahri. Menhut harus segara menurunkan tim ke Buluseuma untuk meninjau lokasi peningkatan jalan dan melihat kondisi masyarakat setempat yang hidup tanpa akses transportasi darat sejak Indonesia merdeka, pintanya.

HMI Aceh juga memberikan apresiasi terhadap Bupati Aceh Selatan, Husen Yusuf, DPRA dan DPRK Aceh Selatan yang telah memperjuangkan pembangunan kembali jalan Buluseuma- Trumon demi menyelamatkan masa depan warga yang selama ini termarginalkan.

Selama puluhan tahun masyarakat kemukiman Buluhseuma tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai bahkan kondisi kesehatan dan pendidikan sangat memprihatinkan, katanya.

Menurutnya, penghentian peningkatan jalan sepanjang 16 kilometer itu disebabkan pembangunannya berada di dalam kawasan suaka marga satwa rawa Singkil yang dikuatirkan akan mengganggu kelestarian alam.

Dikatakan, tanpa mengesampingkan undang-undang lingkungan dan aspek kerusakan hutan. HMI melihat penyelamatkan jiwa dan masa depan masyarakat Buluhseuma jauh lebih penting, ketimbang menyelamatkan pohon dan binatang, tambahnya.(sup/ant)

Jangan Ada Kepentingan Kelompok

LSM Tanggapi Kelambanan APBA

Serambi Indonesia, 7 Mei 2008

BANDA ACEH - Kendati masa kerja tahun anggaran 2008 tinggal tujuh bulan lagi, namun pihak DPR Aceh belum juga mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun ini. Lambatnya pengesahan RAPBA 2008 itu disebabkan adanya penambahan program dan kegiatan yang berakibat defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun oleh kalangan dewan.
Karena itu, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak agar jangan ada kepentingan kelompok atau individu tertentu dalam pembahasan dan pengesahan RAPBA 2008. Sebab, belum disahkannya tahun ini menunjukkan semakin buruknya kinerja anggaran Pemerintah Aceh.
Keterlambatan pengesahan RAPBA 2008 bukan disebabkan karena faktor yang bersifat substantif, tapi terindikasi kuat karena hal-hal yang bersifat kepentingan kelompok atau individu anggota DPRA. Jadi, untuk mempercepat pengesahan RAPBA, maka kepentingan-kepentingan kelompok atau individu harus dihilangkan, kata Koordinator GeRAK Aceh, Akhiruddin Mahjuddin, menjawab Serambi, kemarin.

Indikasi itu, menurutnya, tercermin dari adanya beberapa kali penambahan usulan program atau kegiatan oleh panitia anggaran (panggar) legislatif. Pagu anggaran yang awalnya disepakati Rp 7,7 triliun mengalami revisi sebanyak dua kali, yakni Rp 8,069 triliun dan Rp 8,513 triliun.

Dikatakan, penambahan program bukan saja mengakibatkan terjadinya defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun, tapi juga berdampak pada semakin lamanya anggaran disahkan serta dapat dipastikan serapan anggaran akan makin kecil. Besarnya defisit anggaran menunjukkan orientasi anggaran kita pada inefisiensi dan pemborosan anggaran publik, apalagi jumlah tambahan program sebesar Rp 443,7 miliar terindikasi merupakan program titipan legislatif, jelas Akhiruddin.

Fenomena itu, lanjutnya, makin menunjukkan bahwa anggota DPRA lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan individu dari kepentingan masyarakat Aceh. Harusnya yang dewan lakukan adalah mencermati secara teliti usulan program SKPA dan kemudian direvisi sesuai kebutuhan masyarakat Aceh, bukan malah menambah program yang pada akhirnya mengakibatkan pemborosan anggaran, timpal putra Bugis yang jebolan Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.

Masa kerja yang hanya tinggal tujuh bulan lagi, sebut Akhiruddin, harusnya menjadi pertimbangan penting bagi DPRA untuk segera mengesahkan APBA 2008, bukan justru menambah usulan kegiatan. Padahal, keterlambatan pengesahan APBA 2008 akan berdampak pada terganggunya pelayanan publik serta pembangunan di Aceh.

Ia juga menjelaskan, anggaran yang seharusya dapat menstimulans sektor riil untuk memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh tidak dapat tercapai. Hal ini, katanya lagi, juga akan mengganggu tercapainya tujuan program Pemerintah Aceh untuk menekan angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kematian ibu dan bayi, angka gizi buruk, angka usia putus sekolah, serta tersedianya lapangan pekerjaan.

Kondisi ini, menurut Akhiruddin, juga akan mengakibatkan makin buruknya kualitas hidup masyarakat Aceh. Selain itu, keterlambatan pengesahan anggaran akan berdampak pada rendahnya kualitas proyek atau tidak sesuai dengan bestek, karena dikerjakan dengan tergesa-gesa. Dampak yang lain yaitu akan terjadi penunjukkan langsung pada pelaksanaan proyek yang pada akhirnya mendorong Pemerinthan Aceh ke dalam lubang korupsi dan kolusi, jelasnya.

Bahkan, tambah Akhiruddin, keterlambatan pengesahan mengakibatkan Aceh akan mendapat sanksi penundaan 25 persen Dana Alokasi Umum (DAU) serta pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK). Akumulasi akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan pengesahan APBA berakibat pada kerugian di pihak masyarakat Aceh. Kerugian masyarakat akibat kelalaian DPRA dan Pemerintah Aceh dapat dikategorikan sebagai kejahatan anggaran atau kejahatan kemanusiaan, katanya.

Karena itu, sambung Akhiruddun, GeRAK Aceh mendesak Pengesahan RAPBA 2008 demi kelancaran pelayanan publik dan pembangunan di Aceh, mengecam adanya tindakan yang menghambat pengesahan APBA 2008 dengan dalih masih banyak program yang perlu diusulkan, padahal usulan tersebut bukanlah mengakomodasi kepentingan rakyat, dan penambahan program dan kegiatan yang berakibat defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun adalah tidakan irasional yang dipertontokan kalangan DPRA.

Terjadi penyimpangan

Pernyataan senada juga diungkapkan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal kepada Serambi, Selasa (6/5). Menurutnya, bila RAPBA tahun ini tak segera disahkan, maka berbagai akibat harus ditanggung oleh masyarakat Aceh.

Di antara akibat itu, sebutnya, masyarakat Aceh takkan mendapatkan pelayanan dan hak-hak dasarnya yang seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintahan Aceh secepatnya. Ini adalah bagian dari pelanggaran hak-hak dasar rakyat. Apa pun alasannya, rakyat tetap tidak butuh yang muluk-muluk. Rakyat tak ingin lagi sebatas komitmen dan janji politik.

Bagaimana rakyat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah bila anggaran belum juga disahkan? Bagaimana rakyat dapat menikmati pendidikan yang baik bila RAPBA tak juga tuntas hingga hari ini, ujarnya seraya menyatakan masyarakat butuh bukti nyata komitmen legislatif dan eksekutif bertanggung jawab dalam mengelola anggaran yang mampu mensejahterakan rakyat.

Selain itu, lanjut Haikal, makin lambat RAPBA 2008 disahkan, maka makin besar pula peluang terjadinya penyimpangan pengelolaan anggaran hingga tumbuh suburnya korupsi di Aceh. Bagaimana mungkin waktu yang singkat, dapat mengelola anggaran sebesar 8 triliun lebih secara efektif dalam masa tujuh bulan. Karena itu, kami menghimbau agar semua pihak beritikad baik dalam percepatan pengesahan RAPBA 2008, harapnya.

Percepatan pengesahan RAPBA, kata Haikal lagi, merupakan bagian dari upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh dan DRPA serta kelanggengan perdamaian di Aceh. Bahkan, sebutnya, rakyat juga berpikir bagaimana percepatan RAPBA tahun ini mampu membangun Aceh yang adil dan tak menimbulkan kesenjangan pembangunan antardaerah di Aceh.

Karena itu, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh harus membuka mata hati, mata jiwa, perasaan, dan meninggalkan semua kepentingan politik dan golongan, sehingga tidak lahir kejahatan politik anggaran dalam RAPBA 2008, timpalnya.

Ia juga mengatakan, keterlambatan pengesahan RAPBA seakan menjadi pembenaran terhadap isu yang menyatakan adanya tarik-menarik kepentingan di antara para elite politik di Aceh. Rakyat berharap agar tarik-menarik kepentingan di balik terus molornya pengesahan RAPBA 2008 itu tidak digunakan untuk kepentingan partai politik sebagai persiapan pundi-pundi menjelang Pemilu 2009, tukas Haikal.

Agar kondisi seperti saat ini tak terulang lagi, tambah Haikal, untuk anggaran tahun depan ia sarankan agar adanya perencanaan pembangunan yang terintergrasi dilakukan bersama antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota yang dimotori oleh masing-masing bappeda. Sehingga, apabila ada daerah yang terlambat menyusun rencana pembangunan, dia akan malu pada kabupaten di sekitarnya, begitu juga sebaliknya dengan provinsi, pungkas TAF Haikal. (jal)

Komite Khusus Mulai Beraksi

Serambi Indonesia 04/05/2008

Akta Syariat dan FUPP Akan Diluncurkan`
BANDA ACEH - Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Aceh (KP2DTA), mulai melakukan aksi nyata untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah tertinggal di Aceh. Dalam waktu dekat, komite khusus bentukan Gubernur Irwandi Yusuf ini, akan meluncurkan dua buah formulir pendataan berpola syariah, yaitu Formulir Akta Diri Syariah (FADS) dan Formulir Usulan Percepatan Pembangunan (FUPP) bagi masyarakat di daerah tertinggal. Selain itu, komite ini juga sedang mencari tim pengarah dan para ahli untuk menjalankan program mereka.
Ketua KP2DTA, H Muhammad Iwan Gayo, di Meuligo Gubernuran Aceh, kepada Serambi Sabtu (3/5) mengatakan, peluncuran dua formulir ini merupakan agenda awal KP2DTA untuk menjalankan fungsinya dalam mendata daerah tertinggal, sesuai surat keputusan (SK) Pemerintah Aceh. Disamping itu, badan ini juga akan mengadakan klarifikasi data keuangan pada Departemen Percepatan Dearah Tertinggal Republik Indonesia, terkait dana yang akan dialokasikan bagi pembangunan daerah tertinggal.

Dikatakan, tahap awal yang dilakukan adalah mendata korban konflik, bencana alam, bencana sosial, penyandang cacat dan para jompo. Kemudian dilanjutkan dengan pendatan monografi daerah tertinggal dan Aceh pedalaman, termasuk kawasan tengah dan barat-selatan, Tamiang, dan Aceh Utara. Maka diperlukan sebuah data akurat berpola syariah yang akan menjadi referensi Pemerintah Aceh dalam menentukan arah kebijakan pembangunan maupun pemberian bantuan.

Untuk itu, badan ini membentuk dua formulir masing-masing, FADS dan FUPP. Formulir Syariah akan dibagikan kepada setiap warga korban konflik maupun korban bencana alam sebagai referensi data Pemerintah Aceh pada tahap-tahap selanjutnya. Sementara Formulir Usulan Pembangunan akan dibagikan kepada setiap kampung di kawsan tertinggal. Khusus untuk Akta Syariah, korban konflik diharuskan menyantumkan nama wali sesuai dengan pola syariah. Selanjutnya, akta bermaterai ini akan ditandatangani oleh gubernur dan para saksi yang terdiri dari empat elemen pemerintahan kampung masing-masing, kepala kampung, imum kampung, BPK kampung, dan tokoh masyarakat setempat.

Sedangkan Formulir Usulan Percepatan Pembangunan akan diberikan kepada setiap kepala kampung. Formulir ini juga akan diisi dan ditandatangani empat elemen kampung dan gubernur. Dalam formulir ini akan termaktub hal-hal yang perlu dibangun di daerah misalnya, sarana air bersih, transportasi, kesehatan dan pembangunan lainnya. Pada gilirannya, formulir ini akan mewakili hasil Musrenbang di tingkat kampung.

Iwan Gayo juga mengatakan, kepengurusan KP2DTA telah terbentuk, anggotanya terdiri dari lima orang, meliputi ketua wilayah barat-selatan, utara-timur, tengah dan pedalaman serta dua orang sekretaris.(gn)

Jelang Tugas Besar, Konsep Iwan Gayo Ngambang

Serambi Indonesia, 16/04/2008
BANDA ACEH - Iwan Gayo yang akan diberi tugas besar oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk memimpin Komite Khusus Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (KKP2DT) dinilai tidak memiliki konsep yang jelas. Padahal konsep dalam bentuk program dan strategi untuk menggenjot pembangunan di daerah tetinggal itu sangat diperlukan.Penilaian itu disampaikan oleh sejumlah tokoh yang menghadiri diskusi terbatas tentang konsep pembangunan daerah tertinggal di Sekretariat Forum LSM Aceh, Ulee Kareng, Selasa (15/4). Diskusi itu menghadirkan dua pembicara, masing-masing Iwan Gayo (calon Ketua KKP2DT) dan Azwar Abubakar (mantan Wagub Aceh).
Pesertanya, antara lain Dr Islahuddin (Pembantu Dekan I Unsyiah), Syaifuddin Bantasyam SH MA (dosen hukum Unsyiah), Islamuddin (Wakil Walikota Sabang), Ali Amin SE (dosen ekonomi Unsyiah), Muslamuddin Daud (staf Word Bank), De Roni, Fajran Zein, dan TAF Haikal (Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan).
Dalam pemaparannya, Iwan Gayo terlihat cenderung mengulas tentang keterbelakangan kawasan pedalaman wilayah tengah meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Menurutnya, kondisi ini terjadi akibat pemerintahan yang ada selama ini dinilai tidak memperhatikan wilayah tersebut, bahkan lebih memperhatikan wilayah pesisir.

Apakah kami bukan orang Aceh. Kok diperlakukan tidak adil seperti ini selama bertahun-tahun. Maka dengan ide cemerlang dari Gubernur Irwandi membentuk komite khusus ini, kita berharap pembangunan di daerah tertinggal bisa digenjot, katanya. Dalam pemaparannya, Iwan tidak menjelaskan bagaimana konsep dan strategi komite khusus yang akan dipimpinnya itu untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal di 23 kabupaten/kota di Aceh. Ia hanya mengatakan, kalau gubernur mempercayakan dirinya memimpin komite itu, pihaknya akan mengawali dengan melakukan pendataan jumlah orang miskin, catat, korban konflik dan bencana alam. Bila tidak ada data saya tidak mau bekerja, tapi kalau data itu sudah ada baru saya bekerja. Kita juga akan tempatkan petugas pendataan untuk setiap kecamatan satu orang di seluruh Aceh, katanya. Dengan nada memuji diri sendiri, Iwan Gayo juga mengatakan, soal pendataan dirinya sudah sangat berpengalaman. Selama satu setengah tahun saya kembali ke Aceh setelah 40 tahun berada di Jakarta, saya sudah mengelilingi seluruh Aceh. Kondisinya masih banyak daerah yang tertinggal dan ini memprihatinkan, katanya sembari mengakui sudah memiliki seluruh data tentang kondisi Aceh saat ini.

Tak jelas konsep

Hampir seluruh peserta mendukung pembentukan komite khusus ini, tetapi mereka sangat menyayangkan belum adanya konsep visi/misi dan strategi yang jelas. Ketika beberapa peserta bertanya mengenai konsep dan strategi yang akan dilakukan komite ini nantinya, Iwan Gayo tidak bisa memberi penjelasan yang konkret. Komite ini akan diberi tugas dan wewenang yang luas oleh gubernur nantinya, bahkan bupati pun boleh saya jewer kalau tidak becus bekerja, katanya.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal ketika menanggapi pernyataan Iwan Gayo mengatakan, sebenarnya pembentukan komite ini oleh gubernur sangat politis, karena ide ini digelindingkan untuk meredam gejolak tuntutan pemekaran dan suara ketidakadilan dalam pembangunan. Tetapi di sini bagaimana kita mainkan peran mengubah politis menjadi startegis. Sebenarnya komite tidak perlu menjewer bupati, tetapi harus mampu bekerjasama. Untuk soal data gunakan yang sudah ada di kabupaten/kota dan Bappeda, katanya.

Syaifuddin Bantsyam juga menyatakan sangat kecewa dengan pemaparan Iwan Gayo soal komite tersebut. Memang terlalu dini menilai komite yang akan dipimpin Iwan Gayo dapat bekerja baik atau tidak. Sebab publik tidak tahu visi dan misi kerja Iwan atau tim tersebut, katanya.

Lain lagi penilaian Dr Islahuddin. Menurutnya, komite ini memang sangat memungkinkan untuk dibentuk karena UUPA juga mengamanahkan. Soal anggaran tim ini bisa menggunakan dana otsus dan migas. Tetapi yang penting harus ada konsep yang jelas dulu, katanya.(sup)

Penyataan Sikap

Menanggapi Pernyataan Sekretaris Badan Pelaksana BRR NAD - NIAS
KAUKUS PANTAI BARAT SELATAN

Pernyataan Sekretaris Badan BRR NAD – NIAS, T Kamaruzzaman, yang disampaikan melalui media (Serambi, 18/4) terkait persoalan tuntutan dana rehabilitasi oleh masyarakat korban gempa dan tsunami dari berbagai daerah sama sekali tidak mencerminkan cara pandang yang bisa dijadikan pegangan solusi bagi masyarakat korban. Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR NAD – NIAS itu, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.
Siapa pun tahu bahwa BRR NAD – NIAS diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi baik di Aceh maupun di Nias. Dan, untuk yang terakhir ini, BRR NAD –NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR NAD – NIAS membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan.
Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR NAD – NIAS menempatkan sebuah persoalan. Atas nama pembangunan kembali Aceh pasca gempa dan tsunami, yang kemudian diikuti oleh usaha untuk mendukung perdamaian maka posisi BRR NAD – NIAS bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran. Bahkan, demi kepentingan pembangunan Aceh dan Nias BRR juga kerap mendapat dukungan baik dukungan kebijakan maupun dukungan anggaran negara atau anggaran hibah.
Jadi, menjadi sangat tidak cerdas manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan Pemerintah melalui Menteri Keuangan kala BRR NAD –NIAS sendiri sudah melakukan sebuah tindakan, yang kemudian dipandang sudah menceredai amanah korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial akibat kentaranya perbedaan dalam alokasi anggaran rehab yang sudah di bayar 15 jt dan korban yang akan di bayar 2,5 jt..
Alasan penurunan nilai rehab rumah dari 15 jt menjadi 2,5 jt, karena keterbatasan anggaran sangat bertolak belakang dengan kenyataan dilapangan. Dimana peruntukan dana BRR NAD-NIAS untuk kegiatan dan program yang tidak secara langsung berdampak pada korban tsunami, justru mendapakatkan anggaran yang sangat besar dan jelas-jelas tidak ada didalam Blueprit. Seperti pembangunan beberapa kantaor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, pembangunan kantor pajak di Pekalongan hasil temuan BPK dan terakhir sempat kita baca di media membeli senjata.

Menyangkut dengan rawannya situasi maka menjadi penting untuk mengembalikan pertanyaan menyangkut siapakah yang sudah menabur benih kerawanan sosial dan keguncangan politik di Aceh? Secara kasat mata bisa ditegaskan bahwa kebijakan BRR NAD – NIAS yang timpang dalam hal anggaran bantuan dana rehabilitasi rumah lah yang sudah menjadi faktor pemicu dari munculnya situasi rawan dan rumor di tengah masyarakat.
Disatu sisi, tingkat kesabaran masyarakat dalam menunggu keberpihakan BRR NAD – NIAS terhadap mereka dan disisi lain tingkat agresifitas BRR NAD – NIAS terhadap kelompok pengusaha dan negara yang kemudian bertemu dengan jadwal kerja BRR NAD – NIAS yang tidak lama lagi jelas memicu adrenalin korban untuk bertindak lebih agresif dalam melakukan tuntutan. Dalam situasi begini, maka sangat tidak bijak manakala rakyat korban senantiasa ditempatkan sebagai pihak yang bersalah, termasuk dengan membangun tudingan adanya ketidak jujuran dalam masyarakat hanya dengan mengemukan alasan banyaknya nama-nama yang tidak berhak tercantum dalam daftar penerima manfaat bantuan rehabilitasi perumahan.
Padahal, semua orang tahu bahwa pendataan calon penerima bantuan perumahan sepenuhnya dilindungi oleh kebijakan, aturan dan mekanisme yang kemudian didukung pula oleh anggaran negara yang dikelola oleh BRR NAD – NIAS itu sendiri, yang kemudian secara sangat berani mengumumkan nama-nama penerima bantuan dilebih satu media massa. Bahkan, hampir semua korban gempa dan tsunami juga tahu bahwa proses pendataan juga melibatkan perusahaan yang secara administrasi bisa dikatakan sudah sangat profesional dalam hal pendataan.
Kondisi ini jelas mencerminkan betapa BRR NAD – NIAS sedang menegaskan tentang dirinya sendiri bahwa pekerjaan yang mereka lakukan selama ini sama sekali bertolak belakang dengan citra diri yang dibangun sejak awal yakni sebagai lembaga dengan sumberdaya dan mitra kerja profesional plus memiliki kemampuan untuk berkerja ekstra demi percepatan pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana gempa dan tsunami.
Padahal, siapa pun paham bahwa logika pendataan senantiasa menyediakan pada dirinya tingkat eror yang dengan mekanisme tertentu bisa diatasi, termasuk dalam mengatasi tingkat kesalahan atau kekeliruan pendataan penerima bantuan rehabilitasi perumahan. Dengan demikian, logika adanya kecurangan dalam pendataaan dikaitkan dengan kebijakan menurunkan jumlah alokasi anggaran untuk rehabilitasi perumahan sama sekali tidak ada benang merahnya dan karena itu bisa dikatakan betapa logika itu hanya dipakai sebagai alat untuk mengalihkan rasionalitas korban dari tuntutan perubahan atau konsistensi kebijakan ke masalah pendataan. Dengan demikian, masyarakat korban sedang digiring untuk tidak lagi mempersoalkan kebijakan melainkan lebih mempersoalkan adanya anggota masyarakat yang sedang melakukan kecurangan di lingkungan mereka.
Soal penindakan terhadap staf yang mungkin melakukan manipulasi data menjadi tidak menarik lagi mengingat sejak awal BRR NAD – NIAS sudah kerap mempromosikan tentang fakta integritas namun selama periode kerja yang sudah dijalankan fakta integritas ini sama sekali tidak bisa memicu disiplin, kerja keras, dan profesionalitas dalam hal pengelolaan kelembagaan, sumberdaya, program, dan anggaran. Hampir setiap tahun angka penyerapan anggaran BRR NAD – Nias tidak cukup menggembirakan dan pada saat yang sama ragam persoalan mewarnai dinamika pengelolaan lembaga dan pelaksanaan program BRR NAD – NIAS.
Untuk itu semua, tidak ada pilihan lain apalagi memutar cara pandang, selain mendesak BRR NAD – NIAS, Pemerintah Daerah, DPR Propinsi, dan Masyarakat Korban untuk duduk bersama guna membangun kesepakatan untuk kembali kepada amanah Blueprint dan kesadaran yang dalam untuk senantiasa konsisten membantu korban gempa dan tsunami Aceh keluar dari penantian panjang yang sudah dilakukan masyarakat korban selama ini.
Banda Aceh


TAF Haikal
Jubir KPBS

KPBS Nilai BRR Semakin Curang

Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menilai kebijakan yang diambil Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, akhir-akhir semakin curang, dan tidak berpihakan pada korban. Padahal badan yang dipimpin Kuntoro tersebut seharusnya lebih mementingkan kepentingan korban tsunami dan gempa sebagai mana diamanahkan Perpres, malah hal itu diabaikan begitu saja. Buktinya sampai saat ini tuntutan korban tsunami untuk dana rehab rumah Rp 15 juta belum juga dipenuhi. Malah sebaliknya badan tersebut memperhatikan hal-hal yang di luar kepentingan korban bencana dan tidak ada dalam Blueprit seperti, pembangunan beberapa kantor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, ungkap TAF Haikal kepada Serambi, Sabtu (19/4).

Bukan itu saja, beber Haikal, untuk kegiatan pekan kebudayaan yang diberinama Diwana Cakradonya malah BRR memberi dana mencapai Rp 3 miliar. Sebenarnya kita tidak mempersoalkan hal seperti itu, kalau hak-hak korban terlebih dahulu dipenuhi. Karena itu tugas utamanya, maka kita nilai kebijakan yang diambil BRR yang dituntut korban tidak dipenuhi itu tindakan curang, ujar Haikal.

Namun yang lebih menyedihkan, katanya, pernyataan T Kamaruzzaman (sekretaris BRR Aceh-Nias) melalui media beberapa hari lalu yang dinilai tidak mencermin sebuah solusi menyangkut tuntutan korban stunami soal dana rehab rumah Rp 15 juta.
Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR itu, katanya, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.

Siapa pun tahu, lanjutnya, bahwa badan ini diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehab/rekon baik di Aceh dan Nias. Untuk yang terakhir ini, BRR NAD -NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan, katanya. Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR menempatkan sebuah persoalan. Maka posisi lembaga ini bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran, tandas Haikal.

Menjadi sangat tidak cerdas, lanjutnya, manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan. Karena disaat bersamaan BRR sendiri sudah melakukan sebuah tindakan yang dipandang telah mencederai korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial. Karena sebagai korban telah dibayar dana rehab rumah Rp 15 juta, sementara korban lain hanya diberiakn Rp 2,5 juta. Ini kan namanya buat konflik baru ditengah masyarakat,

Kalau kemudian BRR mempersoalan jumlah rumah korban yang harus mendapat dana rehab sangatlah banyak sehingga alasannya tidak cukup dana. Ini saya nilai sangat aneh, sebab untuk kepentingan yang di luar korban ada dananya. Maka saya tegaskan sekali lagi bahwa BRR memang semakin curang dalam melakukan tugasnya di Aceh.

KPBS nilai BRR tidak Responsif

Kaukus Pantai barat selatan (KPBS) mnendesak pemerintah Aceh, baik eksekutif maupu legislatif guna menyelesaikan persoalan tuntutan korban tsunami dan gempa soal dana rehab rumah sebesar 15 juta. Langkah strategis berupa pertemuan tripartit antara BRR, Gubernur danDPRA, perlu segera dilakukan guna mengambil sebuah keputusan konkrit tuntutan korban tersebut.

Juru bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KPBS), Tafhaikal kepad Serambi, (14/4/08) mengatakan, pihaknya menilai BRR tidak Responsif terhadap tuntutan korban yang belakngan ini nyaring disuarakan melalui aksi Demo ke kantor BRR itu.

Bahkan, ia menilai badan yang dipimpin Kuntoro tersebut terkesan melakukan pembiaran terkait tuntutan korban tersebut ‘ kalau tindakan ini terus dibiarkan tidak ada penyelasaian, kita khawatirkan akan menimbulkan persoalan baru di Aceh yang sedang menapak perdamaian”, karena itu, Haikal meminta Gubernur dan DPRA untuk segera mencari sebuah solusi dengan mengambil peran yang lebih besar atau berada dibarisan terdepan dalam menyelaikan permasalahan ini. “ saya kira solusinya untuk langkah pertama Gubernur dan dewan segera esak BRR untuk melakukan pertemuan tripartit yang melibatkan ketiga pihak ini”

Bahkan tidak tertutup kemungkinan aksi-aksi yang dilkukan para korban Tsunami itu untuk menuntut keadilan soal dana rehab rumah itu akan bermunculan berbagai spekulasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Apalagi aksi demo ke BRR yang dilakukan korban akan terus berlanjut, malah kabarnya dalam pekan ini, ratusan masyarakat dari barat selatan akan kembali melakukan aksi yang sama ke kantor BRRpusat du Lueng bata. “ Masyarakat sudah sangat menderita, janga diambah lagi beban pada mereka . tolong segera selesaikan permaslahan ini”.

Dari rentetan aksi demo yang dilakukan para korban selam ini yang menolak pembayaran dana rehab rumah sebesar Rp 2,5 juta, sudah memperlihatkan bukti kuat bahwa kebijakan BRR itu harus dirubah. Lihat saja, 1.500. masyarakat Aceh Singkil melakukan aksi demoke kantor BRR regional V, selasa (11/3/08). Kemudian aksi yang sma berlanjut di aceh barat, puluhan ibu-iburumah tangga mendatangi kantor BRR setempat. Terakhir ratusan warga barat –selatan melakukan aksi ke kantor pusat BRR di lueng bata, banda aceh, berlangsung selama lima hari yang dimulai hari jum’at (4/408) lalu.

“Tetapi ternyata BRR tetap bersikeras dengan kebijakan itu, dan ini sanagt disayangkan. Pada hal dana di BRR masih sangat besar dan memungkinkan tuntutan yang disuarakan korban bisa dipenuhi.

Irwandi Kapan Ke Gampong Kami...

Yahya harus menerabas hutan dua sampai tiga jam perjalanan untuk menjejak Sinabang, ibukota Kab. Simeulue. Dia datang dari Ujung Harapan, Kec. Sibigo Barat sekira 90 kilometer dari ibu kota daerah itu. Kawasan yang kerap digelitik gempa ini memang lebih jauh dibanding Bireuen. "Sudah dua malam di sini, ada urusan sedikit," jawabnya ketika bincang di losmen di Sinabang, Selasa kemarin. "Begitu selesai, saya langsung pulang," Yahya menimpali. Tentu, Yahya kembali ke daerah yang jauh dari informasi dan minim pembangunan.
Bicara soal Sibigo, lulusan SMA Sinabang ini lebih bersemangat, meski bukan dengan spirit 1873. "Dari 14 desa baru lima yang sudah dialiri listrik," katanya. Listrik memang masalah klasik. Pasalnya bukan cuma Sibigo, Banda Aceh saja yang berada di ibukota provinsi juga tak pernah cukup arusnya. Selain soal listrik, soal rumah juga menarik. Banyak bantuan yang diberikan untuk warga di sana bermutu jelek. Tak heran, ketika gempa Rabu 20 Februari silam, semua bergoyang dan ambruk. "Sekarang tiang pancangnya saja yang tersisa," kata dia. Menilik dari cerita Yahya, kalau bicara Sibigo sama dengan mendengar cerita kemiskinan. Miskin acap diidentikkan dengan kekurangan, baik itu pembangunan, fasilitas kesehatan maupun pendidikan. "Jalan ke sana enggak bagus," kata Yahya lagi.
Gara-gara urusan transport itulah, yang kerap membuat Yahya dongkol bin jengkel. "Kalau jalan bagus, waktu tempuhnya bisa lebih singkat lagi," ujar dia. Jalan memang tidak berpihak kepada warga yang jauh tertinggal. Yahya dan ribuan warga Sibigo lainnya harus menempuh dua, tiga bahkan bisa sampai empat jam perjalanan untuk berjejak ke ibukota Ate Fulawan. Bagi warga Banda Aceh, jarak tempuh itu, bisa mencapai Ulim di Pidie Jaya dan Bireuen di bawah aspal hotmix. Tanpa maksud melecehkan, iseng-iseng saya bertanya pada Yahya yang lebih muda. "Kamu kenal dengan wajah Gubernur Aceh?" Dia diam. "Tahu namanya siapa?" Yahya juga diam. Lama dia berpikir. "Ya, kurasa dia," katanya dengan senyum pahit, setelah saya menyebutkan nama Irwandi Yusuf. Irwandi yang berduet dengan Nazar menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Keduanya pemenang Pilkada 11 Desember 2006. "Pernah datang waktu gempa," ucap dia kemudian. Irwandi, mantan propagandis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelahiran Bireuen 2 Agustus 1960. Dia ini ahli strategi organisasi itu. Sedang Muhammad Nazar mencuat saat Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR). Pria kelahiran Ulim, Pidie 1 Juli 1973 ini sebagai ketua presidium. Yahya pasti tak pernah mimpi, kalau suatu saat pemimpin Aceh muncul dari pelosok Sibigo, kampungnya. Kalau itu menjadi nyata, sudah pasti imbas akan mereka terima. Minimal, kalau tidak sepekan sekali, sebulan sekali pasti akan singgah ke Sibigo. Begitu juga dengan Danil, seorang warga di pulau penghasil Lobster. "Jarang sekali pemimpin daerah berkunjung ke kampung kami. Kalau pun ada itu pasti karena akibat tertentu, bencana misalnya," kisahnya.
Karena itu, sudah pasti Yahya dan Danil dan warga di Simeulue lainnya iri dengan warga Bireuen dan sekitarnya. Bagaimana tidak, hampir tiap pekan, gubernur bertandang ke sana, baik dalam Urusan kunjungan kerja bin dinas maupun tidak.

Mengingat kunker itu, ucapan TAF Haikal, seorang aktivis asal pesisir barat melintas di telinga. "Coba tanya berapa kali Irwandi pernah berkunjung ke pantai barat selatan," tanya dia ketika itu. "Kalau pun pernah datang, masih bisa dihitung dengan jari."

Suara Haikal, Yahya dan Danil sudah pasti mencerminkan 'jeritan hati' warga Aceh lain di kawasan pedalaman Aceh dan Pesisir Barat Selatan. Tentu saja, mereka tidak minta job apalagi proyek. Mereka hanya berharap proyek pembangunan juga digulirkan ke sana. Itu saja!.

Munawardi Ismail (ags)

Pernyataan Sikap

KAUKUS PANTAI BARAT - SELATAN

Sehubungan dengan respons cepat Kepala BRR NAD dan Nias dalam menanggani persoalan yang terjadi di BRR Regional IV kami Kaukus Pantai Barat – Selatan menyampaikan penghargaan dan menghargai langkah koordinasi dengan pemerintah daerah dalam usaha pemecahan masalah. Ini contoh teladan yang mesti terus dipraktekkan dalam proses percepatan pembangunan akibat gempa dan tsunami terutama di wilayah pantai barat – selatan.

Kaukus Pantai Barat – Selatan penting untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa kawasan pantai barat – selatan adalah salah satu kawasan yang harus mendapat prioritas dalam percepatan pemulihan pasca bencana alam. Hal ini mengingat daya rusak gempa dan tsunami begitu dasyat menimpa sejumlah daerah di kawasan yang sejak dulu senantiasa kerap menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh.

Kepada BRR NAD dan Nias yang saat ini sedang mempersiapkan Rencana Aksi 2008 – 2009 diminta untuk lebih memperhatikan wilayah rusakan akibat gempa dan tsunami dan tidak boleh lagi menjadikan kesulitan medan sebagai alasan untuk tidak mengagendakan rehabilitasi dan rekontruksi secara signifikan.

Untuk itu, mengingat peran BRR Regional IV sangat staregis maka walau pun penetapan atau penunjukan Kepala Perwakilan BRR Regional IV yang baru menjadi hak preogratif Kepala Badan tetap penting membuka konsultasi dan koordinasi dengan Kepala Daerah di wilayah kerja regional IV. Bagaimana pun, Kepala Daerah di wilayah regional IV adalah mitra utama dan sekaligus juga karena BRR mengemban amanat bagi pemberdayaan pemerintah daerah, yang menjadi salah satu alasan mengapa BRR NAD dan Nias perlu dibentuk dalam kaitannya pemulihan Aceh.

Wassalam
Banda Aceh, 30 Juli 2007

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan


TAF HAIKAL

Pernyataan Sikap, Menyangkut Kisruh di BRR Regional IV

PERNYATAAN SIKAP
KAUKUS PANTAI BARAT- SELATAN
Menyangkut Kisruh di BRR Regional IV

Pantai Barat – Selatan adalah salah satu wilayah yang sangat parah terkena dampak gempa dan tsunami, 26 Desember 2004 dan diantara nya terdapat empat wilayah yang menjadi tanggung jawab BRR - Regional IV melakukan percepatan pembangunan pasca gempa dan tsunami. Daerah dimaksud adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat daya, dan Simeulu.

Disadari bahwa regionalisasi merupakan strategi yang dperuntukkan bagi percepatan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi, sekaligus sebagai langkah untuk mendekatkan posisi BRR dengan stakeholder utama yakni masyarakat korban gempa dan tsunami serta sebagai upaya membangun kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah. Semangat partisipasi yang sinergis ini mengharuskan BRR lebih pada posisi fasilitator dan katalisator ketimbang sebagai eksekutor dalam pengertian yang sempit.

Pernyataan tersebut penting kami sampaikan dan sudah sering dinyatakan oleh berbagai elemen di wilayah kerja BRR-Regional IV. Sebuah pernyataan yang jika tidak diperhatikan akan berdampak pada terbangunnya ketegangan, ketidakserasian, dan benturan. Dan, disepanjang pencermatan kami BRR Regional IV lebih banyak berorientasi hasil dan mengabaikan proses dan kerap mempertontonkan bahwa BRR lah sebagai lembaga superbody yang bisa mengatur segala sesuatu dengan anggaran yang besar. Suatu pendekatan yang diprediksikan bisa melahirkan kisruh dan konflk.

Terbukti, sejumlah kritik ditujukan kepada BRR Regional IV. Sejumlah pihak mencibir posisi arogansi BRR Regional IV yang diperlihatkan secara personal oleh Kepala Perwakilannya, dan terakhir beberapa pimpinan daerah dilingkungan regional IV ikut mengalami stagnan komunikasi dan koordinasi dengan pihak BRR Regional IV. Dan, pada akhirnya, sejumlah staf dilingkungan Satuan Kerja BRR Regional IV melayangkan surat mosi tidak percaya terhadap Kepala Perwakilan BRR Regional IV.

Berdasarkan kenyataan tersebut kami KAUKUS PANTAI BARAT – SELATAN menyatakan dan menuntut sebagai berikut:

1.Menyesali kelambatan pihak BRR dalam mencermati gejala-gejala negatif yang terjadi di BRR Regional IV dan terlalu terlena terhadap laporan keberhasilan secara sepihak tanpa memperhatikan substansi dari apa yang dilakukan termasuk luka sosial-budaya yang dialami oleh masyarakat dan pemerintah daerah akibat pola arogansi kepemimpinan pihak BRR Regional IV.
2.Mendesak pemimpin di lingkungan BRR untuk segera menanggani persoalan yang terjadi akibat mosi tidak percaya dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh makna kepentingan masyarakat korban gempa dan tsunami termasuk makna koordinasi yang pada akhirnya berujung pada peralihan tugas pasca akhir masa tugas BRR, yakni tahun 2009.
3.Jika sekiranya posisi strategis kebijakan dan keuangan BRR yang seharusnya bisa dimaksimalkan bagi pemulihan wilayah pantai barat namun yang terjadi justru membangun kisruh secara sosial dan retak secara politik maka Kaukus Pantai Barat Selatan memandang posisi kekinian BRR di wilayah regional IV khususnya tidak lagi menjadi strategis dan solutif. Untuk itu, kami mendesak kepada Kepala Daerah dalam lingkungan regional IV untuk meninjau ulang keberadaan BRR dan membangun pengertian kepada masyarakat bahwa bersabar dalam anggaran yang kecil lebih mungkin daripada bersabar dalam kepungan anggaran yang besar tapi berujung pada munculnya konflik.

4. Untuk menjamin adanya ketegasan sikap kami mendorong seluruh Bupati dalam lingkungan wilayah regional IV untuk segera melakukan pertemuan guna memastikan langkah-langkah yang menjamin penyelesaian masalah secara baik dan cepat.

Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan secara terbuka dan berharap kepada semua pihak untuk dapat mengambil pelajaran berharga bahwa pembangunan adalah sebuah proses yang mempertimbangkan peran semua pihak.

Wassalam
Banda Aceh, 25 Juli 2007

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan


TAF HAIKAL

Berita seputar KPBS

Serambi Indonesia, Selasa 06 November 2007
Jubir Kaukus Pantai Barat-Selatan: Pemerintah dan BRR tak Serius
BANDA ACEH - Pemerintah dinilai tak begitu serius menangani pembangunan kembali jalan Banda Aceh-Meulaboh yang luluh lantak akibat bencana tsunami akhir tahun 2004. Buktinya, sudah hampir tiga tahun jalan yang menjadi urat nadi masyarakat pantai barat-selatan Aceh itu belum juga rampung dikerjakan. Bahkan, soal pembebasan tanahnya saja pun sampai hari ini belum tuntas dilakukan.
“Saya melihat pemerintah, baik Pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat melalui BRR, seperti tak memiliki rasa kepedulian terhadap masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Juru Bicara (Jubir) Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal kepada Serambi, Senin (5/11) ketika ditanyai pendapatnya soal pembangunan jalan Banda Aceh-Meulaboh yang prosesnya belum begitu menggembirakan.

Menurut Haikal, kalau pemerintah serius menangani proses pembangunan kembali sarana perhubungan darat ini, mungkin proses pembebasan tanah sudah tuntas dilakukan sejak dulu. “Tapi kenyataannya sampai hari ini belum selesai. Mana janji Kepala Pemerintahan Aceh yang mengatakan akan mempercepat proses pembebasan tanah itu,” ujarnya.
= = = = = = = = = = =

dpra.nad.go.id
Banda Aceh, 15 Pebruari 2008 Sekelompok tokoh dan masyarakat yg bergabung dalam Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menghadap DPRA untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi sehubungan dengan pembahasan PPAS RAPBA Tahun 2008. Pertemuan yang digelar di Ruang Serba Guna DPRA dihadiri Ketua DPRA H, Sayed Fuad Zakaria, SE, Wakil Ketua DPRA H. Raihan Iskandar, Lc serta sejumlah anggota Dewan.
Juru bicara KPBS, TAF Haikal mengatakan dalam PPAS RAPBA tahun 2008 masih terlihat adanya ketidak berpihakan pemerintah ke wilayah pantai Barat-Selatan, ini terlihat dari dana regular dan Otsus yang dikelola provinsi tidak adil dalam pembagiannya.. Anggaran yang lumayan besar diperoleh Aceh tahun ini diharapkan tidak melahirkan konflik baru, melainkan harus menjadi solusi dalam membangun Aceh Baru.
Selain itu, KPBS ini membeberkan sejumlah bukti bahwa jumlah anggaran yang dikucurkan ke Bireuen relatif lebih besar daripada berbagai Kabupaten / Kota di pantai barat selatan Aceh. Para wakil KPBS juga meminta DPRA untuk menolak pembahasan PPAS dengan eksekutif apabila alokasi anggarannya tidak adil secara proporsional.
Sejumlah anggota Dewan yang hadir dalam pertemuan itu sepakat untuk menolak ikut dalam pembahasan PPAS apabila pihak eksekutif tidak adil dalam pengalokasian anggaran dengan melihat indicator keterbelakangan daerah, luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan dan hal lainnya.
Pertemuan yang berlangsung hampir 2 ( dua ) jam itu berakhir dengan harapan segala aspirasi dari sekelompok tokoh dan masyarakat Kaukus Pantai Barat-Selatan kepada Dewan bisa berguna dalam mambangun Aceh Baru


WASPADA Online 31 Juli 2007
Kaukus Pantai Barat-Selatan, mengingatkan semua pihak, terutama pemerintah Aceh untuk mempercepat pembangunan di
kawasan itu. Mereka minta agar kawasan itu tidak menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh.Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada Waspada, Selasa (31/7) mengatakan, pihaknya hanya mengingatkan kembali kepada semua pihak, kawasan pantai barat–selatan, salah satu kawasan yang harus mendapat prioritas dalam percepatan pemulihan pasca bencana alam.
"Ini mengingat daya rusak gempa dan tsunami begitu dahsyat menimpa sejumlah daerah di kawasan Pantai Barat Selatan. Apalagi daerah ini sejak dulu senantiasa kerap menjadi anak tiri dalam pembangunan Aceh," tukas mantan Direktur Forum
LSM Aceh ini. Kata dia, kepada BRR Aceh-Nias yang saat ini sedang mempersiapkan Rencana Aksi 2008–2009, Kaukus meminta untuk
lebih memperhatikan wilayah yang rusak akibat gempa dan tsunami. "Tak boleh ada lagi alasan medan, sehingga tidak engaggendakan rehabilitasi dan rekonstruksi secara signifikan," sebut dia. erkait dengan proses rekonstruksi yang dilakukan BRR Aceh-Nias, kaukus, kata Haikal, menyampaikan penghargaan dan menghargai langkah koordinasi dengan pemerintah daerah dalam usaha pemecahan masalah-masalah pembangunan di sana."Ini contoh teladan yang mesti terus dipraktekkan dalam proses percepatan pembangunan akibat gempa dan tsunami
terutama di wilayah pantai barat – selatan," puji Haikal.Untuk itu, lanjut dia, mengingat peran BRR Regional IV sangat strategis maka walau pun penetapan atau penurunan Kepala Perwakilan BRR Regional IV yang baru menjadi hak prerogratif Kepala Badan tetap penting membuka konsultasi dan koordinasi dengan Kepala Daerah di wilayah kerja regional IV. "Bagaimanapun, Kepala Daerah di wilayah regional IV adalah mitra utama dan sekaligus juga karena BRR mengemban
amanat bagi pemberdayaan pemerintah daerah, yang menjadi salah satu alasan mengapa BRR Aceh –Nias, perlu dibentuk dalam kaitannya pemulihan Aceh," katanya.

= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Harian Aceh
Selasa, 25 maret 2008 Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Pantai Barat Selatan, Senin (24/3), berdemo di kantor Gubernur Aceh dan DPRA. Mereka menuntut pemerintah dan pihak dewan memprioritaskan pembangunan di Kawasan Pantai Barat Selatan.
“Kami hanya meminta keadilan pembangunan di wilayah Barat Selatan yang selama ini seperti dianaktirikan. Kami bukan meminta pemekaran, bukan untuk memisahkan diri dari Aceh,” kata Idris, koordinator aksi, sambil meneriak yel-yel Irwandi bukan milik segelintir rakyat Aceh, tetapi juga milik warga Pantai Barat Selatan.
Disebutkannya, sejumlah pembangunan di daerah itu terbengkalai. “Pembebasan tanah masyarakat untuk pembangunan jalan di Calang Aceh Jaya juga sampai saat ini belum selesai seperti dijanjikan gubernur akan selesai akhir Maret ini,” sebutnya.
Dia juga meminta Gubernur Irwandi Yusuf, yang saat itu berada di gedung DPRA, untuk menjumpai pendemo yang menunggunya di teras kantor gubernur.
Kepala Biro Umum dan Protokoler Setdaprov, Zahrul Munzir, akhirnya menjemput gubernur dengan kijang Inova warna biro bernopol BL 234 AM sekitar pukul 12.10 WIB. Selang lima belas, Zahrul kembali ke kantor gubernur dan membawa kabar bahwa gubernur menunggu mahasiswa di gedung dewan. Mahasiswa langsung bergerak dengan tertib ke gedung DPR Aceh sekitar pukul 12.30
Di hadapan Gubernur Irwandi dan Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria, para pendemo meminta Pemerintah Aceh harus tegas memberantas korupsi, mengevaluasi kinerja BRR Aceh-Nias serta konsekuen terhadap keadilan anggaran pembangunan untuk kawasan Pantai Barat Selatan.
Porsi Terbesar
Gubernur Irwandi yang dikritik pendemo terhadap belum adanya keadilan anggaran dalam pembangunan Pantai Barat Selatan, menampik dan menjelaskan bahwa anggapan itu keliru. “Anggaran pembangunan untuk tahun ini porsi terbesar malah diterima oleh daerah-daerah di kawasan Pantai Barat Selatan,” katanya.
Gubernur juga mengatakan kantong-kantong kemiskinan di Aceh saat ini bukan berada di kawasan Barat Selatan, tetapi di kawasan Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie dan Aceh Besar. “Jadi, sangat disayangkan jika ada pernyataan yang mengungkapkan fakta kemiskinan dan pemerataan pembangunan tidak menyentuh kawasan Pantai Barat Selatan,” sebut Irwandi.
Disebutkan, saat demo berlangsung, DPR Aceh juga sedang membahas anggaran yang salah satunya membicarakan porsi terbesar anggaran untuk pembangunan daerah-daerah di Pantai Barat Selatan.
Sementara Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria, mengatakan prinsip proporsional dan adil tetap dewan pikirkan dalam pembangunan kawasan Pantai Barat Selatan. “Tidak mungkin sama besarnya anggaran antara Sabang dengan Aceh Timur atau Sabang dengan Abdya,” katanya.
Karena, lanjutnya, kalau disamaratakan maka prinsip keadilan sesuai potensi daerah tidak akan terpenuhi dan sangat rancu. “Jadi, harus dilihat dari berbagai faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, potensi daerah, tingkat kemiskinan dan indikator pembangunan lainnya,” jelas Sayed.
Tekan Komitmen
Di akhir orasi dengan gubernur dan Ketua DPR Aceh, para pendemo meminta anggota DPRA asal Pantai Barat Selatan untuk hadir dan menandatangani komitmen bersama untuk menyatakan sikap menolak dan mengundurkan diri sebagai anggota dewan bila anggaran yang diplokan ke daerah itu belum adil dan tidak proporsional.
Sampai aksi itu berakhir, hanya Tgk. Harmen Nuriqmar (Fraksi PBR), Abdullah Saleh, dan Mohariadi (Fraksi PKS), tiga anggota dewan dari Kaukus Pantai Barat Selatan yang menandatangani komitmen tersebut