Lintas Banda Aceh-Calang Lumpuh Akibat Longsor

Arus transportasi Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Jaya, melalui Ligan kembali lumpuh akibat ruas jalan di pengunungan Panteu Ligan Kabupaten Aceh Jaya tertimbun longsor sepanjang 50 meter.

“Kami sudah terjebak longsor di hutan ini sejak Minggu (30/11). Kami harap ada bantuan alat berat agar bisa terbebas dari lumpur,” kata seorang supir truk tronton, Jufri (32) di Ligan, Aceh Jaya, Selasa.

Akibat longsor di beberapa titik di sepanjang pengunungan tersebut, arus lalu lintas dari Banda Aceh-Calang hanya dapat dilewati melalui jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah dengan menggunakan rakit penyeberangan.

Jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah hanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan roda dua dan mobil berukuran kecil.

Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang terjebak longsor sejak Minggu (7/12) mengaku prihatin kondisi jalan utama menuju daerah delapan kabupaten/kota pantai barat selatan Aceh.

“Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah setempat seharusnya tanggap dengan kondisi jalan yang kritis akibat longsor dan banjir. Pemerintah terkesan lamban menanganinya,” kata Haikal.

Ia meminta pihak terkait mensiagakan alat berat di lokasi-lokasi yang rentan bencana longsor dan banjir agar arus barang dan manusia ke wilayah tersebut bisa lancar.

Sementara itu, tokoh masyarakat Ligan, T Saudi mengatakan longsoran yang terjadi di sepanjang gunung Panteu sudah berlangsung hampir tiga bulan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan diperbaik

sumber: ANTARA News, edisi Sabtu (9 Oktober 2010)

KPBS Dukung Sikap Tegas USAID

Aceh Jaya BANDA ACEH - Ancaman USAID (United States Agency for International Development) akan menyetop proyek section IV--lintas Banda Aceh-Calang--jika di lapangan masih terjadi masalah seperti pemagaran jalan dan berbagai gangguan lainnya didukung oleh berbagai kalangan, termasuk Kaukus Pantai Barat-Selatan (KBPS).

“Kami berharap tidak ada lagi barikade atau pemagaran jalan saat proyek section empat kita lanjutkan pembangunannya bulan ini. Jika masih tetap ada, pekerjaannya akan langsung kami hentikan. Karena itu, kami minta pemerintah daerah mengecek kembali apakah masih ada tanah di lokasi pembangunan jalan yang bermasalah atau tidak,” kata Tim Leader USAID untuk Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang, Roy R Ventura Jr PE.

Penegasan itu disampaikan Roy dalam pertemuan dengan para keuchik, imum mukim, tokoh masyarakat, dan tokoh agama se-Kecamatan Jaya, KPA, dan Unsur Muspika Jaya di Kantor Parsons-USAID Lamno di Desa Leupee, Kecamatan Jaya, Selasa (5/12).

Menanggapi ancama tersebut, Juru Bicara KBPS, TAF Haikal menyatakan dukungan dan memberikan apresiasi kepada pihak USAID yang telah berani bersikap tegas. “Ini respons yang sangat tepat dari pihak USAID agar pembangunan untuk kepentingan rakyat tidak terganggu,” kata Haikal.

Menurut Haikal, masyarakat kawasan barat-selatan Aceh, seperti Aceh Jaya, Aceh Barat Barat, Nagan Raya, Abdya, Abdya, Aceh Selatan, Simeulue, Subulussalam, dan Singkil sudah cukup bersabar. “Masyarakat menunggu ketegasan pemerintah. Jangan sampai pemerintah dilecehkan dikarenakan beberapa kelompok yang mengklaim kepemilikan tanah atau siapapun yang menghambat pembangunan jalan tersebut,” tegas Haikal.

KBPS melihat solusi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan Aceh Jaya adalah dengan membangun dialog dengan masyarakat. Jika hal ini juga tidak menemui kata sepakat, maka jalur hukum menjadi alternatif.

Bentuk terorisme
Haikal mengatakan, jika berbagai upaya mediasi dengan jalan damai sudah dilakukan oleh Pemerintah Aceh, maka jika nantinya masih ada juga pihak yang menghambat pembangunan jalan tersebut, hal itu merupakan bentuk terorisme gaya baru.

KBPS juga mengimbau kepada seluruh komponen, termasuk pihak keamanan untuk mengambil sikap tegas apabila masih ditemukan hambatan nonteknis di lapangan. “Jangan sampai ada pihak-pihak yang mengambil untung dari situasi seperti ini,” demikian Juru Bicara KBPS.(nas)

sumber: Serambi Indonesia
edisi Kamis 7 Oktober 2010

Penilaian Akademisi dan LSM: Rapor Kinerja DPRA Merah

BANDA ACEH - Kalangan akademisi, mahasiswa, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai, kinerja anggota dan Pimpinan DPRA periode 2009-2014--pascasetahun dilantik--ternyata belum memberikan kinerja yang baik untuk rakyat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Akademisi mengklaim, kinerja tahun pertama DPRA masih mengecewakan, sementara pegiat LSM menilai rapornya masih merah atau pontennya paling banter baru mencapai 5.

Sementara itu, puluhan mahasiswa Unsyiah, Kamis (30/9) siang, menyambangi Gedung DPRA di Jalan Tgk Daud Beureueh, Banda Aceh. Kedatangan mereka untuk mempertanyakan kinerja DPRA yang dinilai lamban. Soalnya, sudah setahun memangku amanah rakyat Aceh, tapi mereka belum mampu mewujudkan banyak hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat.

Dalam orasi bergantian yang dimulai pukul 11.30 WIB itu, para pengunjuk rasa mengkritisi kinerja tahun pertama DPRA masa bakti 2009-2014. Seharusnya, sebut pengunjuk rasa, anggota legislatif itu lebih produktif, sehingga menghasilkan banyak hal yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat Aceh.

“Tapi, kenyataannya kinerja DPRA malah terkesan mandul,” tuding seorang demonstran. Para demonstran yang mengenakan jaket almamaternya itu, silih berganti berorasi. Kedatangan mereka akhirnya disambut Abdullah Saleh SH, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh. Setelah demonstran membacakan apa yang menjadi tuntutan mereka, Abdullah Saleh sempat memberi penjelasan. Tapi, saat sebuah paket kado yang berisi potongan kertas tentang janji politik yang pernah diutarakan para anggota dewan itu akan diserahkan, Abdullah Saleh langsung berlalu, meninggalkan para pengunjuk rasa.

Presiden Mahasiswa (PEMA) Unsyiah, Alfiyan Muhiddin menyebutkan, banyak harapan rakyat kepada anggota dewan baru ini. Bahkan rakyat menanti gebrakan para anggota dewan untuk mempercepat pembangunan Aceh. Tapi apa kenyataannya, semua ucapan itu cukup terlontar dalam janji-janji politik saja.

Menurutnya, tak ada perubahan signifikan yang tampak selama anggota legislatif itu dipercayakan menjadi lembaga pengontrol dan pengawas Pemerintah Aceh. Bahkan setiap ada permasalahan yang melibatkan eksekutif, DPRA dinilai hanya mampu menyuarakan di belakang, tanpa ada upaya konkret. “Belum lagi masalah SKPA yang tak kunjung selesai, dana abadi pendidikan yang tak tahu di mana. Bahkan banyak kasus korupsi yang melibatkan para eksekutif. Semua itu tak ada penyelesaiannya,” sebut Alfiyan.

Sorotan tentang kinerja DPRA juga disampaikan dosen Fakultas Hukum dan Fisipol Unsyiah, Saifuddin Bantasyam SH MA. Saat dimintai Serambi tanggapannya kemarin, Saifuddin menilai kinerja tahun pertama DPRA pontennya belum baik dan masih mengecewakan masyarakat, khususnya para konstituen.

Menurut Saifuddin, anggota dan Pimpinan DPRA menjelang genap setahun masa kerjanya sebagai anggota legislatif, bukannya menunjukkan prestasi kerja yang baik kepada publik, tapi malah mempertontonkan ketidakharmonisan antara anggota dan pimpinan dewan kepada publik melalui media massa.

Anggota dan Pimpinan DPRA saling menyalahkan dalam hal keterlambatan pembahasan lanjutan dan pengesahaan KUA dan PPAS RAPBA 2011, APBA-P 2010, dan LKPJ Gubernur 2009. Masalah internal dewan, menurut Saifuddin, seharusnya diselesaikan secara internal dengan arif dalam rapat Banmus dan penyelesaiannya diharapkan bisa mendorong kinerja dewan menjadi lebih baik lagi.

Selanjutnya, pihak legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, kata Saifuddin, jangan mencari-cari kesalahan eksekutif dan sebaliknya. Kalau fenomena seperti itu terus terjadi, kata Saifuddin, maka yang sangat dirugikan adalah rakyat. Dana migas dan otsus yang diterima mencapai 4-5 triliunan rupiah/tahun, akhirnya nanti tidak akan memberikan nilai tambah apa-apa untuk perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Hal ini karena, eksekutif dan legislatif tidak mampu menghasilkan program pembangunan yang bisa meningkatkan taraf hidup rakyat dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Yang diinginkan rakyat Aceh dari para pejabat eksekutif dan legislatif, menurut dosen Fisipol Unsyiah ini, adalah perbaikan taraf hidup, kenyamaman, dan ketenangan agar bisa hidup bahagia. Ini menjadi tugas para pejabat eksekutif bersama legislatif, untuk membahagiakan rakyatnya. Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi (FE) Unsyiah, Ali Amin SE MSi dalam acara evaluasi dan doa satu tahun masa kerja DPRA periode 2009-2011 yang dilaksanakan GeRAK Aceh di kantornya kemarin mengatakan, untuk mengevaluasi kinerja DPRA bisa dlihat dari tiga aspek. Yaitu aspek hukum, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), dan sense of crisis atau kepedulian dewan terhadap kondisi masyarakat Aceh.

Contohnya, ungkap Ali Amin, selama setahun bekerja, DPRA baru menghasilkan sebuah qanun, yakni Qanun tentang APBA 2010. Kalau ini yang dihasilkan, kinerjanya jelas belum terlihat, karena ini merupakan tugas rutin yang harus dilaksanakan legislatif dan eksekutif. Dewan baru dinilai berprestasi, jika dalam satu tahun menargetkan akan menyelesaikan 21 qanun. “Dari yang ditargetkan itu bila dapat diselesaikan seluruhnya atau lebih, itu baru dikatakan dewan berkinerja baik atau berprestasi di bidang legislasi,” kata putra Aceh Singkil ini.

Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudarman secara terpisah kepada Serambi juga menyatakan keprihatinannya terhadap kinerja DPRA periode 2009-2014. “Kalau saya lihat, cukup memprihatinkan. Sebab, sudah setahun berjalan periode dewan sekarang, tapi hanya satu qanun yang dihasilkan, yakni Qanun tentang APBA 2010. Ini kan tergolong qanun fardhu kifayah,” katanya.

Sudarman menambahkan, dari segi fungsi dan tugasnya sebagai legislatif, keberadaan anggota dewan yang tanpa prestasi, sementara gaji terus dibayar, jelas merugikan rakyat Aceh. “Kalau saya anggota dewan, sudah saya kembalikan gaji yang saya terima. Itu tindakan minimal. Kalau tindakan yang radikalnya, ya mundur,” ujar Sudarman.

Ia berharap, kinerja yang jeblok pada tahun pertama ini harus dijadikan bahan renungan untuk melakukan memperbaiki di masa mendatang. “Kalau ke depan juga tidak terjadi perubahan, saya kira, lebih baik tinggalkan saja gedung dewan itu dan jadi rakyat biasa kembali,” imbuh Sudarman.

Masih merah
TAF Haikal dari Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) dan Teuku Ardiansyah dari Aksara Strategi Institute menilai, rapor kinerja tahun pertama DPRA periode 2009-2014 masih merah. Hal ini tidak hanya ditandai sejak dilantik 30 September 2009 sampai 30 September 2010, mereka baru menghasilkan sebuah qanun, tapi dapat pula dilihat secara menyeluruh dari tiga fungsi anggota legislatif itu yang nilainya baru mencapai 5. Ketiga fungsi itu adalah legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Misalnya, dari aspel kontrol, pengawasan yang dilakukan dewan terhadap penyusunan anggaran APBA juga masih terlihat boros, tidak mencerminkan anggaran yang bisa membangkitkan investasi Aceh di masa datang. Padahal, dengan dana Otsus yang besar itu, harusnya DPRA bersama Gubernur membuat terobosan baru pembangunan yang bisa menghasilkan energi baru untuk tumbuh dan berkembangnya investasi Aceh di masa datang. “Tapi ini belum dilakukan DPRA dan Gubernur secara maksimal. Program yang dibuat lebih banyak memanjakan rakyat untuk menjadi peminta-minta, bukan untuk mendorong rakyat menjadi masyarakat yang berproduktif tinggi, berinovasi, dan berkreasi,” ujar Ardi.

Belum maksimal
Menyikapi kritikan, sorotan, dan masukan dari akademisi dan pegiat LSM yang hadir dalam pertemuan evaluasi dan doa bersama satu tahun masa kerja DPRA 2009-2014 di Kantor GeRAK Aceh itu, Wakil Ketua I DPRA, Amir Helmi SH mengatakan, dalam satu tahun masa kerja yang telah berlalu, DPRA memang belum bekerja maksimal.

Menurutnya, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Misalnya, mengenai perbedaan-perbedaan pandangan yang muncul dalam menyikapi berbagai hal dalam rapat-rapat Panggar, Pokja, Panmus, dan musyawarah.

Perbedaan pandangan itu, kata Amir Helmi, memasuki tahun kedua ini sudah mulai bisa disatukan dan semua anggota dewan maupun Pimpinan sama-sama mengoreksi diri agar kelemahan dan keterlambatan pekerjaan yang pernah terjadi pada tahun pertama, dicari penyebab dan solusi penyelesaiannya agar kinerja pada tahun kedua nanti lebih baik, atau rapornya sudah tidak merah lagi, sebagaimana penilaian LSM, mahasiswa, dan akademisi.

Amir Helmi menjelaskan, banyak yang sudah dikerjakan DPRA selama setahun, tidak hanya qanun APBA 2010, tapi sudah membahas sembilan rancangan qanun (raqan) dari 23 raqan prioritas yang telah ditetapkan. Dari sembilan raqan yang telah dibahas, tiga di antaranya sudah siap untuk dibawa ke sidang paripurna, yaitu Raqan Penanganan Bencana Alam, Stok Badan Bencana Alam, dan Raqan Kesehatan.

Sedangkan pembahasan APBA-P 2010 belum dilakukan, karena terganjal dua hal, yaitu belum tuntasnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) APBA 2009 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan menjadi dasar perhitungan APBA 2009. Kendala kedua, sebelum APBA-P dilaksanakan, harus dilakukan Pansus Perhitungan APBA tahun sebelumnya. “Sedangkan mengenai KUA dan PPAS 2011, belum disahkan, karena pagunya setelah pembahasan Pokja DPRA membengkak, sehingga perlu dirasionalkan kembali,” demikian Amir Helmi. (her/mir/sup)

Sumber: Harian Serambi Indonesia
edisi jum'at, 1 Oktober 2010,

Pemimpin Paranoid

DALAM Wikipedia Bahasa Indonesia, paranoid adalah ajektiva kata sifat untuk penderita paranoia yang didefinisikan sebagai penyakit mental, di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Sedangkan dalam kamus Webster, paranoia didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis.

Dalam kamus kedokteran, Dorland, paranoid atau perilaku menyerupai paranoia diartikan sebagai kelainan jiwa kronik (gangguan kejiwaan), ditandai oleh perkembangan ambisi atau kecurigaan yang berlebihan. Gejala-gejala penderitanya adalah: adanya keyakinan palsu yang dipertahankan, yaitu keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana membahayakan dirinya. Keyakinan ini menjadikan penderita paranoid selalu curiga akan segala hal dan berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, dan diawasi. Ada juga keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi orang penting.

Karena yakin ada kekuatan dari luar yang sedang mencoba mengendalikan pikiran dan tindakannya, akibatnya muncul persepsi palsu pada si paranoid atau menganggap suatu hal ada dan benar-benar nyata, padahal kenyataannya hal itu hanyalah khayalan si paranoid belaka.

Biasanya pada aspek motorik, gejala paranoia ini dapat dilihat dari ekspresi wajah yang aneh dan khas, diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yang juga aneh dan dapat dilihat dari cara berjalannya. Dalam konteks interaksi sosial, si paranoid pada umumnya tidak menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya, sehingga dia hanya memiliki sedikit teman. Diduga, penyebab gangguan kepribadian ini disebabkan oleh respons pertahanan psikologis (mekanisme pertahanan diri) yang berlebihan terhadap berbagai stres atau konflik terhadap egonya dan biasanya sudah terbentuk sejak usia muda.

Paranoid ini dapat menjangkiti siapa saja, terutama mereka yang dalam kesehariannya perlu untuk terus mempertahankan sesuatu yang diyakini menjadi miliknya. Paranoia ini malah paling sering menjangkiti mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan atau penguasa negara yang ingin mencengkeramkan kuku hegemoninya secara luas dan mendalam.

Paranoia tentu berbeda dengan sikap hati-hati dan waspada. Sikap hati-hati dan waspada tentu saja diperlukan untuk berjaga-jaga, proteksi diri, dan keamanan secara proporsional. Namun, sikap paranoid sebaiknya harus dijauhi, karena sikap tersebut tidak proporsional, sehingga justru akan kontraproduktif dan akan menyebabkan kepanikan.

Mereka yang mengalami paranoid, meminjam istilah Martin Heidegger dalam Discourse on Thinking (1966), banyak yang terjebak dalam kondisi “ketidakberpikiran” (thoughtlessness). Mereka tidak pernah berpikir panjang atau bahkan tidak pula berpikir pendek. Dalam suasana “ketidakberpikiran” itu mereka hanya “berhasrat” melakukan sesuatu, lalu menggunakan segala cara dan media untuk melampiaskan hasrat itu dengan cara, misalnya, menuduh dan menyerang pihak-pihak yang tidak sejalan dengan mereka.

Paranoid politik
Sikap paranoid akan sangat bahaya bila menghinggapi para pemimpin publik, karena akan sangat berimbas pada berbagai kebijakan dan dinamika politik dalam sebuah wilayah. Di titik inilah dikhawatirkan akan muncul pernyataan dan kebijakan yang tidak proporsional dan populis, karena didasari oleh sikap paranoid politik. Sebab, akan muncul sikap reaktif berlebihan. Sikap reaktif biasanya akan diimplementasikan dengan cara membuat pernyataan dan kebijakan yang tidak disertai dengan pertimbangan matang, melainkan berdasarkan emosi dan bisa dalam waktu sangat singkat semua itu terjadi.

Akhir-akhir ini masyarakat luas di Aceh semakin sering membaca informasi di media tentang para pemimpin yang saling menyerang di media. Pada awal-awal kepemimpinan, mereka terlihat sangat mesra, berjalan bergandeng dan seiya-sekata dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka saling berbagi tugas dan peran. Malah ada yang rela berbagi pendapa atau meuligoe untuk ditempati bersama.

Dalam perjalannya, semua itu mulai berubah dan masyarakat luas makin kerap disajikan tontonan yang kadang bagi sebagian orang, masih bertanya-tanya, apa betul ya sampai begitu para pemimpin mereka. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah karena momentum suksesi sudah semakin dekat, yakni tahun 2011. Akan ada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di tingkat provinsi yang diikuti oleh 16 kabupaten/kota. Apakah gara-gara momentum politik yang tentunya sangat kompetitif itu, lalu muncul “wabah” paranoia (penyakit khayal) yang menjangkiti banyak aktor politik?

Mungkin masih segar dalam ingatan publik Aceh, bagaimana berita di Serambi Indonesia edisi 9 September 2010 yang mengutip siaran pers Wakil Gubernur Aceh berjudul “Wagub Terkejut atas Pergantian Karo Isra”.

Seperti diketahui, Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Aceh (Karo Isra), Drs Syaiba Ibrahim dan beberapa pejabat eselon III dan IV di biro yang sama diganti secara mendadak oleh Gubernur Aceh. Publik di Aceh bertanya, apakah ini bagian dari “genderang perang terbuka” mulai ditabuh menjelang 2011 antara Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh?

Sehari sebelumnya juga pada harian yang sama pada halaman Droe keu Droe seorang Karo Isra menulis surat pembaca dengan judul “Pak Gubernur, Saya Difitnah!” yang juga menyampaikan tentang kebijakan yang diambil Gubernur Aceh harus di-crosscheck lagi kebenarannya. Syaiba juga menginformasikan adanya mafia di Biro Isra, dan itu yang seharusnya “dilibas” Gubernur.

Dari kedua pernyataan media tersebut, publik di Aceh bertanya-tanya, kok bisa seorang kepala biro yang hanya berlapis hierarki seorang Sekda harus membuat surat pembaca di koran? Lebih konyol lagi, seorang Wakil Gubernur yang langsung tanpa ada hierarki harus membuat siaran pers ke media berkaitan dengan kebijakan tata pemerintahan yang diambil oleh atasannya.

Bila ini dilakukan oleh seorang Kolonel Penerbang Adjie Suradjie dalam tulisannya di sebuah harian nasional, mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden SBY, ini memang hierarki sangat jauh! Atau para aktivis yang sering membuat siaran pers menanggapi kebijakan gubernur atau bupati/wali kota masih tergolong hal yang wajar, karena memang tidak ada hierarkinya. Tapi, ini dilakukan seorang Wakil Gubernur. Bagaimana pula ke depan dengan semakin dekatnya momentum Pemilukada 2011. “Kicauan” atau bocoran apalagi yang akan dibaca oleh publik Aceh berkaitan dengan tindak tanduk para pemimpinnya?

Terakhir yang lebih tragis dan sudah muncul di sebuah situs media online tentang pergantian khatib shalat Idul Fitri, dilakukan oleh Gubernur Aceh secara mendadak dikaitkan dengan masalah pertarungan politik antara dirinya dengan Wagub Muhammad Nazar yang konon sedang menyusun kekuatan menuju “Aceh 1”. Dan, info itu konon hanya didasarkan sebuah notulensi rapat rahasia mirip surat kaleng yang belum teruji kebenarannya.

Padahal, pihak panitia sudah mencetak 6.000 teks ceramah khatib Hari Raya Idul Fitri 1413 Hijriah yang dilaksanakan di Blang Padang Banda Aceh. Selain itu, ribuan koran Gema Baiturrahman yang memuat teks khotbah tersebut juga terpaksa urung diedarkan. Belakangan, kalangan santri dayah pun bersuara dan protes, karena khatib dari jajaran mereka diganti Gubernur dengan khatib jebolan kampus. Semua jadi serbapelik akhirnya.

Sulit berharap
Apabila para pemimpin dan aktor politik di Aceh makin terjangkiti paranoia, maka rakyat jangan banyak berharap ke depan bahwa proses tata pemerintah dan pembangunan akan semakin fokus menjelang periode duet sang pemimpin berakhir. Tentunya ini disebabkan para pemimpin justru ke depan semakin fokus berpikir bagaimana “cara saya mempertahankan jabatan periode kedua” dan bagi yang belum menjadi orang nomor satu, sedang berupaya dengan sematang mungkin mempersiapkan diri menjadi yang nomor satu.

Yang menariknya, bila kita bertanya apa yang menyebabkan mereka maju kembali, mungkin alasan klasik yang kita sering dengar mulai dari dulu sampai sekarang adalah “demi kesinambungan pembangunan” atau “lanjutkan!” dalam jargon politik SBY.

Fenomena di atas sekarang menjadi tren di Aceh yang mewarnai demokrasi dan realitas politik kekinian. Intinya, kekuasaan itu memang begitu menggoda dan menyilaukan. Padahal, kekuasaan yang sengaja diincar tidak hanya cenderung korup, tetapi juga membuat mereka yang duduk di singgahsana kekuasaan sangat mudah menjadi paranoid.

Memang tidak ada tabu politik di dalam alam demokrasi yang sudah sangat maju sekarang ini, bahwa setiap orang berhak memilih dan dipilih. Tapi apakah untuk mencapai itu semua harus dibangun dengan segala cara yang terkadang naif dan bahkan menjijikkan? Sehingga orang-orang yang belum tentu bersalah, hanya dengan surat kaleng atau isu-isu yang belum tentu kebenarannya, harus menjadi korban? Jangan-jangan, sang pemimpin paranoid tersebut, dengan segala waham curiga dan ketakutan yang berlebihan, justru sedang mempertinggi tempat jatuhnya, atau bahkan sedang menggali kuburnya sendiri. Mudah-mudahan saja tidak. Wallahu a’lam.

Oleh : TAF Haikal
Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan dan peminat masalah sosial.

Sumber: Serambi Indonesia,
edisi Sabtu 18 September 2010
Kolom Opini

Pemimpin Teladan


Membicarakan kepemimpinan tidak ada duanya di muka bumi ini sampai hari akhir nanti kecuali Rasulullah Saw, panutan terbaik umat Islam dan semua manusia dalam setiap masalah baik keduniaan maupun masalah agama.

Saat Rasulallah Saw menderita sakit yang amat parah dan meminta Abu Bakar mengimami shalat, tetapi Abu Bakar menyatakan diri belum mampu menjadi imam. Terpaksa Rasulullah dipapah tetap menjadi imam shalat. Setelah itu beliau mendapat firasat bahwa tidak lama lagi beliau akan wafat. Rasulallah bersabda, “Sahabat-sahabatku, selama ini aku telah bermasyarakat bersama kalian dan memimpin kalian. Tentu ada kesalahan yang kulakukan, mungkin menyakiti kalian. Tampaknya sudah dekat waktunya kita akan berpisah. Karena itu, maafkanlah aku. Kalau ada yang pernah kusakiti, balaslah aku sekarang, sebelum aku menerima pembalasan di akhirat.”

Para sahabat meneteskan air mata karena terharu sambil menundukkan wajah mereka. Karena tidak ada jawaban, beliau mengulanginya. Tidak juga ada jawaban, semua membisu menahan tangis. Beliau mengulanginya lagi. Suasana semakin haru dan mencekam, sehingga tidak ada yang menyadari saat ada seorang sahabat bernama Ukasah mendekati Rasulullah Saw.

Ukasah berkata, “Rasulullah, aku pernah engkau sakiti.” Seorang sahabat berkata sambil berdiri, “Langkahi dulu mayatku, sebelum engkau menyakiti Rasulullah,” Rasulullah meminta para sahabat duduk kembali, Beliau bertanya, “Kapan aku pernah menyakitimu?” Ukasah menjawab, “Saat Perang Badar! Untaku mendekati untamu, aku turun untuk menghormatimu. Saat itulah ujung cambukmu mengenai punggungku,”. Lalu Rasulullah meminta Bilal mengambil cambuk yang dimaksud, yang diberikan kepada Ukasah. “Cambuk ini dulu mengenai kulit punggungku karena saat itu aku tidak memakai baju,” ujar Ukasah. Rasulullah lalu membuka baju beliau dan memunggungi Ukasah sehingga punggung beliau yang putih bersih berada di hadapan Ukasah, membuat tanda kerasulan terlihat jelas. Sambil memperhatikan tanda kerasulan itu, Ukasah melemparkan cambuk yang dipegangnya. Sesaat kemudian Ukasah memeluk Rasulullah dan mencium tanda kerasulan itu dengan menangis. “Sudah lama aku menantikan saat ini, wahai Rasulullah. Aku ingin mencium tanda kerasulanmu. Aku ingin menyatukan kulitku dengan kulitmu”. Rasulullah kemudian berkata, “Ukasah, apabila Allah mengizinkan, kamu akan masuk surga bersamaku.”

Bagaimana pemimpin kita?
Adakah pemimpin negeri kita hari ini berani bertanya kepada rakyatnya apa kesalahan yang pernah dia perbuat selama menjalankan kepemimpinannya? Atau apa kegagalan selama kepemimpinannya disampaikan kepada rakyatnya. Jangan-jangan para pemimpin saat ini tidak berani bertanya karena banyak kesalahan yang dilakukan kepada rakyatnya. Atau lebih parah lagi para pemimpin kita sangat anti kritik yang disampaikan oleh rakyatnya.

Banyak pemimpin kita yang bisanya cuma retorika tanpa aksi nyata sudah menjadi fenomena umum, dari yang tertinggi hingga pada tingkatan terendah. Dan hal ini tidak hanya di negeri kita tapi juga terjadi di belahan dunia lainnya. Tetapi menarik bila kita cermati apa yang terjadi di luar sana, para pemimpin yang gagal dalam menjalankan kekuasaannya atau terlibatkan dalam skandal baik moral maupun penyalahgunaan kewenangan berani bersikap satria dengan mengundurkan dari jabatannya.

Ada pemimpin seperti presiden Amerika Serikat ke 34, Dwight D Eisenhower tak ingin berkuasa lama. Ketika reputasinya menjulang tinggi dan rakyat Amerika Serikat mengeluk-elukannya untuk memimpin kembali, dia justru bikin kejutan. Presiden AS itu tak mau lagi mencalonkan diri, bahkan mengajukan pembatasan masa jabatan. Sejak itu Presiden AS hanya boleh dijabat maksimal dua kali, yang kemudian menjadi pola umum masa jabatan kekuasaan di negara-negara demokrasi modern. Kecerdasan sekaligus kearifan selaku negarawan yang berpeluang kembali berkuasa, tetapi melepaskannya demi masa depan bangsa dan negara saat di puncak prestasi. Dia mengajarkan moral berpolitik yang beretika, melepaskan kekuasaannya pada saat pucak prestasi kepemimpinannya.

Bagaimana dengan para pemimpin di negeri ini atau di daerah-daerah pada umumnya? Pengalaman sejarah justru sebaliknya, ingin melanggengkan kekuasaan. Soekarno yang dikenal salah seorang the founding fathers, bahkan nyaris menjadi Presiden seumur hidup. Soeharto dengan gayanya yang khas, menjadi presiden setiap lima tahun sekali hingga 32 tahun. Keduanya berjasa untuk bangsa dan negara ini, tetapi mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis. Keduanya terhempas oleh revolusi rakyat karena hasrat absolutisme kekuasaan yang tak terbendung pada zamanya.

Ternyata hasrat untuk berkuasa minus keteladanan seolah menjadi watak para elite politik di negeri ini. Jangankan karena keberhasilan, bahkan gagal pun tak malu diri untuk terus menduduki jabatan. Lebih ironis lagi, ketika telah terbukti gagal dan kemudian dilengserkan secara tak terhormat, masih juga mencalonkan diri untuk menduduki singgasana kekuasaan. Selalu alasan klasik, melanjutkan pembangunan atau demi demokrasi atau mungkin di Aceh demi perdamaian yang seperti menjadi mantra menyihir rakyatnya.

Itulah jika demokrasi dan kekuasaan tidak dilihat sebagai keteladanan yang diperlihatkan oleh pemimpinya, semuanya menjadi serba power-over. Di negeri ini tak presiden, menteri, pejabat publik sampai ke gampong yang dengan rela hati mundur karena gagal, bila terkena kasus atau sekandal bahkan yang sudah tersangka. Selalu ada pembenaran untuk bertahan dan bebas dari jeratan kesalahan serta akuntabilitas publik. Pandai berkelit dengan berbagai basa-basi. Tak ada lagi etika dan kearifan yang tersisa. Bahkan yang kemudian muncul ialah kebohongan dan pembodohan publik, terkesan ugal-ugalan dan bebal.

Demi kekuasaan, tak mengherankan jika muncul keganjilan-keganjilan para elit yang menyesatkan nalar publik. Katanya tidak terlibat dalam kasus tersebut, tapi kenyataannya tidak mungkin hal tersebut terjadi bila tidak ada tanda tangan atau minimal perintahnya. Katanya mau berhenti, rakyatnya gak bisa diatur, banyak fitnah tapi ujung-ujung masih pula ingin bertahta kembali. Katanya mau memberantas korupsi malahan di awal terpilih datang ke sana-sini minta dukungan, tetapi kanan-kiri dan depan-belakang tak diberantas dulu, jangan-jangan malah tak bersih diri. Gagal pun masih dianggap berhasil, malah mengumumkan kesuksesan sampai pengerahan massa. Berbagai macam dalih, idiom, dan retorika yang sarat ambigu dan paradoks pun dicampur-aduk jadi kebiasaan berpikir dan bertingkah laku. Lalu, tak ada lagi standar benar-salah, baik-buruk, dan pantas atau tidak pantas, yang ada adalah perburuan kekuasaan dengan nafsu merah menyala.

Bangunan kekuasaan yang lebih baik, bukan hanya memerlukan transformasi sistem, tetapi juga tak kalah pentingnya perubahan perilaku manusianya. Jika perilaku menyangkut para pemimpinnya baik atau buruk, sungguh sangat menentukan kemajuan suatu negeri atau daerah serta akan memengaruhi rakyatnya. Jika para pemimpinnya bertingkah ugal-ugalan, gila kuasa, dan hilang kearifan maka kepada siapa rakyat harus mengambil keteladanan? Bukankah kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala?

Ke depan negeri ini sungguh memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas, cakap, “kuat” tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup menahan diri dari rongrongan para pembisik dan fasilitas wah. Juga bukan pemimpin yang urakan dan gemar bersiasah. Bukan pula pemimpin yang bebal dan tak tahu harus berbuat apa.

Jika mengatakan demi rakyat dan negeri ini, mengabdilah untuk rakyat dan negeri ini tanpa pamrih layaknya pemimpin pejuang. Jika berjanji, penuhilah sebagai amanah dan utang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan Sang pemilik jiwa raga kita. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah syay’iah (teladan buruk). Sinkronkan antara kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan cet langet.

Yang penting lagi jangan menghindarkan diri serta mencari kambing hitam saat tanggungjawab gagal dilaksanakan. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang dan bertanggungjawab karena manusia tidak lepas dari kesalahan dan kesilapan. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, ojektif, satria tidak penuh topeng dan muslihat busuk. Di situlah letak martabat pemimpin sejati, pemimpin yang selalu dirindukan rakyatnya, pemimpin teladan.

Oleh
TAF Haikal
dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 18 Juni 2010
Penulis adalah Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh dan peminat masalah sosial.

Pemerintah Aceh tidak Sense of Crisis Barat-Selatan, Tragedi Rakit Lamno Memilukan dan Memalukan


Berbagai kalangan di Aceh, terutama yang berada di wilayah barat-selatan menilai musibah terbalik rakit di aliran Krueng Lambeusoe (Alue Mie-Teumareum), Kecamatan Jaya (Lamno), Kabupaten Aceh Jaya yang merenggut tiga nyawa, Minggu (21/3) bukan saja memilukan tetapi juga memalukan.

“Kita malu dengan masyarakat luar, karena di tengah hebatnya teknologi yang terkait prasarana dan sarana transportasi, ternyata masih ada warga Aceh yang meninggal akibat terbalik rakit. Kejadian ini juga mengindikasikan betapa lemahnya proteksi pemerintah terhadap kenyamanan dan keselamatan masyarakatnya,” tulis Direktur Acehnese Solidarity for Humanity (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Senin (22/3).

Tanggapan terhadap tragedi rakit Lamno juga disampaikan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal. Menurut penilaian TAF Haikal, Pemerintah Aceh tidak sense of crisis barat-selatan. “Apa yang terjadi (tragedi rakit Lamno), bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba tetapi proses yang tidak ditangani dan dikoordinasikan dengan baik sehingga berdampak pada tertundanya pembangunan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang,” kata Haikal. “Ini juga terjadi ketika penanganan jembatan Kartika di jalur alternatif, yang prosesnya sangat lamban, bahkan sempat memunculkan masalah pada kebutuhan bahan pokok masyarakat,” lanjut Jubir KPBS ini.

Tanggapan juga disampaikan Ketua Komisi D DPRA, Ir Jufri Hasanuddin. Jufri mengaku sangat sedih mendengar kabar terbaliknya rakit di Lamno yang mengakibatkan tiga orang tewas. “Ini tragedi kemanusian yang sangat menyayat hati masyarakat pantai barat-selatan,” ujar Jufri. Jufri menyatakan, Gubernur Irwandi tidak cukup hanya sebatas memerintahkan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika (Kadishubkomintel) Aceh melakukan pemeriksaan rakit dan jembatan yang tidak layak di seluruh Aceh, agar diperbaiki atau dikeluarkan instruksi larangan melintas.

“Tidak cukup itu, tetapi harus ada tindakan konkret untuk mempercepat penyelesaian pembangunan jalan dan jembatan Banda Aceh-Meulaboh. Saya lihat pemerintahan sekarang hanya terkejut saat ada kejadian, setelah itu kembali diam,” ujar Jufri yang putra Abdya ini. Dalam penilaian Jufri, kalau Pemerintah Aceh serius dan fokus terhadap proyek pembangunan jalan USAID, dipastikan penyelesaiannya tidak berlarut-larut, dan kejadian seperti terbalik rakit bisa dihindari.

Sangat tradisional
Dalam penilaian Direktur (ASoH) Meulaboh, Fitriadilanta, tragedi rakit Lamno bisa pula dianggap sebagai bentuk kegagalan Pemerintah Aceh dalam memenuhi kebutuhan publik. “Kami di barat-selatan Aceh hingga hari ini masih ada yang mati secara sangat tradisional, seperti terbalik rakit, diinjak gajah, diterkam buaya, jatuh dari jembatan gantung, atau diterkam harimau. Entah sampai kapan cara-cara mati seperti ini bisa berakhir,” kata Fitriadilanta.

Sikap KPBS
Terkait dengan musibah rakit Lamno, Kaukus Pantai Barat-Selatan meminta Pemerintah Aceh mengambil langkah-langkah antisipasi dan penanganan bagi kelurga korban yang tertimpa musibah. Selain itu, dinas terkait harus segera mengambil langkah-langkah konkrit yang terkait dengan teknis di lapangan untuk mencegah jatuhnya korban selanjutnya.

Kaukus Barat-Selatan juga mendesak pihak USAID segera melanjutkan dan mempercepat proses pembangunan jembatan dan jalan di jalur Banda Aceh-Calang. “Menyedihkan sekali. Sudah hampir enam tahun pascatsunami, namun kawasan barat-selatan masih menggunakan rakit sebagai moda transportasi. Kami menaruh harapan besar kepada semua pihak untuk lebih peduli kepada kawasan pantai barat-selatan Aceh yang hingga kini berbagai infrastuktur dasar belum juga tertangani secara baik,” demikian Haikal.(c47/sup)

Sumber serambi Indonesia
edisi 23 Maret 2010

Pemimpin Aneh


KITA terkesima dengan tayangan “Kick Andy” di sebuah stasiun televisi swasta yang menghadirkan beberapa kepala daerah “aneh” yang berhasil melakukan terobosan positif untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dikatakan “aneh” karena melahirkan berbagai kebijakan yang tidak biasa atau “berperilaku tidak biasa”.


Saya (mungkin juga anda) pasti merasa sangat terprovokasi dengan tayangan itu, bagaimana tidak para pemimpin unik itu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya bukan hanya lewat biaya operasional yang besar, anggaran daerah yang memadai atau keadaan rakyat yang mapan untuk membantu pemerintahnya.

Bupati Sragen, Untung Wiyono terkenal dengan jaringan teknologi informasi (internet)-nya, yang menjangkau seluruh desa, sehingga komunikasi, transparansi dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan meningkat pesat. Sragen juga mulai membatasi penerimaan pegawai. Strategi ini diambil untuk optimalisasi anggaran daerah yang minim. Selain Bupati Sragen, sosok Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib juga terbilang “aneh”. Bupati yang satu ini terkenal karena konsep “government mobile” dengan bekerja langsung di tengah masyarakat. Ia berkantor bersama kepala dinas dan jajarannya di desa atau kecamatan yang didatanginya.

Bupati Jombang, Suyanto, tak kalah “aneh”. Suyanto memiliki program peningkatan kemampuan puskesmas menjadi rumah sakit mini yang memiliki fasilitas rawat inap memadai dan dokter spesialis yang dapat melayani kebutuhan kesehatan masayarakat. Lain halnya dengan Bupati Blitar, Djarot Saiful Hidayat, ia melakukan tindakan “brutal” dengan melakukan pemangkasan umur pensiun bagi pegawai di daerahnya, sebagai upaya mendorong regenerasi yang berefek pada peningkatan semangat dan kinerja aparatur.

Dari beberapa contoh kepala daerah tersebut, setidaknya ada kesimpulan sementara bahwa sebenarnya ada tiga faktor yang sangat berperan dalam mengukur kinerja mereka yaitu, pelayanan publik, transparansi dan fasilitasi dunia usaha. Tiga hal itu tidak bisa dipungkiri lagi adalah harapan terbesar yang digantungkan rakyat kepada pemimpinnya.

Untuk pelayanan publik, kita bisa mengambil bidang kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Bagaimana pemerintah daerah menyediakan sarana kesehatan beserta perangkat pendukung yang dapat melayani masyarakat secara profesional menjadi tantangan bertahun-tahun dan sorotan yang sering ditujukan berkenaan dengan kinerja pemerintah. Sangat naif bila para kepala daerah hanya berbicara tatanan normatif serta perencanaan spektakuler tentang pelayanan kesehatan. Meningkatkan derajat kesehatan bukan hanya bicara anggaran, akan tetapi juga terkait dengan semangat melayani dari aparatur. Seringkali keluhan layanan kesehatan datang dari rumah sakit yang mewah namun buruk pelayanan. Dalam hal fasilitasi bagi dunia usaha, pelayanan dokumen merupakan komponen terpenting sehingga tercipta iklim investasi yang sehat dan menggairahkan dunia usaha. Dengan berbagai kemudahan yang didapatkan dalam pelayanan dokumen ini, dunia usaha akan meningkatkan efisiensi dan memperluas kemungkinan masuknya investor yang lebih besar.

Bagaimana dengan para kepala daerah di nanggroe ini? Bukankah beberapa di antara mereka juga sudah mendapatkan penghargaan yang berkenaan dengan pelayanan publik? Apakah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah pusat juga sebanding dengan peningkatan pelayanan yang dirasakan publik secara nyata? Sudah puaskah kita dengan pelayanan kesehatan, pendidikan oleh pemerintah buah dari MoU Helsinki? Sudah cukup transparankah mereka? Bagaimana dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dalam 3 tahun ini? Apakah benar karena intervensi mereka? Atau justeru karena kesempatan berusaha yang diperoleh masyarakat dalam situasi damai.

Dalam konteks Aceh saat ini, kita bisa melihat ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan oleh mereka yang punya 2 tahun lagi masa jabatan. Pertama, terkait kuantitas dan kualitas aparatur yang memprihatinkan. Secara kuantitas, jumlah PNS yang sekarang dimiliki oleh tiap daerah di Aceh sudah lebih dari cukup, tetapi distribusi dan kualitasnya belum mampu meningkatkan kualitas layanan publik bagi masyarakat. Menurut saya, langkah ini merupakan awal dari inovasi yang harus dilakukan kepala daerah. Pemerintah daerah harus melakukan kajian mendalam untuk menilai kinerja abdi negara tersebut, Reward dan Punishment serta ketegasan pemimpin menjadi ujung tombak keberhasilan penegakan disipilin aparatur.

Kedua, mewujudkan visi dan misi secara baik, terencana dan berkualitas. Sebenarnya visi para kepala daerah bisa dilihat dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana dokumen itu bisa diakses oleh publik? Bukankah seharusnya masyarakat juga dapat melihat secara jelas apa yang menjadi tujuan-tujuan strategis para pemimpinnya? Selama ini RPJMD hanya menjadi dokumen formalitas yang dimiliki kepala daerah bersama perangkatnya, bahkan sering pula RPJMD adalah hasil penulisan konsultan sewaan yang terbiasa mengerjakannya. Belum lagi kita melihat rencana pembangunan tiap tahun yang tumpang tindih dan tanpa arah. Akibatnya banyak program yang muncul dalam RAPBA/RAPBK terkesan Cet langet, tanpa arah dan tujuan serta sulit terukur.

Ketiga, yang tidak bisa kita kesampingkan di Aceh adalah dominasi kelompok tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kepala daerah masih dibebani kuatnya kepentingan kelompok yang menjadi pendukung pada masa pemilihan. Kelompok-kelompok itu menjadi sangat menggangu kinerja para kepala daerah bila tidak dikelola dengan baik.

Keempat, sikap ketergantungan yang masih besar kepada pemerintah pusat dan provinsi dalam hal anggaran. Padahal bila kita perhatikan para pemimpin “aneh” itu, juga memiliki masalah sama bahkan kadang lebih berat dari rekan-rekan mereka di Aceh. Tetapi sikap mental inilah yang membedakannya. Daripada berharap “kemurahan” hati pemerintah provinsi dan pusat mereka memilih mengoptimalkan sumber daya sendiri. tidak boros anggaran dan mengoptimalkan fungsi anggaran berdasarkan kebutuhan rakyat.

Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, sebenarnya para kepala daerah memiliki keuntungan lebih dibandingkan yang lain yaitu legitimasi dari masyarakat dan dukungan internasional. Sebagai kepala daerah buah dari perdamaian dan pemilihan langsung, mereka memegang legitimasi kuat dari rakyatnya sehingga dalam membuat kebijakan juga seharusnya mudah mendapatkan dukungan. Terlepas dari kemungkinan terpilihnya mereka dulu karena euforia perdamaian yang sedang melanda, tidak bisa ditampik bahwa sebagian kepala daerah di Aceh telah mengecewakan para pemilihnya.

Dukungan internasional bagi Aceh sampai sekarang masih terlihat serius dan terjaga. Dukungan bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa dan tsunami akhir 2004 telah banyak meringankan beban pemerintah daerah, begitu juga dukungan dan komitmen untuk perdamaian. Beberapa lembaga baik NGO atau lembaga bilateral telah menunjukkan kontribusi positif untuk mendukung peningkatan kapasitas aparatur di Aceh, sesuatu yang sangat berharga dan agak mustahil didapatkan daerah lain.

Pelayanan publik, transparansi serta dukungan bagi dunia usaha bukanlah sesuatu yang mustahil di Aceh, bagaimana para kepala daerah lebih bijak dan mengutamakan hati nurani lah sebenarnya yang lebih mahal. Bukankah sebagian dari kepala daerah di Aceh berlatar belakang para pejuang yang pada masa sulit dulu telah berani mengorbankan hal-hal berharga dalam hidupnya? Atau bagi mereka yang dulunya dikenal sebagai sosok yang agamis dan dan bermoral tinggi, apakah memang kewenangan yang didapat telah mengaburkan itu? Bagaimana dengan sosok-sosok yang juga dikenal dengan keberaniannya mengkritik dan menentang pemerintah sebelumnya, kemanakah semangat itu? Dua tahun lagi memang bukan waktu yang cukup panjang tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak juga muncul hal-hal yang menyejukkan hati rakyat.

Oleh: Tafhaikal

Sumber : Serambi Indonesia
edisi 10 Maret 2010

Pantai Barat Selatan Bantah Gubernur soal Pemerataan

Banda Aceh, Pelita 11 Feb 2010

Pemerintah Aceh diminta tidak menjadikan alokasi dana otonomi khusus (otsus) serta bagi hasil minyak dan gas (migas) untuk kabupaten/kota sebagai indikator adanya pemerataan pembangunan di provinsi itu.Hal itu dikatakan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh. Rabu (10/2), menanggapi pernyataan Gu-bemur Aceh Irwandi Yusuf yang mengatakan pembangunan wilayah pantai barat dan selatan Aceh tidak dianak-tirikan.

"Alokasi dana otsus dan bagi hasil migas untuk kabupaten/ kota sesuai mekanismenya. Jadi itu bukan sebuah indikator Pemerintah Aceh sudah melakukan pemerataan dan berpihak ke daerah tertinggal." kata TAF Haikal.TAF Haikal menyatakan, pernyataan gubernur tersebut keliru, sebab pengalokasian dana otsus untuk kabupaten/ kota telah diatur dalam Qanun (Perda) No 2/2008 tentangTata Cara Pengalokasian Tambahan Dana bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus.

"Dalam qanun tersebut mengatur secara jelas porsi dari suatu daerah dengan menggunakan indikator jumlah penduduk, luas wilayah indeks kemiskinan, dan lain-lain Jadi hal itu bukan kebijakan sepihak Pemerintah Aceh, tapi melaksanakan kebijakan yang sudah diatur dalam Qanun Aceh tersebut," tambahnya.

Karenanya, kata dia. untuk melihat keberpihakan Pemerintah Aceh maka yang harus diperhatikan adalah apakah alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) mumi sudah diperhatikan untuk program dan kegiatan bagi wilayah pantai barat dan selatan Aceh."Justru dalam APBA mumi wilayah pertaruhan untuk melihat komitmen pemerintah Aceh dalam upaya mengurangi jurang pemisah atau ketertinggalan pembangunan di Aceh." katanya seperti dikutip Antara.

Dari RAPBA 2010 sebesar Rp 6,9 triliun, senilai sekitar Rp3.9 triliun diantaranya sumber dananya dari otsus, dan Rp 3 triliun adalah APBA murni."Artinya, sumber dana APBA murni itulah seharusnya Pemerintah Aceh punya keberpihakan yang kongkrit untuk membangun wilayah pantai barat dan selatan Aceh yang tertinggal dibanding kabupaten/kota lain di provinsi ini," kata dia menjelaskan.

Dalam pertemuan di sebuah media lokal, sebelumnya, Gubernur Irwandi mengatakan, "Saya tak pernah anak-tirikan antara barat dan timur Aceh. Buktinya, coba dilihat dana otsus untuk daerah mana yang lebih besar kita alokasikan."

Dari alokasi itu. menurut Irwandi, jelas lebih besar untuk kabupaten/kota di pantai barat-selatan Aceh. "Jadi, tak pernah ada dalam hati saya untuk tidak membangun pantai barat-selatan seperti membangun daerah lain di Aceh. Kita satu dan Aceh Ini milik semua kita. Semua masalah kita selesaikan bersama." kata Irwandi.

Terkait rekonstruksi ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh yang rusak akibat tsunami. Irwandi mengatakan, hal Itu bukan tanggung jawab Pemerintah Aceh untuk membangunnya, melainkan Jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sebetulnya, lanjut Irwandi, pembangunan ruas Jalan itu kini sedang dalam proses yang didanai USAID.

"Tapi membangun Jalan kan bukan seperti membuat kue. Prosesnya lama sehingga dibutuhkan kesabaran. Kalau bicara tidak sabar, jangankan masyarakat pantai barat Aceh, saya pun tidak sabar, mengapa jalan tersebut begitu lama selesai dibangun. Bahkan, saya sudah enam kali meninjau pembangunan jalan itu," ujarnya.

Karena itu. la meminta masyarakat pantai barat-selatan Aceh bersabar karena pembangunan jalan Itu sedang berlangsung.Dalam upaya memajukan kawasan tengah Aceh dan mengubah mind-set masyarakat agar tak lagi berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat sampai ke Medan, Gubernur Irwandi, mengatakan, pihaknya sudah berpikir bagaimana caranya agar jalan yang menghubungkan sejumlah daerah di kawasan tengah Aceh itu dapat terbangun dengan baik.

"Rencana Ini sudah ada dalam hati saya sebelum saya menjadi Gubernur," ungkap Irwandi.Sehingga, menurutnya. Aceh Tengah (Takengon) akan men-, jadi kota gudang (warehouse) bagi semua kabupaten/kota di kawasan tersebut. Jalan itu. sebut Irwandi, misalnya Jalan Gayo Lues-Aceh Tenggara, Takengon-Nagan Raya, dan Takengon Kutacane.

"Jika jalan itu bisa dibangun, adanya pelabuhan umum Krueng Geukuch Aceh Utara, plus tersedianya sebelas lapangan terbang di berbagai daerah, maka Takengon akan bisa berfungsi sebagai kota transit untuk semua kabupaten/kota di wilayah tengah Aceh. Dengan begitu orientasi masyarakat Aceh untuk membelanjakan uangnya ke Medan semakin lama akan semakin pudar dan akhirnya bisa dihilangkan," jelas Gubernur Irwandi. (Jon)