Pemimpin Teladan


Membicarakan kepemimpinan tidak ada duanya di muka bumi ini sampai hari akhir nanti kecuali Rasulullah Saw, panutan terbaik umat Islam dan semua manusia dalam setiap masalah baik keduniaan maupun masalah agama.

Saat Rasulallah Saw menderita sakit yang amat parah dan meminta Abu Bakar mengimami shalat, tetapi Abu Bakar menyatakan diri belum mampu menjadi imam. Terpaksa Rasulullah dipapah tetap menjadi imam shalat. Setelah itu beliau mendapat firasat bahwa tidak lama lagi beliau akan wafat. Rasulallah bersabda, “Sahabat-sahabatku, selama ini aku telah bermasyarakat bersama kalian dan memimpin kalian. Tentu ada kesalahan yang kulakukan, mungkin menyakiti kalian. Tampaknya sudah dekat waktunya kita akan berpisah. Karena itu, maafkanlah aku. Kalau ada yang pernah kusakiti, balaslah aku sekarang, sebelum aku menerima pembalasan di akhirat.”

Para sahabat meneteskan air mata karena terharu sambil menundukkan wajah mereka. Karena tidak ada jawaban, beliau mengulanginya. Tidak juga ada jawaban, semua membisu menahan tangis. Beliau mengulanginya lagi. Suasana semakin haru dan mencekam, sehingga tidak ada yang menyadari saat ada seorang sahabat bernama Ukasah mendekati Rasulullah Saw.

Ukasah berkata, “Rasulullah, aku pernah engkau sakiti.” Seorang sahabat berkata sambil berdiri, “Langkahi dulu mayatku, sebelum engkau menyakiti Rasulullah,” Rasulullah meminta para sahabat duduk kembali, Beliau bertanya, “Kapan aku pernah menyakitimu?” Ukasah menjawab, “Saat Perang Badar! Untaku mendekati untamu, aku turun untuk menghormatimu. Saat itulah ujung cambukmu mengenai punggungku,”. Lalu Rasulullah meminta Bilal mengambil cambuk yang dimaksud, yang diberikan kepada Ukasah. “Cambuk ini dulu mengenai kulit punggungku karena saat itu aku tidak memakai baju,” ujar Ukasah. Rasulullah lalu membuka baju beliau dan memunggungi Ukasah sehingga punggung beliau yang putih bersih berada di hadapan Ukasah, membuat tanda kerasulan terlihat jelas. Sambil memperhatikan tanda kerasulan itu, Ukasah melemparkan cambuk yang dipegangnya. Sesaat kemudian Ukasah memeluk Rasulullah dan mencium tanda kerasulan itu dengan menangis. “Sudah lama aku menantikan saat ini, wahai Rasulullah. Aku ingin mencium tanda kerasulanmu. Aku ingin menyatukan kulitku dengan kulitmu”. Rasulullah kemudian berkata, “Ukasah, apabila Allah mengizinkan, kamu akan masuk surga bersamaku.”

Bagaimana pemimpin kita?
Adakah pemimpin negeri kita hari ini berani bertanya kepada rakyatnya apa kesalahan yang pernah dia perbuat selama menjalankan kepemimpinannya? Atau apa kegagalan selama kepemimpinannya disampaikan kepada rakyatnya. Jangan-jangan para pemimpin saat ini tidak berani bertanya karena banyak kesalahan yang dilakukan kepada rakyatnya. Atau lebih parah lagi para pemimpin kita sangat anti kritik yang disampaikan oleh rakyatnya.

Banyak pemimpin kita yang bisanya cuma retorika tanpa aksi nyata sudah menjadi fenomena umum, dari yang tertinggi hingga pada tingkatan terendah. Dan hal ini tidak hanya di negeri kita tapi juga terjadi di belahan dunia lainnya. Tetapi menarik bila kita cermati apa yang terjadi di luar sana, para pemimpin yang gagal dalam menjalankan kekuasaannya atau terlibatkan dalam skandal baik moral maupun penyalahgunaan kewenangan berani bersikap satria dengan mengundurkan dari jabatannya.

Ada pemimpin seperti presiden Amerika Serikat ke 34, Dwight D Eisenhower tak ingin berkuasa lama. Ketika reputasinya menjulang tinggi dan rakyat Amerika Serikat mengeluk-elukannya untuk memimpin kembali, dia justru bikin kejutan. Presiden AS itu tak mau lagi mencalonkan diri, bahkan mengajukan pembatasan masa jabatan. Sejak itu Presiden AS hanya boleh dijabat maksimal dua kali, yang kemudian menjadi pola umum masa jabatan kekuasaan di negara-negara demokrasi modern. Kecerdasan sekaligus kearifan selaku negarawan yang berpeluang kembali berkuasa, tetapi melepaskannya demi masa depan bangsa dan negara saat di puncak prestasi. Dia mengajarkan moral berpolitik yang beretika, melepaskan kekuasaannya pada saat pucak prestasi kepemimpinannya.

Bagaimana dengan para pemimpin di negeri ini atau di daerah-daerah pada umumnya? Pengalaman sejarah justru sebaliknya, ingin melanggengkan kekuasaan. Soekarno yang dikenal salah seorang the founding fathers, bahkan nyaris menjadi Presiden seumur hidup. Soeharto dengan gayanya yang khas, menjadi presiden setiap lima tahun sekali hingga 32 tahun. Keduanya berjasa untuk bangsa dan negara ini, tetapi mengakhiri kekuasaannya dengan cara yang tragis. Keduanya terhempas oleh revolusi rakyat karena hasrat absolutisme kekuasaan yang tak terbendung pada zamanya.

Ternyata hasrat untuk berkuasa minus keteladanan seolah menjadi watak para elite politik di negeri ini. Jangankan karena keberhasilan, bahkan gagal pun tak malu diri untuk terus menduduki jabatan. Lebih ironis lagi, ketika telah terbukti gagal dan kemudian dilengserkan secara tak terhormat, masih juga mencalonkan diri untuk menduduki singgasana kekuasaan. Selalu alasan klasik, melanjutkan pembangunan atau demi demokrasi atau mungkin di Aceh demi perdamaian yang seperti menjadi mantra menyihir rakyatnya.

Itulah jika demokrasi dan kekuasaan tidak dilihat sebagai keteladanan yang diperlihatkan oleh pemimpinya, semuanya menjadi serba power-over. Di negeri ini tak presiden, menteri, pejabat publik sampai ke gampong yang dengan rela hati mundur karena gagal, bila terkena kasus atau sekandal bahkan yang sudah tersangka. Selalu ada pembenaran untuk bertahan dan bebas dari jeratan kesalahan serta akuntabilitas publik. Pandai berkelit dengan berbagai basa-basi. Tak ada lagi etika dan kearifan yang tersisa. Bahkan yang kemudian muncul ialah kebohongan dan pembodohan publik, terkesan ugal-ugalan dan bebal.

Demi kekuasaan, tak mengherankan jika muncul keganjilan-keganjilan para elit yang menyesatkan nalar publik. Katanya tidak terlibat dalam kasus tersebut, tapi kenyataannya tidak mungkin hal tersebut terjadi bila tidak ada tanda tangan atau minimal perintahnya. Katanya mau berhenti, rakyatnya gak bisa diatur, banyak fitnah tapi ujung-ujung masih pula ingin bertahta kembali. Katanya mau memberantas korupsi malahan di awal terpilih datang ke sana-sini minta dukungan, tetapi kanan-kiri dan depan-belakang tak diberantas dulu, jangan-jangan malah tak bersih diri. Gagal pun masih dianggap berhasil, malah mengumumkan kesuksesan sampai pengerahan massa. Berbagai macam dalih, idiom, dan retorika yang sarat ambigu dan paradoks pun dicampur-aduk jadi kebiasaan berpikir dan bertingkah laku. Lalu, tak ada lagi standar benar-salah, baik-buruk, dan pantas atau tidak pantas, yang ada adalah perburuan kekuasaan dengan nafsu merah menyala.

Bangunan kekuasaan yang lebih baik, bukan hanya memerlukan transformasi sistem, tetapi juga tak kalah pentingnya perubahan perilaku manusianya. Jika perilaku menyangkut para pemimpinnya baik atau buruk, sungguh sangat menentukan kemajuan suatu negeri atau daerah serta akan memengaruhi rakyatnya. Jika para pemimpinnya bertingkah ugal-ugalan, gila kuasa, dan hilang kearifan maka kepada siapa rakyat harus mengambil keteladanan? Bukankah kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala?

Ke depan negeri ini sungguh memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas, cakap, “kuat” tetapi juga arif-bijaksana dan sanggup menahan diri dari rongrongan para pembisik dan fasilitas wah. Juga bukan pemimpin yang urakan dan gemar bersiasah. Bukan pula pemimpin yang bebal dan tak tahu harus berbuat apa.

Jika mengatakan demi rakyat dan negeri ini, mengabdilah untuk rakyat dan negeri ini tanpa pamrih layaknya pemimpin pejuang. Jika berjanji, penuhilah sebagai amanah dan utang kepada rakyat bahkan kepada Tuhan Sang pemilik jiwa raga kita. Pemimpin itu harus menjadi uswah hasanah (teladan yang baik), bukan uswah syay’iah (teladan buruk). Sinkronkan antara kata dan perbuatan, jangan banyak retorika dan cet langet.

Yang penting lagi jangan menghindarkan diri serta mencari kambing hitam saat tanggungjawab gagal dilaksanakan. Kalau bertindak salah, belajarlah untuk berterus terang dan bertanggungjawab karena manusia tidak lepas dari kesalahan dan kesilapan. Bersikap dan bertindaklah secara otentik, ojektif, satria tidak penuh topeng dan muslihat busuk. Di situlah letak martabat pemimpin sejati, pemimpin yang selalu dirindukan rakyatnya, pemimpin teladan.

Oleh
TAF Haikal
dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 18 Juni 2010
Penulis adalah Ketua DPA/Presidium Forum LSM Aceh dan peminat masalah sosial.

Tidak ada komentar: