Penyataan Sikap

Menanggapi Pernyataan Sekretaris Badan Pelaksana BRR NAD - NIAS
KAUKUS PANTAI BARAT SELATAN

Pernyataan Sekretaris Badan BRR NAD – NIAS, T Kamaruzzaman, yang disampaikan melalui media (Serambi, 18/4) terkait persoalan tuntutan dana rehabilitasi oleh masyarakat korban gempa dan tsunami dari berbagai daerah sama sekali tidak mencerminkan cara pandang yang bisa dijadikan pegangan solusi bagi masyarakat korban. Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR NAD – NIAS itu, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.
Siapa pun tahu bahwa BRR NAD – NIAS diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi baik di Aceh maupun di Nias. Dan, untuk yang terakhir ini, BRR NAD –NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR NAD – NIAS membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan.
Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR NAD – NIAS menempatkan sebuah persoalan. Atas nama pembangunan kembali Aceh pasca gempa dan tsunami, yang kemudian diikuti oleh usaha untuk mendukung perdamaian maka posisi BRR NAD – NIAS bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran. Bahkan, demi kepentingan pembangunan Aceh dan Nias BRR juga kerap mendapat dukungan baik dukungan kebijakan maupun dukungan anggaran negara atau anggaran hibah.
Jadi, menjadi sangat tidak cerdas manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan Pemerintah melalui Menteri Keuangan kala BRR NAD –NIAS sendiri sudah melakukan sebuah tindakan, yang kemudian dipandang sudah menceredai amanah korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial akibat kentaranya perbedaan dalam alokasi anggaran rehab yang sudah di bayar 15 jt dan korban yang akan di bayar 2,5 jt..
Alasan penurunan nilai rehab rumah dari 15 jt menjadi 2,5 jt, karena keterbatasan anggaran sangat bertolak belakang dengan kenyataan dilapangan. Dimana peruntukan dana BRR NAD-NIAS untuk kegiatan dan program yang tidak secara langsung berdampak pada korban tsunami, justru mendapakatkan anggaran yang sangat besar dan jelas-jelas tidak ada didalam Blueprit. Seperti pembangunan beberapa kantaor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, pembangunan kantor pajak di Pekalongan hasil temuan BPK dan terakhir sempat kita baca di media membeli senjata.

Menyangkut dengan rawannya situasi maka menjadi penting untuk mengembalikan pertanyaan menyangkut siapakah yang sudah menabur benih kerawanan sosial dan keguncangan politik di Aceh? Secara kasat mata bisa ditegaskan bahwa kebijakan BRR NAD – NIAS yang timpang dalam hal anggaran bantuan dana rehabilitasi rumah lah yang sudah menjadi faktor pemicu dari munculnya situasi rawan dan rumor di tengah masyarakat.
Disatu sisi, tingkat kesabaran masyarakat dalam menunggu keberpihakan BRR NAD – NIAS terhadap mereka dan disisi lain tingkat agresifitas BRR NAD – NIAS terhadap kelompok pengusaha dan negara yang kemudian bertemu dengan jadwal kerja BRR NAD – NIAS yang tidak lama lagi jelas memicu adrenalin korban untuk bertindak lebih agresif dalam melakukan tuntutan. Dalam situasi begini, maka sangat tidak bijak manakala rakyat korban senantiasa ditempatkan sebagai pihak yang bersalah, termasuk dengan membangun tudingan adanya ketidak jujuran dalam masyarakat hanya dengan mengemukan alasan banyaknya nama-nama yang tidak berhak tercantum dalam daftar penerima manfaat bantuan rehabilitasi perumahan.
Padahal, semua orang tahu bahwa pendataan calon penerima bantuan perumahan sepenuhnya dilindungi oleh kebijakan, aturan dan mekanisme yang kemudian didukung pula oleh anggaran negara yang dikelola oleh BRR NAD – NIAS itu sendiri, yang kemudian secara sangat berani mengumumkan nama-nama penerima bantuan dilebih satu media massa. Bahkan, hampir semua korban gempa dan tsunami juga tahu bahwa proses pendataan juga melibatkan perusahaan yang secara administrasi bisa dikatakan sudah sangat profesional dalam hal pendataan.
Kondisi ini jelas mencerminkan betapa BRR NAD – NIAS sedang menegaskan tentang dirinya sendiri bahwa pekerjaan yang mereka lakukan selama ini sama sekali bertolak belakang dengan citra diri yang dibangun sejak awal yakni sebagai lembaga dengan sumberdaya dan mitra kerja profesional plus memiliki kemampuan untuk berkerja ekstra demi percepatan pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana gempa dan tsunami.
Padahal, siapa pun paham bahwa logika pendataan senantiasa menyediakan pada dirinya tingkat eror yang dengan mekanisme tertentu bisa diatasi, termasuk dalam mengatasi tingkat kesalahan atau kekeliruan pendataan penerima bantuan rehabilitasi perumahan. Dengan demikian, logika adanya kecurangan dalam pendataaan dikaitkan dengan kebijakan menurunkan jumlah alokasi anggaran untuk rehabilitasi perumahan sama sekali tidak ada benang merahnya dan karena itu bisa dikatakan betapa logika itu hanya dipakai sebagai alat untuk mengalihkan rasionalitas korban dari tuntutan perubahan atau konsistensi kebijakan ke masalah pendataan. Dengan demikian, masyarakat korban sedang digiring untuk tidak lagi mempersoalkan kebijakan melainkan lebih mempersoalkan adanya anggota masyarakat yang sedang melakukan kecurangan di lingkungan mereka.
Soal penindakan terhadap staf yang mungkin melakukan manipulasi data menjadi tidak menarik lagi mengingat sejak awal BRR NAD – NIAS sudah kerap mempromosikan tentang fakta integritas namun selama periode kerja yang sudah dijalankan fakta integritas ini sama sekali tidak bisa memicu disiplin, kerja keras, dan profesionalitas dalam hal pengelolaan kelembagaan, sumberdaya, program, dan anggaran. Hampir setiap tahun angka penyerapan anggaran BRR NAD – Nias tidak cukup menggembirakan dan pada saat yang sama ragam persoalan mewarnai dinamika pengelolaan lembaga dan pelaksanaan program BRR NAD – NIAS.
Untuk itu semua, tidak ada pilihan lain apalagi memutar cara pandang, selain mendesak BRR NAD – NIAS, Pemerintah Daerah, DPR Propinsi, dan Masyarakat Korban untuk duduk bersama guna membangun kesepakatan untuk kembali kepada amanah Blueprint dan kesadaran yang dalam untuk senantiasa konsisten membantu korban gempa dan tsunami Aceh keluar dari penantian panjang yang sudah dilakukan masyarakat korban selama ini.
Banda Aceh


TAF Haikal
Jubir KPBS

Tidak ada komentar: